Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Bayang-bayang Adik Bungsu

Kim Yo-jong, adik Kim Jong-un, digadang-gadang sebagai pemimpin Korea Utara berikutnya. Mulai diberi posisi strategis.

5 September 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Kim Yo-jong, saudara perempuan pemimpin Korea Utara Kim Jong-un, yang juga Wakil Direktur Komite Pusat Partai Buruh, terlihat di hotel Metropole selama KTT Korea Utara-Amerika di Hanoi, Vietnam 28 Februari 2019. REUTERS / Leah Millis

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Kim Yo-jong, adik Kim Jong-un, digadang-gadang sebagai pemimpin Korea Utara berikutnya.

  • Peran politiknya dimulai sebagai pendamping sang kakak.

  • Belakangan, dia membuat pernyataan-pernyatan keras yang menyerang Korea Selatan.

KOTA Pyongyang kini dikarantina penuh karena pandemi Covid-19. Menurut Chosun Ilbo, pemeriksaan di rel kereta api dan jalan raya ditingkatkan untuk mencegah orang-orang keluar-masuk ibu kota Korea Utara itu. "Pemeriksaan dilakukan begitu sering hingga semut pun tidak bisa lewat," kata sumber media Korea Selatan tersebut, Senin, 31 Agustus lalu. "Kim Yo-jong adalah komandan tertinggi dari semua upaya karantina."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam sidang Majelis Politik Nasional Komite Sentral Partai Buruh Korea (WPK), partai berkuasa di negeri itu, pada 13 Agustus lalu, pemimpin tertinggi Korea Utara, Kim Jong-un, secara khusus menekankan pentingnya penanganan pandemi. Menurut Choson Sinbo, Ketua WPK itu meminta Majelis memusatkan segala upaya dalam menjaga sistem karantina nasional yang lebih ketat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pengangkatan Kim Yo-jong sebagai pemimpin penanganan wabah menunjukkan peran yang lebih besar telah diberikan Kim Jong-un kepadanya. Adik perempuan Jong-un itu kini disebut-sebut sebagai calon penerus dinasti Kim, yang berkuasa sejak negeri itu didirikan oleh Kim Il-sung, kakek mereka, pada 1948. Belakangan ini, pembicaraan tentang hal tersebut makin santer bersamaan dengan rumor mengenai kesehatan Jong-un yang memburuk.

Republik Demokratik Rakyat Korea Utara lebih mirip negara kerajaan meski tak menyebut dirinya demikian. Sepuluh Prinsip Pembentukan Sistem Ideologi Monolitik, dasar negara negeri itu, menyatakan dengan tegas bahwa partai dan revolusi harus dijalankan oleh garis keturunan Gunung Paektu, yakni dinasti Kim. Dengan kata lain, siapa pun pemimpin Korea selanjutnya setelah Jong-un berasal dari anggota keluarganya.

Bradley K. Martin, penulis Under the Loving Care of the Fatherly Leader: North Korea and the Kim Dynasty, membahas kemungkinan Yo-jong sebagai penerus dinasti Kim dalam artikelnya di Asia Times. Dia merujuk pada berita di koran resmi WPK, Nodong Shinmun, edisi 10 Juni 2020. Bagian akhir artikel itu membahas “Sang Jenderal”, yang merujuk pada Kim Jong-un, tapi setelah itu menyebutkan tentang "Pusat Partai".

Artikel itu, kata Yoo Dong-yeol, Direktur Korean Institute of Liberal Democracy, seharusnya menggunakan “Komite Sentral Partai", bukan "Pusat Partai", yang merujuk pada individu. Istilah ini pertama kali muncul dalam editorial koran itu pada Februari 1974 dan bertepatan dengan dukungan Komite Sentral atas pencalonan Kim Jong-il sebagai pengganti Kim Il-sung.

Kim Yo Jong saat mempersiapka kedatangan kakaknya Kim Jong Un du Dong Dang, Vietnam Februari, 2019. REUTERS/Stringer

Menurut Martin, sebelum Kim Jong-il resmi diangkat sebagai pemimpin negeri itu, koran tersebut selalu menggunakan "Pusat Partai" untuk menyebut seseorang yang terlibat dalam pemerintahan tanpa menuliskan nama atau gelarnya. Martin menduga Nodong Shinmun menggunakan kembali ungkapan itu sebagai petunjuk kepada seseorang yang kini menjadi tangan kanan Jong-un. Orang itu kemungkinan besar Kim Yo-jong.

Korea Utara dikenal sebagai negeri yang tertutup. Suksesi terjadi secara diam-diam dan diumumkan setelah kepemimpinan resmi berganti. Dinamika politik tak pernah muncul secara terbuka, tapi lewat berbagai sinyal politik di media. Contohnya, Martin menjelaskan, urutan para tokoh saat mencoblos dalam pemilihan umum menunjukkan derajat kepemimpinan politik.

Pada Februari 1975, misalnya, stasiun televisi negeri itu menyiarkan Kim Jong-il yang mencoblos dalam sebuah pemilihan umum lokal. Dalam siaran itu, dia berdiri tepat di belakang Kim Il-sung dan di belakangnya berbaris tokoh lain, yakni anggota Komite Sentral dari generasi tua, bekas gerilyawan Perang Korea, dan seterusnya.

Kim Yo-jong lahir pada 26 September 1987 sebagai putri bungsu pasangan Kim Jong-il dan Ko Yong-hui. Dia dibesarkan di rumah ibunya di Changkwang, Pyongyang, bersama dua saudaranya, Kim Jong-chol dan Kim Jong-un. Pada musim semi 1996, Yo-jong menyusul saudara-saudaranya ke Bern, Swiss. Dengan nama Pak Mi-hyang, dia masuk Liebefeld-Steinhölzli, sekolah dasar yang sama dengan Jong-un, hingga Desember 2000.

Yo-jong pulang ke Korea pada akhir 2000. Selanjutnya, ia mengambil bidang ilmu komputer di Kim Il Sung University dan dilaporkan lulus pada 2007. Pada 2002, Kim Jong-il dengan bangga bercerita kepada seorang rekan asingnya bahwa putrinya tertarik pada politik dan ingin berkarier di partai—pernyataan terbuka pertama mengenai sang putri. Pada 2007, Yo-jong ditunjuk sebagai kader junior Komite Sentral dan bekerja di bawah ayahnya dan bibinya, Kim Kyong-hui.

Sejak Jong-il terkena stroke pada 2008, Yo-jong dan Jong-un selalu mendampinginya. Yo-jong juga dilibatkan dalam tim suksesi dan aktif mengkampanyekan pemilihan abangnya sebagai pemimpin Korea. Sejak Jong-un menjadi pemimpin tertinggi, Yo-jong secara rutin mendampinginya dalam berbagai acara kenegaraan. Dia biasanya mengenakan jaket hijau zaitun yang biasa dipakai wartawan yang mendokumentasikan kunjungan sang pemimpin.

Media pemerintah baru secara eksplisit menyebut nama Kim Yo-jong ketika ia bersama Jong-un mencoblos di Kim Il Sung University pada hari pemilihan umum anggota Majelis Tinggi Rakyat, parlemen negeri itu, pada 9 Maret 2014. Pada November tahun itu pula media pemerintah menyebutnya sebagai Wakil Direktur Departemen Propaganda dan Agitasi KWP.

Bruce W. Bennett, guru besar pertahanan di Pardee RAND Graduate School, universitas di California, Amerika Serikat, yang berhubungan dengan lembaga penelitian RAND Corporation, menduga bahwa Yo-jong sengaja tak menonjolkan diri. Menurut Bennet, munculnya bintang politik, apalagi untuk menggantikan pemimpin paling senior, amatlah berbahaya. Jong-un dikabarkan telah menyingkirkan para pesaing potensial dalam keluarganya. Pamannya, Jang Song-thaek, dieksekusi pada 2013 dan saudara tirinya, Kim Jong-nam, dibunuh di Malaysia pada 2017.

Kebintangan Kim Yo-jong muncul pelan-pelan. Setelah berperan sebagai pendamping kakaknya, dia dikirim sebagai wakil Korea Utara dalam Olimpiade Musim Dingin di Pyeongchang, Korea Selatan, Februari 2018. Dia menjadi orang pertama dari dinasti Kim yang menginjakkan kaki di negeri itu sejak Perang Korea berakhir pada 1953. Dia duduk bersama Presiden Korea Selatan Moon Jae-in, Wakil Presiden Amerika Serikat Mike Pence, dan Perdana Menteri Jepang Abe Shinzo dalam acara pembukaan Olimpiade.

Pertemuan Yo-jong dengan Moon membuka jalan bagi prospek reunifikasi dua Korea. Pada April tahun itu, untuk pertama kalinya Kim Jong-un berjalan melintasi perbatasan kedua negara di Panmunjom dan menjabat tangan Moon Jae-in. Kedua kepala negara kemudian duduk bersama membahas soal reunifikasi dan denuklirisasi.

Angin segar perdamaian kedua negara itu tiba-tiba berubah pada Maret lalu, ketika Kim Yo-jong untuk pertama kalinya mengeluarkan pernyataan resmi yang mewakili Pyongyang. Dia mencela Kantor Kepresidenan Korea Selatan yang mengecam uji coba rudal Korea Utara. Pada bulan itu pula dia menolak bantuan melawan Covid-19 dari Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Pada Juni, tentara Korea Utara menghancurkan kantor penghubung antar-Korea di Kaesong dan Yo-jong menyalahkan Moon secara pribadi atas rusaknya hubungan kedua negara.

Pernyataan-pernyataan itu membuat sejumlah pengamat menilai Yo-jong terkesan “lebih tiran” daripada kakaknya. Tapi Bennett mengingatkan bahwa bisa jadi sikap itu lebih ditujukan untuk membangun kredibilitas Yo-jong di mata kelompok garis keras Korea Utara. Beberapa pernyataan itu, dia menambahkan, kemungkinan besar ditulis oleh kakaknya atau anggota stafnya, bukan pernyataan pribadinya.

Lantas bagaimana prospek Yo-jong dalam menggantikan Jong-un? Bennett tak menampik hal itu mungkin terjadi, tapi, “Korea Utara telah dan tetap menjadi masyarakat patriarkis dan tidak jelas apakah para pemimpin politik dan militer di sana akan menerima seorang perempuan sebagai pemimpin," tulisnya di The Hill.

IWAN KURNIAWAN (CHOSUN ILBO, CHOSON SINBO, THE HILL, ASIA TIMES, CNN)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Iwan Kurniawan

Iwan Kurniawan

Kini meliput isu internasional. Sebelumnya menulis berbagai topik, termasuk politik, sains, dan seni. Pengasuh rubrik Pendapat dan kurator sastra di Koran Tempo serta co-founder Yayasan Mutimedia Sastra. Menulis buku Semiologi Roland Bhartes (2001), Isu-isu Internasional Dewasa Ini: Dari Perang, Hak Asasi Manusia, hingga Pemanasan Global (2008), dan Empat Menyemai Gambut: Praktik-praktik Revitalisasi Ekonomi di Desa Peduli Gambut (Kemitraan Partnership, 2020). Lulusan Filsafat Universitas Gadjah Mada.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus