Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Saya Bayar Petugas

Seorang penyelundup burung kicau dari Sumatera ke Jawa ditangkap pada Juli lalu, meski kemudian dibebaskan. Kepada Tempo, dia buka-bukaan soal aktivitas ilegalnya.

5 September 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Penyelundup burung kicau Sumatera, Diah Bayu, 42 tahun, di Bandar Lampung, 6 Juli 2020. (foto: TEMPO/Mustafa Silalahi)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEPOLISIAN Sektor Kawasan Pelabuhan Bakauheni, Lampung, menangkap Diah Bayu, 42 tahun, bersama sopirnya saat melewati pos penjagaan pada Selasa, 7 Juli lalu. Ia ketahuan membawa sekitar empat ratus ekor burung kicau dari berbagai daerah di Sumatera. Sepekan sebelumnya, perjalanan pria asal Purwokerto, Jawa Tengah, itu sudah terpantau polisi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nama pedagang burung itu masyhur di kalangan para pemikat dan pengepul burung di Lampung, Bengkulu, Riau, dan Jambi. Pada Juni lalu, Bayu menghubungi jejaringnya dan menyatakan siap menampung berbagai burung kicau, berapa pun jumlahnya. Sebagian di antaranya masuk kategori dilindungi, seperti enggang, cililin, dan cucak hijau. Saat diperiksa polisi dan penyidik Balai Karantina Bandar Lampung, dia mengaku sebagai pedagang ayam dan burung dara dengan modal belasan juta rupiah. Dia pun berjanji tak akan mengulangi perbuatannya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Awal September lalu, petugas kembali menciduk pria berambut gondrong itu saat melintasi pos Pelabuhan Bakauheni. Sebelumnya, petugas gabungan menerima kabar Bayu lagi-lagi berkeliling daerah di Sumatera untuk membeli burung pada akhir Agustus lalu. Namun dia tak membawa satu ekor pun burung dalam mobilnya saat dicegat sehingga dilepaskan oleh polisi. Kepada wartawan Tempo, Mustafa Silalahi, seusai pemeriksaan pertama di Bandar Lampung, Rabu, 8 Juli lalu, Bayu mengaku memiliki umang-umang—sebutan bahasa setempat untuk informan bayaran.

Kenapa Anda menyelundupkan burung kicau ke Pulau Jawa?
Burung di Jawa barangnya sedikit. Memang ada banyak, tapi di Pasar Pramuka (Jakarta Timur). Kalau dibawa ke daerah lain di Jawa, untungnya tipis.

Dari mana burung kicau itu diperoleh?
Saya ke tempat pengepul di berbagai daerah naik mobil. Sebelum datang, saya memesan ke mereka. Ada juga yang pesan ke pemikat.

Ada pasar burung juga di Solo. Mengapa tidak beli di sana?
Kalau di sana, udah masuk pedagang gede. Di sana grosiran. Burung asal Sumatera di sana biasanya dikirim pakai pesawat.

Peminatnya burung asal Sumatera di Jawa banyak?
Penggemarnya banyak, dari berbagai usia. Makanannya pun mudah, cukup air gula bisa gacor (berkicau). Saya sampai menjualnya dari Purwokerto ke Probolinggo (Jawa Timur). Susah mencari burung-burung kecil di Jawa. Kalau yang besar lebih murah karena hasil peternakan di Jawa.

Untuk apa burung-burung kecil itu?
Biasanya dipakai untuk masteran (untuk memancing burung lain lebih berkicau). Ada juga yang dipelihara sendiri.

Berapa harga burung itu Anda beli dari pemikat dan harga jualnya?
Kalau burung kolibri saya beli Rp 5.000. Saya jual dengan harga Rp 20-30 ribu.

Burung apa saja yang Anda selundupkan?
Burung-burung kecil saja, kolibri, trocok, kinoi, macam-macam. Pernah juga menjual burung cucak jenggot blorok. Saya jual Rp 700 ribu.

Kami mendapatkan informasi bahwa Anda masih memesan burung enggang dan burung dilindungi lainnya?
Enggak berani lagi, Om. Besar risikonya kalau ketahuan menjualnya.

Burung di dalam boks yang Anda bawa banyak yang mati. Kenapa?
Itu memang risiko. Makanannya sudah disediakan di dalam kotak. Sudah dihitung sebagai kerugian. Biasanya mati karena lemas saat ditangkap. Bisa juga kepenuhan di dalam kotak.

Anda bekerja sama dengan petugas?
Ada penegak hukum. Namanya Pawan, orang Bakauheni. Dia enggak pakai seragam. Saya bayar petugas Rp 400 ribu supaya bisa meloloskan burung melewati pos jaga. Dulu pernah dibantu dia juga.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Mustafa Silalahi

Mustafa Silalahi

Alumni Ilmu Komunikasi Universitas Sumatera Utara ini bergabung dengan Tempo sejak akhir 2005. Banyak menulis isu kriminal dan hukum, serta terlibat dalam sejumlah proyek investigasi. Meraih penghargaan Liputan Investigasi Adiwarta 2012, Adinegoro 2013, serta Liputan Investigasi Anti-Korupsi Jurnalistik Award 2016 dan 2017.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus