BERABAD-abad lamanya Tibet menjadi "tanah terlarang". Hampir-hampir tak-terjamah para pendatang. Di mata penjelajah Barat, kerajaan Pegunungan Himalaya itu bukan sekadar "atap dunia". Tapi juga mirip negeri dongengan. Terlalu jauh, sulit, berbahaya untuk bisa dicapai, tapi terlalu merangsang. "Hamparan pemandangan memukau, kelengangan mencekam, ancaman bahaya tiba-tiba saja hadir di hadapan orang-orang lugu penuh angan-angan, karena merasakan telah menemukan kembali tanah emas yang hilang." Demikian gambaran seorang pengarang Inggris seperti yang dikutip Michael Parks dalam International Herald Tribune, 6 Januari tahun ini. Konon, banyak orang Asia percaya, di suatu tempat di antara Cina dan India, di pedalaman Tibet, terdapat sebuah gunung suci. Pusar bumi, poros dunia, mereka bilang. Dari pegunungan itu - Himalayalah dia - mengalir empat sumber sungai besar Asia. Demikian menurut kepercayaan, dan begitu pula dalam kenyataan. Kendati tidak ditemukan dalam dongengan Timur, misteri Peginungan Himalaya memang lengket dalam angan-angan orang Eropa. Langit yang luas, hampa dan kelabu, menudungi sebuah negeri yang dalam Deta abad ke-19 menjadi salah satu kawasan Asia Tengah yang tidak tersentuh. Ekspedisi demi ekspedisi - Inggris, Rusia, Swedia, Jepang, di antara mereka ada yang menjadi penjelajah ternama Asia Tengah pada masa yang lebih akhir berusaha mencapai kota suci Lhasa. Di sinilah bertahta Rajadewa Dalai Lama, yang dipercaya sebagai reinkarnasi Budha Gautama. Tapi selama sekitar satu abad, berbagai rombongan luar itu terpukul mundur oleh alam kendati sekte Yesuit pernah sampai mencoba mendirikan sebuah misi kecil Katolik pada awal abad ke-17 di sana. Musim dingin yang membekukan, padang-padang pasir kering kerontang dan jalan-jalan pintas yang dikepung gunung-gunung salju siap menerkam. Orang asing yang berhasil selamat dikirim balik oleh para prajurit Tibet sendiri - karena para opsir mereka percaya, nyawa mereka sendiri akan jadi tebusan jika membiarkan para pendatang masuk lebih dalam. Hanya pada 1904 satu pasukan Inggris berhasil sampai di Lhasa. "Inilah pertama kalinya dalam sejarah dunia Lhasa masuk koran," tulis koresponden The Daily Mail tentang tahun itu. Dan Istana biara Potala menimbulkan kekaguman luar biasa. Pilar-pilar keemasan kemilau bagai lidah api ditimpa sinar matahari membuat para penziarah terpesona, takluk dan memuja. Rakyat berdatangan ke istana di pinggang bukit itu dari dataran tinggi di sekitarnya. Tetapi, Tibet tak selamanya penuh puja. Ketika pada 1950, Tahun Harimau Besi, Ketua Partai Komunis Cina Mao mengumumkan niatnya "membebaskan" Tibet, kerajaan Himalaya ini memiliki sekitar 3.000 biara. Setelah niat itu terlaksana, jumlah itu menyusut menjadi tinggal 2.000. Tujuh tahun kemudian, 1966, setelah berlangsung Revolusi Kebudayaan, yang menghancurkan segala sisa tradisi, hanya belasan biara yang masih tinggal di Dataran Tinggi dan Lembah Tsangpo. Dan musnahlah khasanah keagamaan dan kebudayaan Tibet, yang dianggap "lambang feodalisme dan Lamaisme". Peradaban berusia 2.110 tahun, dari sebuah negeri yang merdeka, luluh dalam sehari. * * * Sudah tiga dasawarsa lebih orang Tibet berada di bawah kekuasaan komunis. Dan dalam masa itu tidak ada kesempatan sedikit pun bagi mereka megenyam kebebasan seperti yang pernah diperoleh dalam- masa pemerintahan antiasing Dalai Lama. Toh orang Tibet jarang menentang tuan Cinaya terang-terangan, meski tidak sepatuh seperti diduga oleh orang luar dan oleh pejabat Cina sendiri. Perlawanan terorganisasi, kendati kecil, tetap berlangsung. Di antaranya dalam bentuk penyebaran pamflet anti-Peking di pasar-pasar Lhasa, biasanya pada malam hari. Dan perlawanan itu mencapai puncaknya pada 1959. Setelah selama tujuh tahun berusaha bekerja sama dengan Peking, Dalai Lama tak tahan lagi. Ia nekat memberontak, dengan mengandalkan kaum biarawan dan petani yang kurang dipersenjatai. Perlawanan segera redam - di bawah ladam sepatu Tentara Pembebasan Rakyat yang terlatih dan bersenjata lengkap. Dalai Lama beserta 90.000 pengikutnya terpaksa menyingkir ke India. Dan sejak itulah Tibet dibanjiri pasukan dan pegawai Cina - dari Suku Han. Jumlah tentara itu kini mencapai 250.000, menurut U.S. News & World Report 29 Agustus 1983. Sudah bisa ditebak, antara masyarakat Cina di Tibet dan penduduk pribumi terdapat belahan dalam - bukan disebabkan oleh hukum, tapi oleh rasa curiga. Cina, alias Han, hanya sekitar 5% dari 1,9 juta penduduk. Dan mereka memiliki lingkungan permukiman sendiri di ibu kota - sejenis rumah batu berjendela kaca - sementara si Tibet tinggal di gubuk kayu. Perbedaan lain: keyakinan keagamaan orangTibet yang tangguh, yang bagi komisar komunis Cina tidak lebih dari sekadar takhyul atau candu. Bahkan orang Tibet yang sudah mendaftar sebagai anggota Partai Komunis masih tetap seorang pemeluk teguh. Berkata seorang pengawal di salah satu biara di Lhasa: "Partai Komunis menyuruh saya menjadi ateis. Tapi saya tetap Budhis." Merasa gagal mengikis kepercayaan agama, Cina ganti mencoba mengontrolnya - dengan ketat. Yang dilakukan pemerintah RRC, antara lain, menahan bertambahnya jumlah lama baru - yang terhitung menyusut drastis sejak Revolusi Kebudayaan. Pada 1959 terdapat sekitar 120.000 lama. Dan itu menjadi hanya 900 seusai revolusi celaka itu. Walaupun demikian, upaya di atas tidak turut menyusutkan kadar kepercayaan beragama orang-orang Tibet. Atau belum. Dalai Lama, yang hidup tersingkir di India, sampai kini tetap menjadi lambang kepercayaan mereka - malahan dianggap pemimpin sejati negeri itu. Dan di Biara Drepung, misalnya, seorang anak 10 tahun, Awang Quni namanya, menghabiskan 10 jam sehari menekuni kitab Budha. Ia tidak mengenal Cina sebagai tanah airnya, dan tak tahu siapa Deng Xiaoping. Sebaliknya, mukanya segera bercahaya ketika nama Dalai Lama disebut. Kenyataan bahwa Dalai Lama masih lekat di hati penduduk, tidak urung, memaksa pemerintah Cina mengakuinya sebagai pemimpin spiritual. Malahan terniat pada Peking untuk menjadikannya tukang stempel, dalam upaya menjinakkan rakyat, dengan mengundangnya pulang. Sempat beberapa saat berlangsung manuver di antara orang Cina dan Tibet tentang kondisi layak yang bagaimana bagi kepulangan, atau sekadar kunjungan, Dalai Lama. Bekas raja-dewa itu sendiri menuntut kebebasan bicara untuk dia, jaminan keselamatan, dan hak kembali ke India jika dikehendakinya. Peking segera menanggapi dengan jaminan "posisi pantas" - di Peking. Dan yang lain-lain dirundingkan setelah kepulangan. Delegasi empat orang dari kaum pelarian Tibet berada kembali di tanah air pada Agustus 1983. Ini bukan yang pertama. Misi mencari fakta untuk melihat kemungkinan kepulangan Dalai Lama itu pernah pula diemban oleh tiga rombongan lainnya pada 1979 dan 1980. Ancang-ancang kepulangan pun diberikan: 1985. Jadi pulang pun Dalai Lama, satu hal tampaknya diyakini: Peking tidak ingin mengembalikannya ke Tibet. Sementara itu, Dalai Lama sendiri, pada kesempatan kunjungan di Swiss, berkata bahwa RRC harus membenahidulu situasi di Tibet - "sebelum saya menetapkan kembali atau tidak," katanya, seperti dikutip South China Morning Post, 30 Agustus 1983. Hampir sebulan kemudian, ia menyatakan pula, "teror dan rasa takut" berjangkit di Tibet akibat penangkapan massal yang dilakukan penguasa Cina. Dikabarkan, 500 orang Tibet ditangkap di Lhasa. Seperti bisa diduga, pemerintah Cina mempunyai dalih untuk menjawab. Yang "diamankan", konon, adalah para pedagang gelap, gelandangan yang tidak punya KTP dan kupon ransum, serta kaum "gerpol separatis". Tetapi kemudian ternyata yang ditangkap benar-benar para aktivis politik. Lima orang tokohnya malahan dijatuhi hukuman mati. Dan ini membangkitkan amarah besar kaum pelarian Tibet di India, yang lalu mengadakan unjuk perasaan di depan kedutaan besar Cina di New Delhi. Menurut pemerintah Tibet di pengasingan, yang diciduk pada bulan Agustus itu malah bukan 500 orang. Tapi 1.500. Dalai Lama sendiri berkata kepada UPI, sejak 1955 sudah satu juta orang Tibet mati di bawah pemerintahan komunis. "Kemungkinan rekonsiliasi antara Dalai Lama dan penguasa Cina semakin menyusut," tulis David Bonavia dalam Far Eastern Economic Review 27 Oktober 1983. Sebabnya tak lain penangkapan kaum aktivis Tibet itu juga. Apalagi persyaratan RRC bagi kepulangan Dalai Lama semakin berat. Pertama Dalai Lama harus "mengakui dosanya" pada masa lalu. Kedua, ia harus membatalkan sikap pemisahan diri. "Walau ia menerima kedua persyaratan itu, Cina tidak akan memberikan jaminan bahwa Dalai Lama diperbolehkan tinggal di Tibet," tulis wartawan Pakistan, Salamat Ali. * * * Kehidupan pedalaman Tibet sendiri tidak berubah dibanding pada abad-abad lalu. Setidaknya, itulah hasil pengamatan seorang wartawan yang menulis dua rangkaian tulisan dalam The Guardian, 29 Januari dan 5 Februari 1984. Para penziarah, katanya, masih berduyun datang ke Lhasa dari pedalaman. Seorang wanita tani, dengan sepikul air di bahunya, masih sempat melambai sambil tersenyum pada seorang yang ditemuinya pertama di pagi buta itu. Sudah ada jalan aspal memang, pembangkit tenaga listrik, dan jembatan Quxu yang dijaga sepeleton Tentara Pembebasan Rakyat. Namun, semua kemajuan zaman itu segera tenggelam di bawah langit tak bertepi, dan iring-iringan para penggembala. Aneh, memang, mereka mau menetap di dataran tinggi suram dan sangat terpencil itu. Bayangkan: Lhasa, yang berpenduduk 200.000 orang, nangkring di ketinggian 3.700 meter di atas permukaan laut. Gyangtse, kota terbesar nomor tiga dan kuno, 3.800 meter di atas muka laut. Dan Shigatse 4.000 meter di atas permukaan laut. Negeri tinggi, politik tertekan, tapi penduduknya tetap ceria. Pada.malam hari, penduduk ramai datang ke Bagong - jalan memutar sekitar Jokhang. Wanita-wanita penuh perhiasan melempar senyum dan tawa kepada pendatang asing. Beberapa di antaranya memakai cemara dari bulu yak. Kaum prianya, yang tinggi dan berkulit cokelat, umumnya lebih bisa menahan diri - tapi acap kali dengan cepat lepas kendali: kesempatan berkerumun begini sering digunakan untuk melego patung-patung kecil Budha dan semacamnya kepada para pendatang asing. Perdagangan gelap ini tentu dilarang keras oleh penguasa, tapi kemudian melonggar. Para pemimpin Cina memang telah melonggarkan tekanannya terhadap Tibet. Tapi ini harus dilihat dari kebijaksanaan menyeluruh untuk persatuan Cina - berikut Hong Kong dan Taiwan. Ini hasil lawatan misi pencari fakta yang dipimpin Ketua PKC Hu Yaobang, tahun 1980. Demikianlah, 20.000 birokrat Cina dan keluarganya ditarik dari Tibet. Kawasan itu juga dibuka kembali bagi orang asing dan pelarian Tibet di India. Peking juga memberi kesempatan berkembang bagi usaha swasta, dan memberi rangsangan bagi pertanian. Akibatnya, tingkat kehidupan penduduk tampak memperoleh kemajuan. Menurut Qi Ji Nang, direktur komisi ekonomi di Tibet, pendapatan per kapita orang Tibet naik sekitar 43 persen selama tiga tahun, menjadi sekitar US$ 150 per tahun. Lumayan, meski tetap yang terburuk di daratan Cina. Tapi penguasa Cina menghadapi soal. Menarik kembali para petugasnya dari sana cukup riskan: Cina toh masih punya sengketa perbatasan dengan India, yang seagama dengan orang Tibet. Maka, ternyata, 20i000 birokrat yang ditarik pulang kembali ditempatkan di Tibet seusai kunjungan Hu Yaobang. Meskipun demikian, pintu tak kembali tertutup. Terbukanya kawasan itu segera mengundang pendatang dari luar. Menurut IHT, 6 Januari lalu, sekitar 1.800 wisatawan - tiga perempat terdiri dari orang Amerika, Jepang, dan Eropa Barat - diharapkan datang pada tahun ini. Ini berarti empat kali jumlah wisatawan 1980, ketika Tibet pertama membuka diri untuk empat rombongan wisatawan. "Hello, hello," anak-anak menyapa pendatang asing dari tengah ladang barley - sejenis gandum untuk bahan bir - sekitar 160 km dari Lhasa. Mereka segera berkumpul untuk meminta bolpoin, tabung film, dan segala sesuatu yang mereka pandang aneh. Juga mereka minta dipotret dengan kamera Polaroid. Mereka sudah pintar berkata O.K., O.K. dan Bye-bye. Bagaimana mereka bisa cakap Inggris sepotong dua, padahal mereka tidak tahu bagaimana mengucapkan kata itu dalam bahasa Cina, entahlah. Tibet sungguh menyuguhkan pengalaman yang tak tepermanai - bagi pendatang asing tentunya. Biara-biara yang berusia berabad semakin bernilai, karena jadi sisa yang langka, yang selamat dari kekerasan Pengawal Merah dalam huru-hara Revolusi Kebudayaan. Pemandangan menyentuh: penziarah yang lemah lunglai di menara Jokhang. Desa-desa yang seperti tak tersentuh waktu. Perekonomian yang baru "menemukan" roda pada abad ini. Dan kehidupan yang terbilang paling bersahaja di dunia. Penerbangan 2 1/2 jam ke Lhasa dari Chengdu, ibu kota provinsi yang bertetangga, tak mampu mengubah warna keterbelakangan Tibet. Suara orang Tibet baru terasa hingar di dua sumber: celoteh orang-orang di pasar dan gumam biarawan membaca kitab. Dan bau badannya khas, berasal dari mentega yak yang tengik - yang banyak dipakai untuk ramuan makanan Tibet dan untuk meminyaki tubuh. Perjalanan darat masih tetap perkara sulit. Jalan yang ada umumnya berbatuan, membuat hotelhotel yang berada di luar Lhasa sukar dicapai. Yang di dalam kota, hanya ada velbed besi, itu pun sedikit. Makanan untuk orang asing umumnya diterbangkan ke Lhasa dengan pesawat. Lainnya didatangkan lewat jalan-jalan pintas di pegunungan, sekitar 1.000 mil dari pedalaman. Masalah terbesar bagi pejalan, terutama pendatang, adalah bagaimana menyesuaikan diri dengan ketinggian yang sekitar 3.500 meter dari permukaan laut. Seseorang yang peka terhadap ketinggian bisa dengan segera jatuh mabuk, pusing, dan muntahmuntah. Para pendatang punya istilah untuk: Lhasatude. "Jangan berteriak, jangan tertawa, jangan lari" para pemandu selalu mengingatkan. Mereka dengan sigap menyorongkan tabung oksigen berbentuk bantal kepada seseorang yang kelihatan mulai megap-megap atau pusing. Tibet memang siap melayani pengunjungnya - dan tak cuma tabung oksigen. Sebelum turis datang, konon polisi telah menyapu lebih dulu 400-500 pengemis Lhasa dan mengangkutnya dengan truk ke luar kota. Polisi di- bandar udara menggeledah ketat penumpang pesawat, takut ada selebaran kaum pembangkang Tibet ikut terbawa keluar. Mereka menelisik apa saja, bahkan catatan nomor telepon. Entah dengan alasan apa, penguasa juga melarang orang asing hadir menyaksikan tata cara pemakaman orang Tibet. Mungkin karena seramnya. Dilakukan di suatu tempat terbuka, pemakaman itu sebenarnya bukan pemakaman. Mayat-mayat, yang terbungkus dalam sutera putih, diangkut ke kawasan permakaman di bukit ketika hari mulai fajar. Di sana kerabat dan kenalan disambut pelaksana pemakaman, dan dua polisi - yang sekaligus menjadi saksi dan mengawasi kalau-kalau ada pendatang asing - ikut hadir. Sementara keluarga duduk-duduk menikmati teh, pembalut sutera dicopoti dari tubuh si mati. Mayat yang sekarang bugil, dagingnya dicincang-cincang. Serpihan itu kemudian diletakkan begitu saja di atas batu padas. Tulang belulang lalu digiling, jadi tepung kemudian dicampur barley. Pada unggunan api yang telah dibuat, campuran tepung tulang ditaburkan. Bau menusuk bangkit bersama asap yang menjulang tinggi, mengundang burung-burung pemakan bangkai untuk datang dari sarang-sarang mereka di pegunungan. Dengan segera, skuadron pemakan bangkai itu berkerumun tegak perkasa. Mereka pertama-tama mengitari lokasi, dengan mata buas. Lalu tiba-tiba mereka menukik. Daging mayat itu mereka sergap lebih dahulu. Kemudian isi perut jadi giliran. Lahap sekali. Jasad itu harus punah total, agar arwah benar-benar terbebas - untuk bereinkarnasi sepenuhnya. Maka, semua yang tersisa dari santapan burung harus dibasmi. Abunya ditaburkan. "Inilah cara menurut adat Tibet yang oleh banyak orang tidak bisa diterima," kata seorang pejabat Cina. "Karena itu, terlarang disaksikan pendatang, dan memotretnya." Namun, sebuah penerbit Cina sempat mengeluarkan sebuah buku tentangnya, lengkap dengan foto-foto berwarna. * * * Membuka Tibet terhadap dunia luar berarti ia harus memiliki daya tarik. Cina telah berusaha menarik pulang Dalai Lama, mencoba melonggarkan kehidupan penduduknya, memugar, dan membuka kembali biara-biara lama serta membiarkan tumbuh biara baru. Ganden, tempat berlokasinya biara paling masyhur dari sekte Topi Kuning - dari Dalai Lama - yang sempat suram diganyang Pengawal Merah dalam era Revolusi Kebudayaan, kini cemerlang kembali. Sepuluh lama pertama kembali ke biara pada 1979, diikuti beberapa lainnya pada tahun berikutnya. Pada 1980 itu, Pemerintah mendrop dana khusus sebesar 500.000 yuan (sekitar Rp 250 juta), tapi yang dibutuhkan Tibet agaknya bukan uang, tapi keleluasaan. Kendati ada upaya menunjukkan bahwa kebebasan beragama terjamin di Tibet, pengawasan tetap dikenakan oleh kantor urusan agama. Tiap biara malahan dikelola sebuah "komisi demokratis", yang acap dikepalai oleh seorang bekas lama tak berjubah. Bertugas tapi harus berkonsultasi dengan kantor urusan agama dan Perkumpulan Budhis Tibet, komisi itu berkuasa menentukan calon-calon lama baru. Menjadi lama baru ada persyaratan khusus. Ia harus seorang "patriot" - syarat baru yang di kalangan Budhis. Tapi bagaimana mengukur kadar patriotismenya? "Orang muda yang ingin menjadi biarawan harus berpendidikan SD sekurangnya, dan siap menerima pendidikan sosialis." Artinya: mendengar perintah Partai Komunis. Karena itulah hidup berdampingan secara damai antara Budhisme dan komunisme di Tibet berlangsung gamang. "Mungkinkah Budhisme hidup langgeng di alam komunisme?" tanya seorang wartawan asing kepada Dengdan Zhenchelie, seorang "Budha yang hidup" dari biara Chu Mu Ling, yang juga Wakil Ketua Perkumpulan Budhis Tibet. Jawab sang "Budha", "Sebagai Budhis, kami menginginkan agama kami hidup lestari. Tapi komunisme adalah mangkuk teh yang lain." Hingga 1959, Dalai Lama adalah pemimpin agama dan penguasa duniawi Tibet. Setelah ia berontak dan menyingkir ke India, Tibet menjadi "daerah otonomi" Republik Rakyat Cina. Dalam masa itu, perjuangan kelas dibakar-bakar, untuk mendorong kaum tani miskin bangkit melawan tuan tanah dan tani kaya Tibet. Biara-biara dihancurkan, dan Dengdan Zhenchelie dikirim ke kamp kerja paksa selama tiga tahun. Seiring dengan kelonggaran yang kini diberikan kepada kehidupan beragama di "Atap Langit" itu, seorang pendeta biara Jokhang bernama Lobsang Pintso berujar, "Kami masih membutuhkan seribu lama lagi." Tapi ia mengaku puas dengan kebijaksanaan baru pemerintah RRC. Ketika Dalai Lama kabur pada 1959, Lobsang merasa menyesal tidak ikut. Masih menyesalkah ia? "Yah, ketika Revolusi Kebudayaan saya sering menyesal tidak ikut lari. Tapi sekarang saya merasa senang tetap tinggal." Dalam masa Revolusi Kebudayaan, Lobsang Pintso tidak dipenjarakan, tapi kerja badan didaerah pertanian. Biarawan itu berharap Dalai Lama bisa balik pulang. Jika itu dilakukan beliau, katanya, beliau mungkin bisa jadi kepala pemerintahan Tibet. "Tapi keputusannya ada di tangan penguasa," katanya dengan nada muram. Salah seorang biarawan baru di Jokhang adalah Yixi Jiacuo yang pemalu. Ia Ketika Dalai Lama kabur pada 1959, Lobsang merasa menyesal tidak ikut. belum lahir ketika Dalai Lama kabur ke India. "Mengapa Anda ingin menjadi lama' tanya seorang wartawan seperti yang dikutip Sout China Morning Post, 15 Oktober 1983. "Saya ingin mempelajari kitab Budha selama hidup ini," jawabnya lemah lembut. "Agar saya terpimpin hidup lebih bahagia dalam kehidupan di dunia sana kelak. Manusia memang dapat berjalan dengan tuntunan sendiri yang tanpa arah. Tapi, saya kira, peranan agama adalah pokok." Tidak semua anak Tibet seperti Yixi Jiacuo atau Awang Quni. Cukup banyak di antara mereka yang terangsang kehidupan modern - dan itu hanya bisa ditempuh melalui Peking. Untuk bisa "naik", orang harus jadi anggota Partai. Toh menjadi anggota PKC, menurut pengamat yang akrab dengan Tibet, tidak menjamin kadar kekomunisan anak Tibet secara utuh. Di dasar hatinya yang paling dalam, nilai-nilai luhur keagamaan masih berakar. Pemimpin partai di Tibet sadar benar akan hal itu. Yin Fatang, Sekretaris Pertama PKC setempat menulis dalam Bendera Merah, "beberapa kawan masih menggandul pada mentalitas masa lalu, dan menunjukkan ketidakpahamannya tentang kebijaksanaan Partai dewasa ini." Agaknya, ia beranggapan, untuk mengikis sisa-sisa "pikiran borjuis", mereka harus bekerja "dari dalam" - bekerja di kalangan agama sendiri. Bagaimanapun, dilema Peking di Tibet adalah mendasar. Mereka harus mengaitkan kendali agama di belakang kereta modernisasi ekonomi. Keberhasilannya banyak tergantung pada bagaimana cita-cita itu bisa sesuai dengan etos bangsa Tibet. Apakah kampanye modernisasi Deng Xiao-ping bisa diterima secara wajar, dan Tibet merasa tak lagi jadi tanah jajahan, itu pertanyaan yang mungkin hanya dijawab langsung dari langit. Dataran tinggi itu sejauh ini hanya bisu, hanya putih, dan seakan kekal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini