Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEMARAHAN seperti membakar kantor pusat Partai Golkar, Kamis malam pekan lalu. Suara keras terhadap pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, yang mulai dilontarkan dtua pekan terakhir, semakin nyaring terdengar malam itu. Namun, begitu Jusuf Kalla, Ketua Umum Partai, bicara dan memberikan arahan, yang terjadi seperti api disiram air. Protes dan keluh-kesah mendadak padam— walau mungkin belum sepenuhnya.
”Semua sudah jelas, tidak ada masalah lagi,” kata Rully Chaerul Azwar, Ketua Partai Golkar, seusai pertemuan tertutup di kantor Golkar, Jalan Anggrek Nelly Murni, Slipi, Jakarta.
Sebelumnya para politisi Partai Beringin meradang setelah Yudhoyono mengumumkan pembentukan Unit Kerja Presiden untuk Pengelolaan Program dan Reformasi (UKP3R) pada 26 Oktober. Lembaga baru ini dianggap menabrak kewenangan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Apalagi, dalam penyusunannya, Kalla pun merasa tak dilibatkan.
Golkar juga mempersoalkan pengangkatan Marsillam Simandjuntak sebagai Ketua Unit Kerja. Ia dianggap terlibat dalam penyusunan dekrit oleh Presiden Abdurrahman Wahid yang membubarkan parlemen dan Partai Golkar pada Juli 2001—tuduhan yang pernah dibantah oleh Marsillam dalam sebuah kesempatan.
Gertak politik dilayangkan sejumlah aktivis Golkar. Mereka meminta partainya tak lagi mendukung pemerintah. Beberapa pengurus tingkat provinsi—ada yang mengklaim sampai 16 daerah—menuntut hal serupa. Di antaranya Lampung dan Yogyakarta. Mereka meminta masalah ini dituntaskan dalam Rapat Pimpinan Nasional Golkar yang digelar mulai Senin ini.
Dalam pertemuan di kawasan Slipi itu, Kalla meminta anggota partainya menurunkan suhu. Alasannya, Presiden Yudhoyono sudah merevisi mekanisme Unit Kerja dan kemudian menjelaskan kepada publik. Hal itu dianggap sudah menjawab keberatan Golkar.
Kalla tak lupa menyentil dua politisi yang sering bersuara keras di media massa, Yuddy Chrisnandi dan Burhanuddin Napitupulu. ”Tolong kita cooling down dulu,” kata Kalla, seperti ditirukan seorang peserta pertemuan, ”Presiden sudah menjelaskan, jadi kita (anggap) cukuplah.”
Benarkah perubahan arah angin yang begitu cepat itu terjadi begitu saja? Tidak adakah konsesi yang dijanjikan Presiden untuk meredam Golkar? Sumber-sumber Tempo menyebutkan, Yudhoyono berjanji memberikan tambahan kursi bagi Golkar di kabinet. ”Janji itu disampaikan SBY (Yudhoyono) saat bertemu empat mata dengan Kalla, Kamis lalu,” kata sumber yang dekat dengan Yudhoyono. Informasi ini dibenarkan oleh sebuah sumber dari kalangan dekat Jusuf Kalla.
Namun Andi Matalatta, Ketua Partai Golkar, membantah informasi itu. Perubahan sikap Golkar, ia menjelaskan, terjadi semata-mata karena Presiden sudah merespons keberatan partainya. ”Kami tidak dagang sapi. Rendah sekali kami dinilai seperti itu,” ujarnya.
Tak jelas siapa yang berbohong. Tapi tambahan kursi di kabinet ini selalu disuarakan para pengurus Golkar. Sebagai pemilik 128 kursi—yang terbanyak di Dewan Perwakilan Rakyat—Golkar merasa berhak mendapat tambahan jatah kursi menteri. Sekarang ini Golkar hanya menempatkan tiga nama di kabinet, yaitu Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Aburizal Bakrie, Menteri Perindustrian Fahmi Idris, dan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional Paskah Suzetta.
Jika benar ada tambahan kursi bagi Golkar, ada soal lain di Partai Beringin. Kepada faksi mana kursi akan diberikan? Sudah luas diketahui, Partai Beringin sekarang terbagi-bagi menjadi beberapa faksi. Ada faksi Kalla, faksi Wakil Ketua Umum Agung Laksono, dan faksi kelompok SOKSI. Juga sudah menjadi rahasia umum di Partai Golkar bahwa Agung Laksono kini ”berjalan mesra” dengan Yudhoyono. Dampak hubungan itu, di mata orang Golkar, bisa menjadikan Agung sebagai kekuatan untuk mengimbangi Ketua Umum Partai.
Sumber Tempo menyebutkan kedekatan Agung Laksono, kini Ketua DPR, dengan Yudhoyono terlihat saat berbuka puasa bersama di rumah dinas Agung, 1 Oktober lalu. Menurut dia, ”Agung bisa setiap saat menelepon Yudhoyono, kalau ingin bertemu juga tidak terlalu sulit.”
Pada Jumat malam dua pekan lalu, kata sumber itu, Agung menemui Yudhoyo-no di rumahnya, Puri Cikeas Indah, Bogor. Dalam pertemuan selama setengah jam itu, rencana perombakan kabinet juga dibicarakan. Yudhoyono kabarnya bicara tentang rencana perombakan kabinet jilid kedua. ”Tapi tidak dalam waktu dekat, mungkin pada mid term, artinya kira-kira Februari-Maret tahun depan,” kata politisi muda ini.
Dalam pertemuan itulah Agung mengajukan daftar nama calon menteri dari Golkar. Menurut sumber lainnya, daftar nama usulan itu ditulis menurut abjad: Andi Matalatta, Burhanuddin Napitupulu, Firman Soebagyo, Muladi, Priyo Budi Santoso, Rully Chaerul Azwar, Syamsul Mu’arif, Theo Sambuaga, Yuddy Chrisnandi, dan Yuniwati Maschun Sofwan.
Hingga berita ini ditulis, Agung yang sedang berkunjung ke Iran tidak bisa dimintai konfirmasi. Adapun Heru Lelono, staf khusus yang sering menghadiri acara Presiden Yudhoyono, mengaku tidak tahu adanya penyerahan daftar nama calon menteri oleh Agung itu. Demikian pula Rully Chaerul Azwar, yang menyatakan, ”Kami tidak tahu, masalah itu belum pernah dibahas oleh Partai Golkar.”
Hal yang sensitif biasanya jarang diakui. Tapi, yang pasti, informasi rencana perombakan kabinet itu cocok dengan pernyataan Ketua Umum Partai Amanat Nasional, Soetrisno Bachir, setelah menemui Yudhoyono pada Kamis malam pekan lalu. Menurut dia, Presiden akan mengganti beberapa menteri pada pertengahan masa pemerintahannya.
Barangkali kabar pergantian itu mempengaruhi suasana Rapat Pimpinan Nasional Partai Golkar di Jakarta, mulai Senin ini. Yuddy Chrisnandi, yang masuk daftar calon menteri, menyatakan masalah Unit Kerja Presiden bisa dianggap selesai. Namun kritik kepada Presiden SBY tetap akan bermunculan.
Penyebabnya, menurut Yuddy, adalah sikap pemerintah dalam sejumlah sengketa pemilihan kepala daerah yang dianggap merugikan Golkar. Di antaranya masalah lawas: penetapan Gubernur Lampung. Ada juga sengketa pemilihan kepada daerah di Depok, Tapanuli Tengah, dan Sulawesi Barat.
Alzier Danies Thabranie, Ketua Golkar Lampung, menyatakan tetap akan menuntut partainya menarik dukungan kepada pemerintah. Demikian juga para pengurus Golkar Yogyakarta. ”Inilah saatnya menarik dukungan untuk SBY,” kata Gandung Pardiman, Ketua Golkar Yogyakarta.
Gandung pasti belum lupa bahwa partainya pada awalnya tidak mendukung pasangan Yudhoyono-Kalla. Ketika diumumkan di Jakarta Convention Center pada 10 Mei 2004, SBY-JK hanya diusung oleh Partai Demokrat, Partai Bulan Bintang, serta Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia.
Saat itu Golkar menjagokan Wiranto-Salahuddin Wahid, yang hanya menempati urutan ketiga pada pemilihan 5 Juli 2004. Bahkan, pada putaran kedua pun Golkar tidak mendukung SBY-JK. Beringin menyokong penuh Megawati-Hasyim yang akhirnya kalah.
Serangan politik kepada Jusuf Kalla tidak berhenti sampai di situ. Akbar Tandjung, ketua umum ketika itu, memberhentikan Jusuf Kalla dan Muladi, yang dianggap sebagai motor forum itu, dari posisi anggota Dewan Penasihat Golkar. Sekelompok kecil pengurus Golkar yang menggalang dukungan untuk Yudhoyono-Kalla, dengan membentuk Forum Pembaharuan Partai Golkar, ikut dihantam.
Akbar Tandjung juga memecat sejumlah pengurus yang terlibat dalam forum. Di antaranya Marzuki Darusman, Fahmi Idris, Priyo Budi Santoso, Burhanuddin Napitupulu, Anton Lesiangi, Abu Hanifah, Abu Hasan Sadjili, Yusril Nasution, dan Yuniwati Maschun Sofwan. Sebagian nama inilah yang pekan lalu diajukan Agung Laksono sebagai calon menteri.
Setelah pasangan Mega-Hasyim dikalahkan Yudhoyono-Kalla, Akbar Tandjung memilih tempat berseberangan: menjadikan Golkar partai oposisi. Peta berubah total setelah Jusuf Kalla terpilih menjadi ketua umum dalam Musyawarah Nasional Partai Golkar di Bali, Desember 2004—dua bulan setelah pasangan Yudhoyono-Kalla memimpin negeri ini.
Golkar, yang memiliki 128 kursi, berbalik menjadi pendukung pemerintah. Mereka beberapa kali bahkan menjadi motor penjegalan usulan hak angket yang diajukan sejumlah anggota parlemen. ”Sumbangan” itulah yang kini digugat sejumlah politisi Beringin.
Memang tak ada yang gratis dalam politik. Tapi adakah Partai Golkar tidak kelewat banyak meminta?
Budi Setyarso
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo