Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Di Balik Tilik

Tilik, yang telah ditonton lebih dari 20 juta kali, memunculkan ketertarikan terhadap Bu Tejo dan wacana baru tentang film pendek. Apa cerita di baliknya? 

5 September 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Siti Fauziah. Dokumentasi Pribadi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NAMA Bu Tejo tiba-tiba menjadi eponim teranyar untuk menjelaskan sifat julid atau kegemaran bergibah. Sosok perempuan berkerudung biru pirus, berlipstik fuchsia, dengan tangan direntengi gelang dan cincin emas itu muncul di mana-mana. Mula-mula Bu Tejo menjadi tanda pagar yang paling banyak dibicarakan di media sosial, lalu meme dengan wajah dan kutipannya membanjiri aplikasi percakapan. Belakangan, dia sudah pula menjadi bintang iklan dan gencar digaet sebagai tamu gelar wicara televisi atau kanal pesohor populer di YouTube. Yang paling menarik, toko-toko daring (online) langsung sigap menjajakan barang-barang berlabel “Bu Tejo”, dari kaus, bros, hingga stiker mobil bertulisan “Bu Tejo on Board”.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bu Tejo yang viral ini adalah satu karakter dalam film pendek Tilik yang hampir selalu masuk bingkai kamera sepanjang 32 menit durasi film. Dia bagian dari ibu-ibu desa yang menumpang di bagian belakang sebuah truk untuk menjenguk Bu Lurah di rumah sakit. Sepanjang perjalanan di bak terbuka, Bu Tejo dengan bibir ditipiskan, mata menjeling, dan tawa setengah hati mengompori pergosipan seru tentang seorang gadis desa bernama Dian.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada hari tulisan ini dibuat, 14 hari setelah Tilik diunggah ke YouTube, jumlah view alias penayangannya telah melangkaui angka 20 juta. Sosok Bu Tejo yang merupakan penyetir alur cerita mau tak mau berada di pusat keviralan itu. Siti Fauziah Saekhoni, pemeran Bu Tejo, sedang berusaha menyesuaikan diri dengan kepopuleran mendadak ini. “Aku masih kaget dengan keriuhan ini,” kata Siti Fauziah, yang akrab dipanggil Ozie, dalam wawancara via telepon. “Aku pemalu aslinya. Sekarang ke mana-mana selalu di-notice dan didatangi orang, tapi sejauh ini masih fine.”

Siti Fauziah (tengah) pemeran Bu Tejo dalam salah satu adegan film Tilik. Dokumentasi Ravacana Films

Memang sempat ada momen di tengah keviralan itu yang membuatnya tertekan. Sejumlah pihak mengkritik Tilik dengan cara yang menurut Ozie agak kasar. Ada pula yang tak bisa membedakan karakter Bu Tejo dengan Ozie asli dan menuding Ozie sama julid-nya. “Aku sempat baper (terbawa perasaan), tapi suamiku mengingatkan semua itu adalah bentuk kedewasaan dalam berkarier. Wajar ada pro dan kontra supaya ada kontrol sosial, jadi aku sudah bisa menerima,” ujarnya.

Lahir di Blitar, Jawa Timur, pada 1988, Ozie sudah tertarik pada sinema dan teater sejak usia sekolah. Dia terlibat dalam pentas sekolah dan gemar menonton film aksi produksi Hong Kong yang dibintangi Jackie Chan dan Andy Lau. Cita-cita awalnya adalah menjadi sutradara. Saking besarnya keinginan menonton teater tapi tak punya cukup uang untuk membeli tiket, Ozie pernah bekerja memasang poster agar dapat menyaksikan pentas monolog Butet Kartaredjasa yang berjudul Matinya Toekang Kritik

Pada 2007, Ozie mulai kuliah di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dan bergabung dengan kelompok teater kampus. Setelah setahun, Ozie tak lagi melanjutkan kuliah, tapi menerima beasiswa workshop keaktoran dari Garasi Performance Institute. Dia pun berfokus berkarya dari panggung ke panggung, turut dalam beberapa pentas produksi Teater Garasi, hingga akhirnya mendapat tawaran peran dalam film Mencari Hilal (2015) oleh Ismail Basbeth. Ozie kemudian menjadi karakter pendukung dalam beberapa film arahan dan produksi Hanung Bramantyo, seperti Talak 3 (2016), Sultan Agung: Tahta, Perjuangan, Cinta (2018), Mekah I'm Coming (2019), dan Bumi Manusia (2019).

Ketika diminta terlibat dalam Tilik, Ozie membangun karakter Bu Tejo dengan serius. Dia mempelajari aspek psikologis dan sosiologis sosok ibu perdesaan seperti Bu Tejo. Ozie membayangkan Bu Tejo adalah perempuan yang menikah pada usia 19 tahun, pendidikannya tak tinggi, tapi pekerja keras dan membangun kebanggaan dari capaian suami. Ketika Bu Tejo bergibah tentang Dian, bukan niat jahat yang mendasarinya, melainkan kecemburuan karena perempuan muda itu berhasil memiliki penghasilan besar secara mandiri. “Aku se-rigid itu membangun karakternya,” tutur Ozie. "Aku berusaha mempelajari karakter perempuan Jawa yang tidak berteriak atau ngomong kasar tapi dapat menggiring opini dengan halus.”

Penggarapan film Tilik selesai pada 2018 di bawah arahan sutradara Wahyu Agung Prasetyo. Ide ceritanya bermula dari obrolan Wahyu dengan penulis naskah, Bagus Sumartono, tentang tradisi tilik atau menengok tetangga yang sakit di Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wahyu mengajukan proposal kepada Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta, yang setiap tahun menggelontorkan dana kepada pembuat film pendek dan dokumenter. Tilik pun terpilih menerima dana hibah.

Wahyu mengemas idenya dalam konsep film perjalanan yang diikat dengan tema pencegahan penyebaran hoaks. Dalam gosip seru ibu-ibu di atas truk, ada beberapa dialog tersurat tentang imbauan agar tak langsung mempercayai apa yang ada di media sosial dan tidak menelan mentah-mentah informasi yang tak jelas sumbernya. Sahut-sahutan Bu Tejo, Yu Ning (Brilliana Desy), Bu Tri (Putri Manjo), dan penumpang lain dalam bahasa Jawa yang mengalir lancar, lentur, dan sering kali memancing gelak adalah kekuatan utama film ini. Dialog itu didukung teknik mumpuni dalam pengambilan gambar dan suara yang jernih meski dilakukan di ruas jalan lintas. 

Tak lama setelah selesai diproduksi, Tilik memenangi kategori film pendek terbaik dalam Piala Maya 2018. Film ini juga masuk seleksi Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) dan World Cinema Amsterdam pada tahun yang sama. Pada waktu itu, tak seorang pun menduga bahwa dua tahun kemudian Tilik akan memantik jumlah penonton yang memecahkan rekor sekaligus debat panas yang belum pernah terjadi dalam sejarah film pendek kita. “Sewaktu di JAFF kebagian program open air cinema, jadi seperti menonton layar tancap dan tidak pakai bayar tiket masuk. Massa beragam dan tanggapannya positif, tapi sama sekali tidak terbayang akan mendapat respons semasif ini sekarang," ucap Wahyu.

Setelah memutari festival dan pemutaran khusus selama dua tahun, Ravacana Films yang memproduksi Tilik memutuskan mengunggah film ini ke YouTube. Akun resmi mereka di YouTube sebelumnya juga mengunggah beberapa film pendek karya Wahyu dan sutradara lain di bawah payung Ravacana. Menurut Wahyu, tujuan melempar Tilik ke kanal resmi yang dapat diakses semua orang sesederhana agar filmnya bisa menjumpai sebanyak mungkin penonton. “Kami juga ingin mengkampanyekan menonton film harus dengan cara legal," katanya.

Strategi yang disiapkan tim Tilik untuk promosi hanyalah mendekati teman-teman satu lingkaran mereka untuk membantu mengabarkan secara sukarela sebelum film dirilis pada 17 Agustus lalu. Ada sekitar 15 pemilik akun di Twitter dan Instagram yang dimintai tolong. Kepada mereka, materi pratinjau film dikirimkan agar dapat dikomentari dan dikabarkan lewat media sosial. Salah satu yang mencuit tentang Tilik sebelum film ini diunggah adalah komika Gilang Bhaskara. Saat itu, tanggapan yang masuk masih adem ayem. "Kami berangkat dari nol rupiah karena enggak punya bujet promo," ujar Wahyu. 

Sutradara film Tilik, Wahyu Agung Prasetyo, saat peoses syuting film Tilik, 2018. Ravanaca Films

Dua hari setelah Tilik diunggah, tanda-tanda keviralan film itu mulai mengemuka. Pengguna Twitter makin ramai membicarakan film ini karena disebut “mencerminkan realitas”. Meme Bu Tejo dengan kutipannya yang paling menonjok, seperti "Dadi wong ki sing solutif", "Tak cokot tenan, lho", atau "Nuraninya itu, lho, Pak, dipake", menghiasi percakapan. Nama Bu Tejo dan Dian bertengger di urutan pertama dan ketiga dalam senarai topik tren media sosial itu.

Munculnya kritik terhadap perspektif yang dipilih pembuat film makin mengipasi perbincangan tentang Tilik. Di luar keunggulan teknisnya, akhir film Tilik terkesan mengarah kepada pembenaran perilaku menyebarkan hoaks dan menampilkan Dian dalam sosok yang cukup mengkonfirmasi segala ucapan buruk yang dikenakan ibu-ibu atas dirinya. Diskusi tentang stereotipe dan representasi perempuan pun memperkaya perdebatan dalam pembacaan film ini. 

Wahyu menanggapi kritik balas-berbalas itu dengan santun. “Kritik itu jadi wacana baru bagi kami dan mendewasakan ketika nanti bikin film lagi. Kami bangga film ini bisa menjadi bahan diskusi publik,” ucapnya. 

MOYANG KASIH DEWIMERDEKA
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Moyang Kasih Dewi Merdeka

Moyang Kasih Dewi Merdeka

Bergabung dengan Tempo pada 2014, ia mulai berfokus menulis ulasan seni dan sinema setahun kemudian. Lulusan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara ini pernah belajar tentang demokrasi dan pluralisme agama di Temple University, Philadelphia, pada 2013. Menerima beasiswa Chevening 2018 untuk belajar program master Social History of Art di University of Leeds, Inggris. Aktif di komunitas Indonesian Data Journalism Network.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus