Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Putu Sugianitri: Bung Karno Tak Dirawat Seperti Pak Harto

21 Januari 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PUSARAN sejarah menyedot seorang remaja putri mengikuti hari-hari terakhir bekas presiden Soekarno. Putu Sugianitri, nama gadis itu, lulus Sekolah Brigadir Polisi Wanita di Sukabumi, Jawa Barat, tepat di hari yang kini dikenang sebagai peristiwa meletusnya G-30-S. Ia masih lugu dan buta politik.

Belum lama menjadi bintara polisi, Putu, kini 60 tahun, ditempatkan menjadi pengawal keluarga Presiden di Istana. Saat itu situasi politik begitu genting. Bung Karno menjadi sasaran kritik karena dianggap melindungi Partai Komunis Indonesia yang memberontak.

Tak seperti ajudan Bung Karno yang lain, Nitri, panggilan remaja itu, bertugas dengan pakaian biasa. Dia menyaksikan kesehatan Bung Karno cukup baik selama di Istana, namun merosot drastis setelah tinggal di Wisma Yaso, rumah salah satu istrinya, Dewi Soekarno, yang kini menjadi Museum Satria Mandala.

Apa yang dialami Bung Karno selama di Wisma Yaso sampai sekarang masih menjadi misteri. Dokter Kartono Mohamad, yang pernah mempelajari catatan tiga perawat dan mewawancarai para dokter yang merawat kesehatan proklamator ini, menyimpulkan Bung Karno ditelantarkan di hari-hari terakhirnya (lihat kolom Kartono Mohamad).

Saat Bung Karno menderita infeksi ginjal akut, ia hanya diberi vitamin B-12, B kompleks, royal jelly, dan Duvadillan, obat untuk mengatasi penyempitan pembuluh darah periferi. Obat-obatan yang lebih baik dan mesin cuci darah sebetulnya sudah tersedia pada masa itu, tapi tak pernah diberikan. ”Pak Mahar Mardjono (dokter kepresidenan Soekarno—Red.) pernah mengatakan resep yang ditulisnya tak ditukar menjadi obat,” ujar Kartono.

Putu Sugianitri masih ingat saat Bung Karno menghadiri acara pernikahan anaknya, Guntur, dengan wajah bengkak dan penampilan lusuh. ”Jauh sekali keadaannya dibanding ketika beliau masih tinggal di Istana,” ujarnya.

Di rumahnya yang asri di kawasan Renon, Denpasar, Bali, Selasa pekan lalu, Nitri menuturkan pengalamannya selama mendampingi bekas presiden itu kepada Nugroho Dewanto dan Rofiqi Hasan dari Tempo.

Sebagai ajudan pribadi terakhir Bung Karno, sehari-hari apa tugas Anda?

Saya bertugas menyediakan makanan kecil dan minuman buat Bapak sarapan. Makanan yang digemari Bapak adalah hunkue dan lemper. Hunkue yang tidak pakai pewarna itu berisi pisang kepok. Lempernya dibungkus dengan daun pisang warna hijau pupus. Di dalamnya diisi ayam opor yang disuir-suir. Hunkue saya cari ke Pecenongan, lemper di Cikini.

Apa menu lain untuk sarapan Bung Karno?

Bapak suka roti tawar dibakar kemudian diolesi mentega. Juga madu dicampur telur ayam kampung. Bapak tak mau madu di dalam botol. Beliau tidak percaya. Maunya yang masih di sarang diperas di depan matanya. Semua dimakan pukul 06.00, sambil membaca koran. Seluruh koran dia baca. Itu rutin setiap pagi.

Siapa yang memasok madu itu?

Nggak tahu dari mana. Tahu-tahu sudah ada dan banyak. Saya tiap pagi memeras madu di depan mata beliau.

Apa biasanya pakaian yang dikenakan Bung Karno saat sarapan?

Masih sarungan atau kadang-kadang cuma pakai celana pendek.

Situasi politik waktu itu kan panas. Bung Karno stres?

Tidak pernah stres. Biasa saja. Bung Karno biasa duduk menerima tamu di Istana. Jumat sore biasanya ke Istana Bogor menemui Bu Hartini menggunakan sedan Mercedes 600.

Anda ikut mendampingi?

Kami menyusul Sabtu sore karena tiap malam Minggu acara malam keroncong. Tapi, selama di Bogor, urusan makan dan minum Bapak ditangani Bu Hartini. Kami pulang ke Jakarta malam itu juga setelah acara selesai.

Bagaimana suasana acara malam keroncong itu?

Biasa saja. Tamu berdatangan. Semua mendapat kopi dan kue. Bung Karno tak suka kue luar negeri seperti cake. Dia lebih suka kue tradisional. Makan pun dia suka sayur lodeh bari yang sudah tiga hari, sayur asam, tahu, dan tempe bacem. Saya pernah tanya, ”Apa Bapak tidak bosan dengan menu itu?” Beliau menjawab, ”Aku tiap kali pidato menyuruh rakyat makan tahu dan tempe. Kalau aku sendiri tidak makan, apa jadinya?”

Kapan kesehatan Bung Karno mulai mundur?

Selama di Istana Negara dan Istana Bogor, kesehatan Bung Karno tidak pernah mundur. Sejak bertugas, setelah G-30-S, saya tidak pernah melihat beliau sakit. Wong saya melayani beliau setiap hari. Beliau biasanya memerintahkan, ”Tri, ambilkan kapsulku yang warna biru.” Itu saja. Sewaktu di Istana, tak ada dokter yang berseliweran merawat dia.

Anda terus-menerus bersama Bung Karno?

Saya terus bersama beliau sampai diasingkan di Wisma Yaso. Setelah itu, saya ikut anak-anak perempuan Bung Karno di Jalan Wijaya, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Setelah di Wisma Yaso, kami tak boleh ketemu beliau. Jangankan saya, wong anaknya saja sulit. Yang suka menengok Bapak di sana Mbak Mega. Itu pun mau masuk dan keluar diperiksa ketat.

Biasanya apa yang dikerjakan Bung Karno di Istana?

Beliau membaca koran yang isinya kecaman dan hinaan. Saya bertanya, ”Kok, Bapak tidak marah membaca tulisan seperti itu?” Beliau menjawab, ”Kalau saya marah dan menanggapi, rakyat bisa terpecah belah. Kamu tahu betapa bahayanya perang saudara? Warna kulit dan rambut kita sama. Kalau menghadapi musuh asing, lebih jelas. Ketimbang terjadi perang saudara, lebih baik kurobek diriku sendiri. Biar aku sendiri mati. Dan jangan aku disuruh meminta suaka ke negeri lain.” Waktu itu Pangeran Norodom Sihanouk dari Kamboja meminta suaka ke luar negeri. Saya nggak ngerti politik, jadi mendengar saja.

Menurut Anda, bagaimana hubungan Bung Karno dan Pak Harto ketika itu?

Setelah Pak Harto menjadi penjabat presiden, beberapa kali dia datang ke Istana bersama Bu Tien. Bung Karno menyambut seperti biasa. Bu Tien pernah berkata, ”Dik Nitri, kalau sudah tak di sini, ikut saya di Cendana, ya.” Saya jawab, ”Pikir-pikir dulu.” Bung Karno menegur saya, ”Kenapa menjawab seperti itu?” Saya katakan, ”Masih untung seperti itu. Bagaimana kalau langsung saya jawab tidak mau?”

Kapan keluarga Bung Karno meninggalkan Istana?

Setelah Soeharto menjadi penjabat presiden, keluarga Bung Karno diminta keluar Istana Negara dalam tempo 3 x 24 jam.

Apa yang dikerjakan Bung Karno setelah keluar dari Istana?

Beliau masih sering jalan-jalan keliling kota bersama kami naik VW Combi. Saat itu beliau sudah tak lagi mengenakan peci dan kacamata. Mungkin dilarang. Suatu hari beliau berkata, ”Tri, beli rambutan.” Saya tanya, ”Uangnya mana?” ”Sing ngelah pis,” ujarnya dalam bahasa Bali yang berarti ”saya tak punya uang”. Jadi pakai uang saya. Beliau suka rambutan rapiah. Saya cicipi dulu. Kemudian saya berkata kepada pedagang rambutan itu, ”Bang, antarkan rambutan ini ke bapak yang di mobil itu, yang kepalanya botak.” Dia antar. Bung Karno bertanya dengan suara khasnya, ”Benar manis?” Suasana menjadi geger setelah si pedagang berteriak histeris, ”Hoi… ada Bung Karno.” Besoknya, saya dimarahi komandan saya.

Apa kegiatan anak-anak Bung Karno setelah tidak tinggal di Istana?

Mereka punya kegiatan dan usaha masing-masing. Teman mereka kan banyak. Anak-anak lelaki tinggal bersama Bu Fatmawati di Jalan Sriwijaya. Saya tinggal bersama anak-anak perempuan di rumah kontrakan di Jalan Wijaya, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

Setelah Bung Karno di Wisma Yaso, siapa yang mengunjungi Ibu Fatmawati dan anak-anak?

Tidak ada. Tidak berani. Waktu itu kan suasananya seram.

Anda merasa diawasi ketika berada di Jalan Sriwijaya atau Wijaya?

Tidak. Untuk apa diawasi, karena anak Bung Karno tak ada yang terlibat pergerakan politik.

Apa sebabnya kesehatan Bung Karno merosot drastis setelah tinggal di Wisma Yaso?

Dari luar, orang lihat Wisma Yaso itu megah. Bung Karno di situ pasti senang. Padahal, saya dengar, keluar kamar saja tak boleh.

Seperti apa fisik Bung Karno setelah tinggal di Wisma Yaso?

Sewaktu Mas Guntur menikah di Jalan Sriwijaya, beliau hadir. Saya lihat Bung Karno sudah seperti orang bego. Wajahnya bengkak. Pakai peci menceng-menceng. Biasanya kan dia pakai peci gagah seperti ini (Nitri menunjuk fotonya bersama Bung Karno).

Bung Karno masih bisa mengenali orang?

Sewaktu Sukmawati mendekat, Mas Guntur bertanya kepada bapaknya, ”Ini siapa, Pak?” Bung Karno menjawab ”tidak tahu”. Saat Mas Guntur menunjuk saya dan bertanya hal yang sama, Bung Karno menjawab, ”Ini Nitri.”

Bagaimana perbandingan perawatan kesehatan Bung Karno dan Pak Harto?

Perbedaannya jauh sekali. Pak Harto bukan jauh lebih baik, tapi istimewa. Sudah pasti Bung Karno tak mendapat perawatan seperti Pak Harto sekarang. Di Wisma Yaso, siapa yang bisa merawat dia?

Bukankah wajar bekas presiden seperti Pak Harto mendapat fasilitas dan penghormatan?

Wajar kalau semua bekas presiden diperlakukan sama seperti itu.

Bukankah Pak Harto juga bersikap mikul dhuwur mendhem jero kepada Bung Karno?

Tidak. Omongan itu untuk dia sendiri, agar orang mikul dhuwur dan mendhem jero kepada dia.

Hubungan Anda dengan anak-anak Bung Karno sampai sekarang masih akrab?

Saya masih sering telepon Mas Guntur. Kalau dengan Mbak Mega, tidak, setelah dia aktif berpolitik.

Anda cuma sebentar, ya, menjadi polisi?

Iya, sekitar tiga tahun. Saya berhenti begitu saja. Tidak ada surat atau apa pun. Saya juga tak mengharap mendapat pensiun.

Kapan Anda masuk sekolah polisi wanita?

Tahun 1964. Waktu itu, saya baru lulus SMP dengan usia lebih dari 16 tahun tapi belum 17 tahun. Saat itu saya mencuri umur. Saya mengaku sudah 18 tahun karena begitu persyaratannya.

Setelah Anda lulus, apa yang terjadi?

Kami mau mengadakan malam perayaan kelulusan tanggal 30 September 1965. Menteri/Panglima Angkatan Kepolisian Jenderal Sutjipto hadir. Saya bersiap menari Bali seperti biasa. Tiba-tiba lampu mati. Kami tidak tahu apa yang terjadi. Pak Sutjipto pulang ke Jakarta. Acara batal.

Bagaimana situasi keesokan harinya?

Kami dikonsinyir, tidak boleh keluar asrama. Kami kan masih lugu, tidak tahu situasi yang begitu-begitu. Kami cuma boleh keluar di hari Minggu, tapi saat makan siang sudah harus kembali berada di asrama.

Setelah lulus akademi polisi, bagaimana Anda kemudian menjadi ajudan Bung Karno?

Setelah lulus, saya ditempatkan di Akademi Angkatan Kepolisian menjadi staf Sekretaris Gubernur Akademi Jenderal Polisi Sumantri Saptini. Tidak lama datang utusan dari Istana, yaitu Letnan Ida Bagus Anom Ngurah, mencari saya. Di Jakarta, saya tidak langsung ditempatkan di Istana, tapi di tempat tinggal Pasukan Pengawal Presiden di Jalan Medan Merdeka Utara.

Maksud Anda, Cakrabirawa—pasukan pengamanan yang memihak PKI?

Bukan, tapi pasukan Brimob di bawah pimpinan Ajun Komisaris Besar Polisi Mangil. Sewaktu saya ke sana, pasukan Cakrabirawa sudah dibubarkan, tapi pasukan Pak Mangil tetap ada. Di sana saya menjadi pegawai Pak Mangil. Tidak lama, saya dipindahkan ke Istana Negara. Saya ditempatkan di paviliun sebelah Istana. Di sana ada kamar untuk para polisi wanita yang mengawal putra-putri Bung Karno.

Putu Sugianitri

Tempat dan tanggal lahir

  • Denpasar, 1 April 1948

Pendidikan

  • 1961, SD No. 11 Denpasar, Bali
  • 1964, SMP Negeri 1 Denpasar, Bali
  • 1965, Sekolah Brigadir Polisi Wanita, Sukabumi, Jawa Barat

Pekerjaan

  • 1965-1968, Brigadir Polisi
  • 1987-1995, eksportir kerajinan Kayu
  • 1995-sekarang, berkebun buah-buahan jeruk bali dan mangga bali

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus