Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Obituari

Indonesianis Pemandu Sejarah Aceh

Sejarawan Australia, Lance Castles, malang-melintang meneliti serta menulis sejarah dan politik Indonesia. Fasih berbahasa Aceh dan pernah menulis buku yang kontroversial tentang asal-usul etnis Betawi.

5 September 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Lance Castles di Jakarta, tahun 1999.TEMPO/Nihil Pakuril

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Sejak menyelesaikan studi di Yale University, Lance Castles menekuni penelitian dan menulis, di antaranya menyangkut sejarah, politik, dan perilaku politik di Indonesia.

  • Lance Castles pernah menulis buku yang kontroversial mengenai asal-usul etnis Betawi.

  • Orang-orang di Banda Aceh memanggilnya Tengku karena ia fasih berbahasa Aceh.

SAYA sedang membuka Facebook saat mendapati tulisan sahabat saya, Najib Azca, yang memberitakan kabar duka meninggalnya Indonesianis Lance Castles, Sabtu, 29 Agustus 2020. Cendekiawan asal Australia itu menutup mata dan beristirahat untuk selamanya pada usia 83 tahun. Karier akademisnya dimulai dari sarjana dan master di Monash University, Melbourne, Australia. Ia kemudian menyelesaikan PhD di Yale University, Amerika Serikat, dengan menulis disertasi tentang Indonesia berjudul “The Political Life Sumatran Residency Tapanuli 1915-1940, yang selesai pada 1972.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sejak menyelesaikan studi di Yale University, Lance menekuni penelitian dan menulis. Beberapa karya hasil penelitiannya yang telah diterbitkan menyangkut sejarah, politik, dan perilaku politik di Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Saya adalah muridnya saat menjadi tenaga ahli di Pusat Latihan Penelitian Ilmu-ilmu Sosial (PLPIIS) di Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, 42 tahun silam. Pada 1978 itu, saya dan sembilan peserta dari berbagai universitas di Indonesia datang ke Banda Aceh mengikuti angkatan kedua latihan penelitian ilmu sosial di PLPIIS. Saya sering mengikuti kuliahnya dan mendengar ceritanya.

Sebelum kelas dimulai, ia mengajak para peserta mengenal Aceh dengan mengunjungi beberapa tempat bersejarah di sekitar Banda Aceh pada minggu pertama. Sebagai sejarawan, ia bertindak sebagai pemandu menceritakan tentang artefak serta bangunan peninggalan sejarah kerajaan Aceh, Portugis, dan Belanda. Para peserta seperti wisatawan mendengarkan secara saksama penjelasan sejarah dari seorang pemandu "tengku dari Australia". Orang-orang di Banda Aceh memanggilnya Tengku karena ia fasih berbahasa Aceh.

Dengan latar belakang sejarah yang dimiliki, Lance menjelaskan secara rinci dan runut serta dibumbui perbandingan untuk memperkuat penjelasannya. Misalnya saat berkisah tentang peninggalan benteng dan meriam Portugis di Aceh dibandingkan dengan yang ditemui di Malaka (Malaysia), Ambon, dan Ternate. Peninggalan benteng-benteng itu ada kesamaan. Peninggalan itu sebagai bukti daerah tersebut pernah disinggahi kapal-kapal petualang atau pedagang Portugis dan tinggal untuk beberapa waktu di sana.

Bahkan beliau menceritakan, dalam tulisan perjalanan, rombongan kapal Magelhaens asal Portugis yang pada waktu itu (abad ke-14 dan ke-15) melakukan ekspedisi mencari daerah penghasil rempah-rempah di kepulauan Indonesia pernah singgah di suatu daerah di Aceh. Dalam laporan perjalanan itu ditulis bahwa Aceh sudah didiami penduduk yang hidupnya masih terbelakang.

Dalam satu kesempatan sambil istirahat makan siang, Lance menjelaskan kepada para peserta tentang asal-muasal daerah ini dinamakan Aceh. Latar belakang sejarah orang-orang Aceh itu berasal dari berbagai bangsa yang datang ke Aceh. Huruf “A” singkatan asal keturunan Arab, yang banyak ditemui di Aceh dan Pidie. Huruf “C” singkatan dari keturunan Cina, yang berdiam di Tanah Gayo (Takengon). Pada masa kerajaan dulu, ada putri keturunan Cina, Putri Nong, yang menikah dengan anak raja Aceh. Bukti makam Putri Nong masih ada di pinggir jalan antara Bireuen dan Lhokseumawe. Keturunan Putri Nong itu kemudian berdiam di Tanah Gayo.

Adapun “E” adalah singkatan dari keturunan Eropa, yang berdiam di Lamno (Meulaboh). Menurut sejarah, dulu ada kapal Portugis pecah dan kemudian anak buah kapal berdiam dan beranak-pinak di daerah itu. Orang Aceh yang berasal dari Lamno kebanyakan berparas putih dan bermata biru seperti mata orang Portugis. Kemudian huruf “H” singkatan dari keturunan Hindustan, sering disebut orang Madras atau orang Keling, seperti nama Kampung Keling di Kota Medan. Keturunan Hindustan banyak ditemui di Pidie dan Tamiang Aceh Timur (Langsa). Orang Aceh keturunan Hindustan kadang-kadang ada yang masih menggunakan bahasa Urdu. Aceh pada waktu itu terbuka dan menjadi tempat persinggahan kapal-kapal penjelajah dunia.

Pada hari terakhir kunjungan dalam perjalanan menuju pulang ke asrama, mobil yang kami tumpangi berbelok ke permakaman Kerkoff di Banda Aceh. Tempat itu adalah permakaman serdadu Belanda yang wafat dalam perang Aceh pada 1873-1904. Terlihat Tengku Lance berdiri menunggu para peserta di depan tembok setinggi 7-8 meter dan bentuknya setengah melengkung dengan panjang 20-30 meter. Pada waktu kami temui, dia berdiam diri dengan menatap tembok itu. Hanya menunjuk-nunjuk ke tembok. Di tembok ada tulisan tahun dan deretan nama. Ada tulisan tahun 1876, kemudian di bawahnya ada urutan nama. Urutan 1 sampai 3 tercantum nama serdadu Belanda, urutan 4-11 tertulis nama yang berasal dari Jawa, urutan 12-16 nama berasal dari Ambon, urutan 17-20 nama berasal dari Batak. Kata Lance, Kerkoff bukan hanya permakaman untuk serdadu Belanda, tapi juga buat penduduk pribumi yang bekerja sebagai serdadu Marsose dan anggota pasukan KNIL. Para peserta saling pandang, menyimpan kata bahwa perang Aceh bukan hanya perang melawan Belanda, tapi juga perang dengan anak bangsa sendiri. Ada sekitar 2.000 jasad, termasuk 3 serdadu Belanda berpangkat tinggi, yang dimakamkan di Kerkoff, kata Lance, sambil mengarahkan jarinya ke arah makam itu. Perjalanan mengenal Aceh ditutup dengan mengunjungi peninggalan sejarah perang Aceh. Meninggalkan kesan masa lalu yang kelam.

Di akhir saya mengikuti latihan penelitian, masa tugas Lance di PLPIIS habis. Sejak itu, saya tidak bertemu lagi dengannya. Hanya ada beberapa karyanya yang saya baca dan ikuti. Salah satu karya tulis yang menjadi polemik di media justru setelah puluhan tahun tulisan itu diterbitkan. Lance menulis The Ethnic Profile of Jakarta yang dimuat di jurnal Indonesia terbitan Cornell pada 1967. Tapi buku itu ramai diwacanakan oleh para pakar Betawi pada 2006.

Lance menulis buku itu untuk mendapatkan data penduduk Batavia pada awal dibangun oleh pemerintah Belanda dan perkembangannya sampai Indonesia merdeka. Tapi persoalan utama yang diwacanakan terkait dengan peran budak pada awal pembangunan Kota Batavia. Saat awal membangun Batavia, Jan Pieterszoon Coen mendatangkan para pekerja migran yang berstatus budak dari daratan Asia Selatan (Pantai Coromandel, Malabar, Bengal, Burma) (Castles, 1967: 156). Dalam jumlah kecil, ratusan pekerja migran bebas dari Indonesia berasal dari Sumbawa, Sumba, Flores (Manggarai), Timor, Nias, Ambon, Banda, dan Kalimantan. Dalam jumlah ribuan, pekerja migran didatangkan dari Bali dan Sulawesi Selatan. Pada 1673, tercatat jumlah penduduk Batavia sebanyak 32.068 jiwa, secara proporsional budak sebanyak 41 persen dan pekerja bebas 59 persen (orang Cina, Eropa, Arab, India, Ambon dan Banda, serta Melayu). Data itu yang tercatat bekerja pada East Indian Company.

Menurut Lance, data itu tidak akurat. Pada 1893, jumlah penduduk Batavia naik tajam hampir empat kali lipat menjadi 110.869. Pekerja budak hilang dan komposisi berbagai etnis penduduk Indonesia, sebesar 65 persen, serta penduduk Betawi saat itu dicatat mungkin sebagai etnis Sunda, orang Eropa (8 persen), Cina (24 persen), dan Arab (3 persen). Saat sensus 1930 yang dilakukan pemerintah Belanda, jumlah penduduk Batavia meningkat hampir 12 kali lipat, yaitu 110 ribu jiwa pada 1893 menjadi 1,6 juta jiwa pada 1930. Komposisi penduduk etnis Indonesia 88 persen (Betawi 47 persen dan Sunda 8,7 persen). Kemudian data itu dibandingkan dengan hasil sensus penduduk 1961. Lance menunjukkan penduduk Indonesia yang berdiam di Jakarta secara etnis makin beragam. Migran dari berbagai daerah datang ke Jakarta. Jakarta adalah melting pot keberagaman etnis dan budaya menuju terbentuknya Indonesia.

Setelah 20 tahun, tepatnya pada 1998, saya bertemu dengan Tengku Lance di kampus Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Saat itu, beliau bersama Herbert Feith menjadi pengajar tamu program S-2 di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM. Sewaktu bertemu, untuk mengingat masa di Banda Aceh, saya menegur beliau dalam bahasa Aceh, “Peu haba (Apa kabar), Tengku Lance?” Dia menjawab, “Haba get (Kabar baik).”

Pertemuan kami berikutnya terjadi dalam sebuah acara diskusi dengan Abdurrahman Wahid alias Gus Dur di suatu desa di Yogyakarta menjelang reformasi. Pertemuan itu penuh dengan gelak tawa karena Gus Dur terus melawak. Gedung pertemuan itu seakan-akan pecah. Saya duduk di samping Lance. Dia terlihat tertawa terpingkal-pingkal. Selama saya bertemu dengan dia di Banda Aceh, beliau sulit sekali tertawa.

Saya terakhir kali bertemu dengan Lance secara tidak sengaja di halaman kampus Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM menjelang sidang umum Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk pemilihan presiden. Kami hanya bertegur sapa sebentar karena dia punya janji dengan seorang dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM. Seorang teman dari Australian National University mengatakan Lance sejak itu pulang ke kotanya, Melbourne. Lance pulang dan tidak pernah kembali lagi ke Indonesia, negeri tempat beliau menghabiskan sebagian besar waktu hidupnya. Selamat jalan, Tengku Lance.

PROFESOR TADJUDDIN NOER EFFENDI, ALUMNUS PLPIIS BANDA ACEH ANGKATAN 1978, PENSIUNAN GURU BESAR FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS GADJAH MADA
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus