Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Tersembunyi di Periuk Tanah

Uli Kozok, profesor dari Universitas Hawaii, menemukan naskah kuno di daerah Kerinci. Temuan yang bisa memperkaya informasi tentang Kerajaan Dharmasraya.

21 Januari 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nama lengkapnya Ulrich Kozok. Nama panggilannya Uli Kozok. Ia seorang profesor linguistik, kelahiran Hildesheim, Niedersachsen, Jerman. Ia biasa cas-cis-cus dalam bahasa Batak dan fasih membaca aksara Batak kuno. Gelar master of arts dan philosophiae doctor-nya, yang diraih di Universitas Hamburg, tentang bahasa Batak.

Selain mempelajari huruf-huruf Batak, ia terpikat mempelajari aksara-aksara kuno Sumatera yang lain. Empat tahun lalu ia kelayapan sampai ke pelosok Tanjung Tanah, sebuah desa di pinggir Danau Kerinci, Provinsi Jambi. Dan ia terkesima. Seorang penduduk Tanjung Tanah menunjukkan sebuah naskah tua yang selama ini disimpan keluarganya di dalam sebuah periuk tanah di atas loteng rumahnya.

Naskah itu berbahasa Palawa, ditulis di atas kertas dari kulit kayu daluang. Dan naskah itu merupakan kitab undang-undang Kerajaan Dharmasraya untuk masyarakat Kerinci.

”Saya lihat sekilas dan saya foto, pada saat itu saya sudah tahu bahwa naskah ini sesuatu yang luar biasa, tapi saya belum menyadari tentang apa ini,” kenangnya. Ketika ia balik ke Hawaii, tempat ia sehari-hari sekarang bekerja sebagai profesor di Universitas Hawaii, data yang didapatkan ia baca lebih cermat. ”Naskah tersebut ternyata tidak mengandung satu pun kata serapan dari Arab, padahal itu naskah undang-undang,” kata Uli.

Uli Kozok merasa bahwa naskah itu kemungkinan besar merupakan naskah Melayu yang tertua. Naskah itu sebanyak 34 lembar itu, dengan 32 halaman ditulis dalam aksara Palawa Sumatera. Dua halaman terakhirnya menggunakan aksara Kerinci. Semuanya berbahasa Melayu.

Aneh sekali, begitu pikir Kozok, naskah itu beraksara Palawa Sumatera. Padahal biasanya aksara Palawa hanya dituliskan pada prasasti batu, bukan pada kertas. Naskah Tanjung Tanah itu setahu dia satu-satunya naskah kertas yang menggunakan aksara pasca-Palawa. Dan Uli pun sampai pada keyakinan bahwa kerajaan dan masyarakat Melayu zaman Dharmasraya sebenarnya memiliki bahasa dan aksara sendiri yang disebutnya dengan aksara Pasca-Palawa, yaitu turunan aksara Palawa dari India Selatan.

Dari India Selatan, aksara Palawa ini menyebar ke Bali, Jawa, dan Sumatera. Yang ke Jawa menjadi aksara Palawa-Jawa. Yang di Sumatera menjadi aksara Palawa-Sumatera, yang berbeda dengan Palawa-Jawa. Pendapat Uli ini membantah pendapat ahli selama ini yang menganggap tulisan zaman Adityawarman menggunakan huruf Sanskerta atau Jawa kuno. ”Banyak ahli sering salah menyebutkan aksara yang ada di prasasti-prasasti Sumatera berhurufkan Jawa kuno,” katanya.

Pada 2003, Uli Kozok balik lagi ke Kerinci. Ia penasaran. Ia mau membuktikan secara ilmiah naskah kuno Kerinci itu. Ia meminta sampel naskah kepada pemilik naskah untuk dites karbon. ”Dari analisis radiokarbon, kemungkinan naskah ditulis pada paruh kedua abad ke-14,” kata Uli Kozok. Naskah itu diyakininya berasal dari kurun waktu 1345 sampai 1377 pada masa Kerajaan Adityawarman.

Dari pembacaannya, naskah itu berasal dari Dharmasraya, ditulis oleh Dipati Kuja Ali atas perintah sang Maharaja Diraja Adityawarman. Naskah ini merupakan kitab undang-undang yang dikeluarkan oleh Kerajaan Dharmasraya untuk menetapkan hukum di Kerinci. Uli beranggapan naskah itu sebagai tanda Kerajaan Dharmasraya yang diberikan kepada penguasa-penguasa Kerinci.

Naskah Tanjung Tanah itu dibuka dengan kata berbunga untuk memuji raja: ”Paduka Srimaharaja Kertadesa Gasri Gandawangsa.” Artinya, dia berasal dari bangsa yang harum…. Kalimat kedua: ”… ini Anugerah Sanghyang Kemitan kepada penguasa bumi Kerinci.” Yang dimaksud Sanghyang Kemitan adalah raja jelmaan dewa. Adityawarman sudah menganggap dirinya berstatus setengah dewa. Hanya dialah yang patut diberi gelar Sanghyang.

”Jadi Sanghyang dan Gandawangsa yang menerbitkan kitab undang-undang ini adalah Adityawarman sendiri. Dapat dipastikan Adityawarman berusaha memperluas kekuasaan ke daerah Kerinci,” kata Uli Kozok.

Di zaman itu, orang Kerinci masih tetap menjadi raja di negerinya sendiri. Hanya, mereka menjalin hubungan persahabatan dengan Dharmasraya dan mereka menganggap secara de jure Raja Dharmasraya sebagai tuannya, tapi tidak secara de facto. Kerinci artinya tidak ditaklukkan oleh Adityawarman. Sebab, bagaimanapun, lokasi Kerinci yang letaknya di pegunungan, dan penduduknya banyak, membuat tidak mungkin Adityawarman mengirimkan pasukan ke sana untuk sebuah penaklukan total. Hubungan dengan Kerinci hanya bisa dengan musyawarah, secara damai, dengan perdagangan yang saling menguntungkan.

Mengapa Kerajaan Dharmasraya berniat berhubungan dengan Kerinci? Menurut Uli, ada faktor emas. ”Kerinci di masa itu dikenal sebagai daerah penghasil emas,” kata Uli. Antara Dharmasraya dan Kerinci kemungkinan terjadi barter. Melalui Dharmasraya, Kerinci memperoleh keramik dari Cina serta bahan-bahan status dan bahan-bahan mewah seperti kain, perhiasan tertentu, kaca, dan keramik Dharmasraya. Sementara itu, dari Kerinci, Dharmasraya mendapatkan emas.

Naskah itu sendiri berisi peraturan hukum berbahasa Melayu, yang di antaranya mengatur masalah pidana seperti pencurian hasil pertanian ubi, tebu, sirih, pinang, dan padi serta pencurian ternak seperti ayam, itik, anjing, dan babi. Misalnya hukuman untuk maling ubi. Denda lima kupang ditetapkan untuk pencuri yang mencabut ubi sendiri, sedangkan denda lima emas untuk pencuri ubi yang sudah dipanen. Satu kupang sama dengan seperempat emas. Selain itu, ada peraturan yang melarang orang mabuk. Orang yang mabuk hingga pening akan didenda, orang yang memerkosa bisa dibunuh, dan macam-macam tindak pidana lainnya.

Menurut Uli, undang-undang yang dikirim ke Kerinci itu sebenarnya ada yang tidak masuk akal. Undang-undang itu mencerminkan perekonomian Dharmasraya dengan ekonomi sungai, padahal Kerinci itu daerah pegunungan. ”Agak lucu ketika undang-undang itu juga menyebut tentang pencurian jala, biduk, bubu. Tidak begitu masuk akal untuk masyarakat pegunungan seperti Kerinci,” kata Uli.

Hal menarik lainnya dari naskah Tanjung Tanah ini soal bias kelas. Sebuah informasi menyebutkan ada stratifikasi masyarakat yang sangat jelas, seperti kelompok yang paling bawah disebut sahaya, kelompok menengah disebut butra, di atasnya ada depati, dan setelah depati: raja.

”Dari naskah itu kita tahu sudah ada permukiman orang asing di Dharmasraya, kemungkinan orang Tamil dan Persia, karena ada petunjuk orang yang menulis naskah Tanjung Tanah menyandang nama Depati Kuja Ali. Kemungkinannya: kalau bukan dari Tamil, dia itu dari Kuja di Persia,” kata Uli Kozok.

Naskah dari Kerinci temuan Kozok itu sedikit membuka tabir Kerajaan Dharmasraya. Sebelumnya, hanya ada dua sumber yang menyebut Kerajaan Dharmasraya, yaitu prasasti Amoghapasa dan Negarakertagama. Kini, berkat Mister Kozok, wawasan kita tentang ”Kerajaan Bhairawa” itu bertambah lagi.

Seno Joko Suyono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus