Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DALAM sebuah jamuan makan malam yang digelar United States Indonesia Society (Usindo) di Washington, DC, Mei 2005, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berpidato panjang-lebar tentang Indonesia pasca-Orde Baru. Ketika menjelaskan semangat perubahan yang tengah melanda Tanah Air, Yudhoyono menyinggung nama Adam Schwarz. Dan menyebutnya ”My good friend.”
Yudhoyono dan Adam Schwarz memang dua kawan lama. Schwarz, pria Amerika, penulis buku A Nation in Waiting; Indonesia’s Search for Stability (1994), kerap mewawancarai Yudhoyono soal reformasi militer di Indonesia ketika dia masih menjadi wartawan yang berbasis di Jakarta pada 1990-an. Hubungan mereka makin dekat seiring dengan berjalannya waktu.
Schwarz—kini rekanan di lembaga konsultan manajemen internasional McKinsey & Company—disebut-sebut berperan penting dalam meyakinkan Yudhoyono membentuk Unit Kerja Presiden untuk Pengelolaan Program dan Reformasi (UKP3R). Pembentukan unit ini kemudian memicu konflik terbuka pertama antara Presiden dan wakilnya, Jusuf Kalla, sepanjang dua pekan terakhir.
Tidak jelas benar kapan pertama kali usul McKinsey tentang Unit Kerja Presiden dipaparkan di Istana Merdeka. Saat dihubungi Tempo, Adam Schwarz menolak berbicara tentang hal ini. ”Saya tidak bisa berkomentar soal kebijakan atau program McKinsey,” katanya. Larangan itu berlaku untuk semua konsultan McKinsey di seluruh dunia.
Jika dirunut ke belakang, ini bukan pertama kalinya Adam Schwarz dan McKinsey & Co. memainkan peran dalam kebijakan Presiden Yudhoyono. Koran bisnis bergengsi The Wall Street Journal pada 2 November 2005 mengungkap fakta lain tentang kedekatan mereka. Koran ini menulis, cetak biru Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh—lembaga yang dipercaya mengkoordinasi pembangunan kembali Aceh dan Nias setelah tsunami 2004—disentuh pula tangan para konsultan McKinsey.
Adalah mantan Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew yang ketika itu menyarankan Yudhoyono meminta bantuan konsultan asing. Schwarz kemudian bertemu dengan Presiden Yudhoyono pada Februari 2005. Sejak itu, belasan konsultan McKinsey bekerja menyiapkan konsep rekonstruksi Aceh. Sumber Tempo di lingkungan Istana membenarkan informasi ini. Belakangan terungkap, McKinsey juga terlibat dalam pembaruan manajemen di Pertamina—seperti diakui oleh Direktur Utama Pertamina Arie Sumarno kepada Tempo pekan lalu.
Nah, pada 15 Februari 2006, ide pembentukan lembaga serupa sebenarnya sempat dipaparkan di depan Presiden dalam sebuah rapat kabinet terbatas. Kali ini sumbernya bukan McKinsey, melainkan para pucuk pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Sejak dua tahun lalu, komisi ini giat mendesak Presiden menggerakkan roda reformasi birokrasi. Lembaga ini yakin, investor asing enggan masuk ke Indonesia karena penegakan hukum yang masih semrawut. Dalam rapat kabinet, Ketua KPK Taufiequrrahman Ruki dan wakilnya, Erry Riyana Hardjapamekas, mendesak Presiden membentuk sebuah satuan tugas yang khusus diberi mandat untuk melaksanakan rencana pembaruan birokrasi pemerintah. Erry Riyana membenarkan adanya rapat itu. ”Reformasi birokrasi adalah prioritas kami sejak dulu,” katanya.
Pada akhir rapat, Yudhoyono menugaskan Menteri Perekonomian Boediono untuk memastikan tim yang diusulkan KPK segera dibentuk. Selang sebulan, pada 21 Maret 2006, Boediono mengundang pemimpin KPK untuk membicarakan kelanjutan rencana tersebut. Pertemuan serupa digelar pada awal April—hanya dua pekan sebelum Yudhoyono melawat ke Timur Tengah.
Seorang sumber majalah ini di lingkungan Departemen Keuangan membenarkan adanya rapat-rapat tersebut. ”Tugas Pak Boediono adalah memastikan tugas dan fungsi unit kerja ini tidak bertabrakan dengan para menteri dan alur kerja kabinet,” katanya.
Sesungguhnya peran Boediono lebih dari sekadar itu. Dialah tokoh yang dipercaya oleh Presiden untuk menjadi ”koki” yang meracik dan meramu dua gagasan besar di balik Unit Kerja. Ide pertama, menitikberatkan bidang ekonomi seperti digagas McKinsey. Ide kedua berfokus pada reformasi birokrasi dan pembaruan peradilan, berasal dari usul KPK. Boediono menolak bercerita tentang perannya. Dia hanya tertawa lebar ketika dicegat Tempo di kantornya pekan lalu.
Pada akhir April 2006, di tengah lawatan ke Timur Tengah, Presiden Yudhoyono untuk pertama kalinya merilis rencananya membentuk unit kerja khusus. ”Saya akan segera membentuk unit kerja untuk mempercepat investasi asing di Indonesia,” katanya kepada wartawan—termasuk Tempo—seusai bertemu para pengusaha anggota Kamar Dagang dan Industri Arab Saudi di Riyadh.
Konsep tim Yudhoyono ini, menurut juru bicara kepresidenan Andi Alfian Mallarangeng, mirip dengan Prime Minister’s Delivery Unit yang dibuat Perdana Menteri Inggris Tony Blair. Yang tak disebut Andi, orang-orang McKinsey & Co. juga dikenal amat dekat dengan pemerintah Blair. Bahkan mantan Kepala Prime Minister’s Delivery Unit, Sir Michael Barber, kini bekerja untuk McKinsey.
Sekembali Presiden dari Timur Tengah pada Mei 2006, Unit Kerja ini pun terbentuk. Sumber Tempo di Istana menyebut Marsillam ditunjuk sendiri oleh Presiden. Dalam salinan keppres yang diperoleh majalah ini, tercantum bahwa kepala unit kerja ditunjuk langsung oleh Presiden.
Kepada wartawan pekan lalu, Yudhoyono tegas-tegas menyampaikan, kriteria anggota Unit Kerja adalah integritas, profesionalitas, kemampuan manajemen, dan komitmen pada reformasi. ”Ini bukan pos politik,” katanya. Dua anggota Unit lain adalah Edwin Gerungan dan Agus Widjojo.
Lima bulan tak ada kabar. Pada 29 September lalu, Yudhoyono menandatangani Surat Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2006 tentang pembentukan Unit Kerja. Dan kemudian, meledak dua pekan lalu.
Wahyu Dhyatmika, Kurie Suditomo, Agus Supriyanto
Melongok Tetangga
Unit Kerja Perdana Menteri, Inggris Berdiri pada Juni 2001 dengan nama Prime Minister’s Delivery Unit. Melapor langsung ke perdana menteri walau bekerja sama secara erat dengan menteri keuangan serta menteri-menteri dari departemen terkait.
Tugas
- Memantau dan melaporkan pelaksanaan prioritas kerja dan pembaruan yang disetujui perdana menteri.
- Mengidentifikasi hambatan kunci dan tindakan yang perlu diambil untuk perbaikan kinerja.
- Membagi informasi dan pengetahuan soal praktek-praktek terbaik pelaksanaan tugas perdana menteri.
- Membantu perbaikan di sektor pelayanan publik.
Personalia Dipimpin seorang kepala setingkat sekretaris kabinet. Terdiri dari sejumlah tim pelaksana kecil yang diketuai birokrat senior, tim analisis situasi, dan tim monitoring.
Unit Implementasi Kabinet, Australia Berdiri pada Oktober 2003 dengan nama Cabinet Implementation Unit. Tim bekerja di bawah perdana menteri dan kabinetnya. Setiap kebijakan baru dirumuskan, ada rencana pelaksanaan detail yang akan dikembangkan. Dan unit ini bertugas memastikan pelaksanaan setiap detail menurut rencana.
Tugas
- Memastikan pelaksanaan semua kebijakan kabinet menjadi prioritas.
- Mendorong perencanaan kebijakan sejak dini dan secara efektif.
- Menindaklanjuti perencanaan dengan memantau jadwal dan anggaran pelaksanaannya.
Personalia Terdiri dari sepuluh orang yang berpengalaman dalam bidang perumusan kebijakan dan pelaksanaan program. Sebagian staf unit diambilkan dari lembaga yang terkait dengan kerja tim.
Unit Kerja Presiden, Indonesia Berdiri pada September 2006 dengan nama Unit Kerja Presiden untuk Pengelolaan Program dan Reformasi. Tim melapor langsung kepada presiden, namun bekerja di bawah koordinasi Menteri Koordinator Perekonomian.
Tugas
- Membantu presiden dalam melaksanakan pemantauan, pengendalian, dan percepatan pelaksanaan program dan reformasi, sehingga tercapai sepenuhnya.
- Membantu presiden menetapkan sasaran perubahan dan prioritas pencapaian kemajuan dalam waktu tertentu dan mengidentifikasi kendala dalam pelaksanaan program dan cara mengatasi.
- Membantu presiden menetapkan perbaikan mutu administrasi publik dan pelaksanaan program pembaruan tata kelola pemerintahan.
Personalia Diketuai satu kepala (bisa pegawai negeri atau bukan) yang didampingi satu deputi bidang ekonomi dan satu deputi non-ekonomi. Ketiga pemimpin unit dibantu sejumlah staf dan bisa menggunakan konsultan di luar pemerintahan jika dibutuhkan.
Wahyu Dhyatmika
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo