KENAPA Pardedetex bubar? Ndang olo ahu dimaki halak (Tak mau aku dimaki orang) kata T.D. Pardede. Itulah berita utama yang disuguhkan mingguan olah raga Bola dalam edisi pertamanya, Jumat lalu. Tampil 16 halaman dalam ukuran tabloid, mingguan ini menjadi lampiran edisi Jumat harian Kompas. Sekalipun namanya Bola, mingguan ini tidak akan meliput hanya di sekitar lapangan sepak bola. "Kami ingin mengetengahkan semua cabang olah raga, terutama yang selama ini tidak populer," ujar Sumohadi Marsis, Wakil Pemimpin Redaksi Bola. Menurut Sumo, yang telah 10 tahun menjadi wartawan olah raga Kompas, kelahiran Bola karena banyak Ide yang tak tertampung di Kompas. "Ruangan olah raga di Kompas terlalu kecil," katanya. Bola, kata Sumo, akan memprioritaskan cerita tentang olahragawannya, bukan segi teknis sebagaimana diutamakan koran-koran. "Dengan begitu kami tidak akan kekurangan ide," tutur Sumo. Bola akan menyediakan, antara lain, kolom Wawancara, Klinik Dokter, dan Ruang Psikologi. Apakah Bola, yan kini membonceng Kompas, dengan oplah sekitar 400.000 eksemplar, nanti bisa mandiri? Masih teka-teki. Sebab, mencari pasar untuk Bola, yang pada 1980 diterbitkan oleh Yayasan Tunas Raga, tak kelihatan gampang. Selama ini, banyak penerbitan khusus olah raga nasibnya senen-kemis. Kalaupun bertahan, oplahnya sulit berkembang. Redaktur Pelaksana Olimpik Tabrin Tahar, melihat bahwa pasar bagi penerbitan khusus olah raga gampang-gampang susah. "Sekalipun penggemar sepak bola saja bisa mencapai ratusan ribu, anehnya, fanatisme mereka terhadap majalah olah raga tidak sehebat orang-orang berselera begituan, terhadap majalah begituan," kata Tabrin, yang telah delapan tahun mempertahankan Olimpik. "Ibarat maraton, kami harus menahan napas sampai ke finish". Tabrin menolak menyebutkan oplah dan garis finish Olimpik. Tapi Bola, yang hampir separuh akan diisi berita olah raga dalam negeri, sudah menentukan sasaran. Mereka tak ingin menebeng terus pada ketenaran Kompas. Kata Sumo, "Kami juga ingin mandiri. Cita-cita itu akan kami capai dalam tempo setahun." Ambisi mandiri juga tujuan Tribun Oahraga, mingguan tabloid yang digandengkan dengan koran sore Sinar arapan sejak November lalu. Sudah beberapa pekan terakhir ini Tribun dijual tersendiri. Harganya Rp 100 per eksemplar. Kini oplah tabloid olah raga ini bergerak antara 50.000 dan 60.000 eksemplar. Baik pimpinan Tribun Olahraga maupun Bola yakin, pasaran media oiah raga tetap terbuka. "Dibandingkan majalah yang berharga sekitar Rp 1.000, jelas kami terjangkau semua lapisan," tutur Wakil Pemimpin Redaksi Tribun Olahraga, Max Karundeng. Majalah Sportif, yang terbit sejak empat tahun lalu, adalah majalah luks dalam penampilan. Kertasnya HVS dan gambar-gambarnya berwarna. Sekalipun majalah ini juga belum mandiri, Pemimpin Redaksi Sportif Sondang Meliala tidak merasa disaingi oleh kehadiran Tribun Olahraga dan Bola. "Justru saya senang kehadiran mereka. Makin banyak media yang turut melaksanakan misi memasyarakatkan olahraga dan mengolahragakan masyarakat makin baik bagi kita," kata Sondang, bekas Ketua Departemen Olahraga PWI Pusat. Majalah Sportif, yang berharga Rp 1.250 itu, dalam segi keuangan didukung Bob Hasan, pengusaha dan Ketua Umum Persatuan Atletik Seluruh Indonesia (PASI). Tabrin Tahar juga tidak melihat tabloid-tabloid olah raga itu sebagai saingan. "Pembaca boleh memilih kesukaannya, tapi pasti tak jauh seleranya dari kualitas pemberitaan," kata Redaktur Pelaksana Olimpik, yang menyajikan berita-berita sepak bola lebih dari separuh halamannya. Menurut Tabrin, PT Ultra Violeta, yan menerbitkan Olimpik, bahkan siap menerbitkan saingan Bola. Namanya: Goal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini