Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Dalam Jebakan Sistem Maskulin

18 Desember 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nursyahbani Katjasungkana

  • Aktivis hak asasi manusia dan anggota DPR RI

    Terlahir sebagai perempuan sebenarnya adalah anugerah Allah. Rasanya perempuan bisa melakukan apa saja yang bisa dilakukan oleh laki-laki. Sedangkan kaum lelaki tak akan pernah bisa menjalankan kodrat perempuan: hamil, melahirkan, dan menyusui.

    Ketika kecil, saya tak menyadari adanya sistem politik, budaya, dan hukum yang mendiskriminasikan perempuan. Dalam keluarga saya tak ada pembagian kerja antara anak laki-laki dan perempuan. Ayah dan ibu saya selalu menyuruh saya membantu ibu di dapur, hal yang juga ditugaskan kepada anak-anak laki-laki, meski sangat jarang. Biasanya saya menolak jika disuruh mencuci piring karena merasa tak menggunakan piring-piring itu. Waktu kecil saya lebih banyak berpuasa dan kurang menyukai makanan berlemak.

    Saya lebih suka membersihkan kebun atau memandikan kambing-kambing. Tugas rutin saya di pagi hari adalah memeras susu kambing, dan lebih menyenangkan jika bulu-bulunya bersih. Jika kambing itu melahirkan, sayalah yang jadi bidannya. Maka, kambing-kambing itu begitu jinak kepada saya.

    Sampailah suatu hari pada 1975, saya baca koran terkemuka terbitan Ibu Kota. Ada pernyataan yang disampaikan oleh salah seorang dan satu-satunya perempuan dalam panitia 9 ( sembilan) yang membuat draf Garis-garis Besar Haluan Negara. Dalam rancangan ini, untuk pertama kalinya konsep peran ganda wanita dimuat. Ia bilang sudah saatnya perempuan Indonesia memberi kontribusi pada pembangunan dan oleh karena itu harus berperan ganda: sebagai istri dan ibu dan sebagai wanita karier. Dikatakan pula bahwa: meski berkarier di luar rumah, peran perempuan haruslah serasi seimbang dan selaras dengan perannya sebagai istri.

    Saya terperangah. Soalnya, masa kecil di Desa Parelegi, Pasuruan, saya melihat hampir setiap hari perempuan bersama laki-laki bekerja di sawah atau berjualan di pasar. Sebelumnya, di Sampang, Madura, tempat saya di-besarkan sampai usia tujuh tahun, saya juga melihat bahwa perempuan-perempuan Madura telah berperan ganda. Sejarah Nusantara juga dipenuhi dengan pemimpin perempuan: Ratu Shima atau Tribhuwana Tunggadewi. Bahkan kerajaan Samudra Pasai yang merupakan kerajaan Islam, pernah diperintah oleh dua sultanah.

    Tak hanya lewat GBHN, pemerintah Orde Baru juga meneguhkan konsep peran ganda perempuan melalui UU Perkawinan. Dinyatakan laki-laki adalah kepala keluarga dan pencari nafkah. Perempuan adalah istri dan pengurus rumah tangga. Sebelumnya, Orde Baru memberangus pula Gerwani, suatu gerakan perempuan yang sangat peduli pada nasib kalangan cilik, karena dituduh melakukan tarian bunga sambil memutilasi para jenderal—tuduhan yang tak pernah terbukti secara hukum.

    Langkah baru diambil dengan menghidupkan kembali Fujinkai, organisasi para istri di zaman penjajahan Jepang, menjadi Dharma Wanita dan PKK. Untuk mendukung konsep peran ganda wanita, pemerintah juga melakukan program KB. Gerakan beranak dua ini bertujuan agar perempuan lebih punya waktu untuk berkarier.

    Kenyataan yang muncul sebaliknya. Pada awal Orde Baru itu, pemerintah juga melangkah pasti masuk ke pasar global. Investor asing maupun domestik dimanjakan dengan berbagai fasilitas, termasuk menawarkan pekerja murah, terutama kaum perempuan. Gerakan kaum perempuan, juga ge-rakan prodemokrasi, kala itu mema-suki masa kegelapan.

    Perempuan ditarik sepenuhnya ke dunia domestik. Berpolitik adalah tabu karena bukan saja masuk ke dunia laki-laki, tapi juga berpotensi menggoyang stabilitas rumah tangga, juga negara. Akibatnya jelas: disparitas gender dalam berbagai bidang sangat lebar. Kekerasan terhadap perempuan, terutama kekerasan dalam rumah tangga, kerap terjadi. Soalnya, perempuan ditempatkan pada posisi tak punya posisi tawar apa pun dalam keluarga, masyarakat, dan negara. Sebuah sistem politik dan hukum yang berakar pada budaya yang mengagungkan laki-laki telah diteguhkan.

    Saya tumbuh dan menghirup kondisi sosial politik yang sangat maskulin seperti itu. Beruntung saya tak mengalami banyak hambatan, meski tidak mudah pula menjalaninya. Tapi cobalah lihat jutaan perempuan lain yang jadi korban kebijakan pembangunan yang tidak responsif terhadap kebutuhan perempuan. Mereka terpaksa pergi dari desa, menjadi buruh, pekerja rumah tangga di kota, atau menjadi TKW, dan yang sangat tidak beruntung: menjadi korban perdagangan perempuan.

    Dengan pendidikannya yang minim, mereka sangat berani pergi meninggalkan Tanah Air, bermil-mil jauhnya meninggalkan kampungnya. Bahkan ketika negara tak memberikan perlindungan terhadap berbagai bentuk kekerasan dan eksploitasi yang dialaminya, mereka tak gentar. Yang terbayang hanyalah bagaimana bisa mendapat-kan upah lebih baik, sekadar menyekolahkan adik-kakak, anak-anak ataupun menghidupi keluarga. Tak sedikit pula di antara mereka dicerai suaminya dengan alasan tidak menjalankan kewajibannya sebagai istri.

    Jika suami yang menjadi pekerja di luar negeri, nasib mereka juga terancam. Di Lombok bahkan terdapat desa-desa yang penuh dengan janda atau di-sebut jamas atau janda Malaysia, karena mereka ditinggalkan oleh suami-suami mereka ke Malaysia tapi tak pernah kembali.

    Tak terbayangkan oleh para pejabat negeri ini bahwa perempuan telah menjadi korban kebijakan yang diskriminatif. Dengan gampang mereka disebut sebagai pelanggar UU Perkawinan atau norma-norma agama karena tak menjadi perempuan atau istri dan ibu yang baik.

    Secara normatif, kaum perempuan kita umumnya terjepit. Undang-Undang Perkawinan bahkan memberi peluang kepada para suami untuk berpoligami sampai empat istri, jika istrinya dianggap tak mampu melahirkan anak, sakit terus-menerus sehingga tak dapat memberikan pelayanan seksual serta tak mampu menjadi ibu dan istri yang baik, menurut ukuran suaminya dan pengadilan. Di mana kesetaraan dan keadilan dalam hukum perkawinan seperti ini? Tentang poligami ini, dalam suratnya kepada Nyonya Abendanon pada Agustus 1900, R.A. Kartini menulis: ”Sebagai manusia seorang diri saya tak mampu melawan kejahatan berukuran raksasa itu, dan yang-aduh, alangkah kejamnya, dilindungi oleh ajaran Islam dan dihidupi oleh kebodohan perempuan, kurbannya.”

    Di era reformasi ini memang banyak perubahan mendasar baik secara hukum maupun politik. Konstitusi kita mencantumkan larangan diskriminasi atas dasar apa pun dan hak atas kebijakan afirmasi untuk mengakselerasi ketertinggalan perempuan dan kelompok-kelompok rentan dan marginal lainnya di berbagai bidang. Kekerasan dalam rumah tangga yang selama ini menjadi momok kaum perempuan dan anak-anak karena jarang sekali ditindak secara hukum, sejak 2004 yang lalu telah ditetapkan sebagai kejahatan dengan ancaman hukuman yang berat.

    Namun, kita menghadapi gerakan yang berlawanan arah lewat peraturan daerah atau qanun. Sering kali perempuan ditempatkan sebagai sumber kemaksiatan. Di Aceh, perempuan-perempuan yang dianggap melanggar qanun diarak dan dihukum di muka umum—hal yang tak pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah Indonesia.

    Sebagai salah satu pelaksanaan, UU Pemilu 2003 juga telah menampung upaya peningkatan keterwakilan perempuan di parlemen. Ini perjuangan panjang sejak diagendakan oleh Kongres Perkumpulan Perempuan Indonesia di Bandung pada 1936. Akhirnya, perempuan Indonesia tampil lebih jadi pemimpin. Meski demikian, jumlah perempuan di DPR yang hanya 11,3 persen dan di DPD kurang lebih 20 persen masih jauh dari harapan.

    Bukan hanya soal jumlahnya, tapi juga pengaruhnya yang masih kecil dalam menciptakan kebijakan yang berpihak kepada perempuan. Hal itu tampak dalam polemik mengenai RUU Antipornografi dan Pornoaksi, juga isu poligami. Andaikata saja lebih banyak perempuan tampil sebagai pengambil keputusan, mungkin kita akan cepat mewujudkan kesetaraan dan keadilan antara laki-laki dan perempuan.

    Kaum perempuan yang beruntung di negeri ini, terutama yang duduk dalam lembaga pengambil keputusan, mungkin perlu menyimak lagi tulisan Kartini. Pada 4 September 1901, ia menulis begini: ”Memikirkan kepentingan diri sendiri selalu saya pandang se-bagai kejahatan yang paling jahat dan yang sangat jijik”. Setahun sebelumnya, Kartini bahkan sudah menulis: ”Perlawanan itu menyenangkan, sebab memacu ketabahan. Pengingkaran bagus sekali sebab menumbuhkan pengakuan dalam hidup. Penolakan memberi kesukaan, sebab menumbuhkan harga diri.…”

    Terlahir sebagai perempuan, apalagi menjadi anggota legislatif, dalam negeri dengan sistem politik yang maskulin, bukan hal yang mudah. Setiap waktu saya harus mampu tidak hanya mengatakan bagaimana yang seharusnya, tapi, kalau bisa, menjadikan yang seharusnya menjadi kenyataan. Kerap kali upaya ini berhadapan dengan para maskulin yang marah karena terganggu privilesenya.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus