Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Suara dari Lingkar Dalam

13 November 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dua sosok terdepan di negeri ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) menjadi bintang media massa selama dua pekan terakhir. Topik terhangat: pertalian mereka disebut-sebut makin renggang setelah SBY menandatangani keputusan pembentukan Unit Kerja Presiden untuk Pengelolaan Program dan Reformasi pada 29 September lalu. Tempo mengontak beberapa orang dekat SBY dan JK untuk mendapatkan ceritera dari ”lingkar dekat”. Dua pengamat politik turut memberikan pendapat.

Berikut ini petikannya:

Heru Lelono Staf Khusus Presiden Bidang Otonomi Daerah Saya Tahu SBY Kecewa

Saya mendampingi Pak SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) saat dia mencari calon wakil presiden. Ketika beliau memutuskan memilih Pak Jusuf Kalla sebagai wakilnya, saya sempat bertanya walau dalam hati saya setuju. Beliau menjawab, ”Saya punya pengalaman menyelesaikan banyak masalah bangsa bersama Pak Jusuf Kalla.”

Pada awal 2004 saya mengantarkan surat permintaan Pak SBY kepada Pak Jusuf Kalla untuk menjadi calon wakil presiden. Saat itu Pak Kalla belum menjadi Ketua Umum Partai Golkar. Dan dia menyatakan bersedia. Jadi, Pak SBY yang mengajak Pak Kalla berpasangan, bukan sebaliknya.

Ketika pasangan ini terpilih, masyarakat berharap mereka segera memperbaiki keadaan. Presiden membentuk Unit Kerja Presiden untuk Pengelolaan Program dan Reformasi (UKP3R) guna menjawab harapan tersebut. Di samping itu, demi mempercepat pemberantasan korupsi. Kalau ada pernyataan Unit Kerja Presiden mengambil hak wakil presiden, dari mana teorinya?

Saya menduga Pak SBY kecewa unit kerja ini menjadi polemik. Memang beliau tidak pernah menyatakan tapi saya tahu dari bahasa tubuhnya. Beliau meminta kami menanggapi polemik ini secara proporsional.

Syamsuddin Haris Pengamat Politik Wakil Presiden Harus Loyal

Lembaga kepresidenan bersifat tunggal. Tapi Wakil Presiden sepertinya berjalan sendiri. Padahal konstitusi jelas menyatakan bahwa kekuasaan di tangan presiden. Wakil presiden tidak disebutkan membantu memegang kekuasaan. Ketidakjelasan konstitusi yang mengatur posisi wakil presiden inilah yang menjadi pangkal kisruh hubungan Presiden dan wakilnya.

Kesalahan Presiden Yudhoyono sejak awal adalah membiarkan Jusuf Kalla berperan lebih banyak bahkan membiarkannya menjadi Ketua Umum Golkar. Seharusnya Yudhoyono bisa menolak. Sebab, dalam sistem pencalonan secara paket, wakil presiden harus loyal kepada presi-den. Tidak bisa tidak!

Posisi Jusuf Kalla yang memiliki basis politik kuat justru menyulitkan SBY. Ujungnya, masa depan pemerintahan terganggu karena akan muncul rasa saling curiga. Apalagi Jusuf Kalla dicurigai memiliki agenda sendiri untuk pemilu 2009.

Rasanya tidak etis kalau soal (perjanjian antara SBY dan JK sebelum pemilihan presiden) itu diungkap ke publik. Komitmen tersebut bersifat pribadi antara dua individu. Bukan komitmen antara kandidat presiden dan wakil presiden.

Pembentukan UKP3R ini latar belakangnya karena ketidakpercayaan Presiden terhadap kabinetnya. Ketidakpercayaan itu mestinya melahirkan reshuffle. Namun Presiden Yudhoyono tidak bisa melakukannya karena terjebak konsesi politik dengan partai. Tampaknya SBY memang tidak pede (percaya diri) untuk melakukan reshuffle.

Suko Sudarso Tim Sukses SBY pada Pemilihan Presiden 2004 Seperti Musuh Dalam Selimut

Ini (pembentukan UKP3R) menjadi masalah karena Presiden kurang berani melakukan reshuffle. Padahal pemerintahan SBY adalah presidensial. Dia bertanggung jawab atas 60 persen penduduk yang memilihnya dalam pemilu.

Keretakan pasangan (presiden dan wakil presiden) ini beberapa kali muncul ke permukaan saat menangani masalah (tsunami) Aceh, (sidang kabinet melalui) telekonferensi, dan (kandidat penerima hadiah) Nobel. Ini terjadi karena SBY menempatkan Jusuf Kalla pada posisi yang powerful sebagai Ketua Umum Partai Golkar.

Saya sudah memberikan masukan kepada SBY saat Musyawarah Nasional Partai Golkar di Bali (Desember 2004). Ketika itu Akbar Tandjung dan Wiranto menyatakan akan (membawa Golkar) setia dan mendukung pemerintah jika terpilih sebagai ketua umum. Bahkan Bang Akbar sempat membuat surat pernyataan akan mendukung pemerintahan SBY hingga 2009. Saya mengirimkan surat itu lewat faksimile langsung ke Presiden. Tetapi usul itu tidak dipakai.

SBY malah memberikan jalan kepada Jusuf Kalla untuk maju menjadi Ketua Umum Golkar. Akibatnya, Jusuf Kalla menjadi amat kuat karena menguasai legislatif dan eksekutif. Yang terjadi sekarang: mereka seperti musuh dalam selimut.

Aksa Mahmud Wakil Ketua MPR dan adik ipar Jusuf Kalla Beda Gaya Bugis dan Jawa

Unit Kerja (UKP3R) ini sudah tidak mungkin dicabut. Presiden Yudhoyono menegaskannya sendiri semalam (Kamis pekan lalu) bahwa unit ini dikuatkan dalam bentuk keputusan presiden dan akan bekerja di bawah pemerintah. Tugasnya jelas. Dan saat berjalan nanti tidak bisa ikut sidang kabinet, tidak bisa memanggil menteri dan harus berkoordinasi dengan Menteri Koordinator Perekonomian.

Yang terjadi saat ini (antara Presiden dan Wakil Presiden) seperti orang pacaran yang saling mengingatkan. Suami bisa mengingatkan istri, istri bisa mengingatkan suami. Bukan berarti pernikahan hancur, kan? Saya dekat dengan Pak Yudhoyono, dekat juga dengan Pak Jusuf. Mereka tidak pernah berhenti berkomunikasi. Mereka masih terus baku telepon.

Persoalan ini juga tidak ada hubungannya dengan posisi Pak Jusuf sebagai Ketua Umum Golkar. Pak Jusuf menjadi ketua umum sepengetahuan Pak Yudhoyono. Justru kalau Pak Jusuf tidak pegang Golkar mungkin akan lebih banyak masalah.

Soal perjanjian (antara SBY-JK sebelum pemilihan presiden), tidak perlulah menagih-nagih. Tidak perlu juga ada perubahan kontrak. Pak Jusuf hanya mengingatkan jangan sampai ada tumpang-tindih. Ini hanya soal beda gaya, satu dari Bugis, satunya dari Jawa.

Mochtar Pabottingi Pengamat Politik Reshuffle Saja Kabinetnya

Sejak awal, Presiden sudah mengkhianati bentuk kabinet presidensial yang ideal. Kalau presidensial, seharusnya dia tidak membiarkan orang atau kekuatan lain menentukan kabinet. Sekarang dia menyesal. Ketika Presiden mengatakan (Kamis malam pekan lalu) pemerintahannya kabinet presidensial itu wishful thinking. Karena di lapangan sistem pemerintahan kita ini multipartai, tidak ada mayoritas tunggal.

Kita lihat saja fakta, apakah Presiden punya nyali eksekutif. Kalau punya keberanian, reshuffle saja kabinetnya. Tidak usah mempertimbangkan ini orang Golkar atau bukan. Pokoknya yang tidak ahli diganti dengan yang ahli. Kalau tidak berani mengambil keputusan, seribu UKP3R juga tidak ada artinya. Mereka ini (UKP3R) kan hanya memberikan masukan. Keputusan akhir ada pada Presiden.

Dulu kan ada gentleman’s agreement di antara mereka (SBY-JK sebelum pemilu presiden) bahwa urusan-urusan ekonomi biarlah ditangani wakil presiden. Kalau perjanjian itu disebut hanya antara dua individu, jadinya debat kusir. Mana bisa dipisahkan presiden dan wakil presiden dari individualitas.

Saya khawatir pemerintahan ini akan mandek. Apalagi salah satunya merasa ada pelecehan. Mudah-mudahan saat Presiden mengungkapkan itu (mempertahankan UKP3R) hanya langkah untuk menyelamatkan muka. Ini krisis serius yang tidak akan bisa dielakkan. Baru kali ini saya lihat dia (Presiden) punya nyali. Contoh nyata Presiden tak punya nyali yaitu dalam kasus Munir (aktivis hak asasi).

Alwi Hammu Staf Khusus Wakil Presiden Mereka Masih SMS-an

Hubungan Presiden Yudhoyono dan wakilnya (Jusuf Kalla) selama ini baik-baik saja. Mereka masih SMS-an dan saling telepon. Mungkin di permukaan saja hubungan mereka sedikit terganggu. Tapi saya yakin di dalam mereka baik-baik saja. Begitu pula dengan tim di sekeliling Presiden dan Wakil Presiden: tidak ada masalah. Buktinya, saya menjadi panitia perayaan dua tahun tsunami di Aceh.

Kasus ini (polemik UKP3R) tidak akan membuat SBY dan JK pecah kongsi. Saya yakin itu. Mereka memiliki kesepakatan dalam bentuk perjanjian soal pembagian tugas dan tanggung jawab antara presiden dan wakilnya. Salah satu tugas wakil presiden mengurusi masalah ekonomi. Yang juga saya ingat ada kalimat, wakil presiden bukanlah ”ban serep” presiden. Kata ban serep ditulis dengan tanda kutip.

Saya yakin pasangan ini akan terus bersama menyelesaikan periode pemerintahan lima tahun mereka sampai 2009. Dalam perjalanannya ada saja hambatan. Istilahnya, ada setan kentut di antara SBY dan JK. Tapi saya minta mereka (setan kentut) dicuekin saja.

Agung Rulianto, Budi Setyarso, Ramidi, Kurie Suditomo, Poernomo Gontha

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus