Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Beban Petani Terasa Hingga Pasar

Tingginya beban produksi petani jadi salah satu penyebab melambungnya harga beras di pasar. 

18 Januari 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Petani menggiling padi di pinggiran sawah di Rorotan, Jakarta, 3 Januari 2022. Tempo/Tony Hartawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MUSIM hujan berkepanjangan akibat fenomena cuaca La Nina sepanjang tahun lalu menambah beban bagi Muhammad Sukron. Petani padi asal Bogor itu harus mengeluarkan biaya lebih untuk memproduksi gabah kering lantaran harus menyewa gudang penghangat. Pasalnya, di wilayahnya, matahari hanya muncul sekitar pukul 07.00 hingga 13.00 WIB. Selepas itu, cuaca cenderung berawan dan tak jarang hujan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Kalau cuaca panas, saya bisa menjemur gabah basah hasil panen di lapangan," ujar Sukron kepada Tempo selepas menyetor karung berisi gabah ke sebuah penggilingan di Bogor, kemarin. Beban Sukron bukan hanya untuk sewa gudang. Pengeluaran dia dan para petani lain kian bengkak akibat kenaikan harga bibit, pupuk, upah buruh, hingga sewa kerbau atau traktor untuk membajak sawah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kenaikan biaya produksi tersebut, menurut Sukron, terjadi berangsur-angsur sejak beberapa bulan lalu. Di sisi lain, harga gabah dan beras yang menjulang di pasar tidak serta-merta dirasakan petani. Musababnya, kebanyakan petani di Bogor berutang kepada tengkulak, sehingga gabah-gabah hasil panen itu pun terpaksa dijual dengan harga ketika mereka meminjam dana. 

"Nanam padi kan butuh tiga sampai empat bulan. Jadi, ketika harga naik pun, kami dibayar sesuai dengan harga ketika minjam modal. Yang untung mah tengkulak," ujar Sukron. Belum lagi para petani pun harus menghadapi cuaca yang tidak terprediksi, sehingga musim panen dan hasilnya pun kerap tidak sesuai dengan rencana. Dengan biaya produksi yang tidak sebanding dengan keuntungan dan berbagai kendala itu, Sukron mengatakan banyak petani beras di Bogor memilih beralih berkebun sayuran. Bahkan tidak sedikit petani yang menggadaikan hingga menjual lahannya dan beralih profesi.

Rentetan Beban Petani dan Penggilingan Padi

Tingginya biaya produksi padi juga dirasakkan Suganda, petani asal Kabupaten Cirebon. Ia mengatakan biaya ekstra dirasakan sejak masa awal tanam padi. Biaya untuk tenaga kerja dan pengolahan sawah menjadi pos terbesar. Penandur yang berjumlah 23 orang dibayar Rp 35 ribu per orang per hari. Sementara itu, tenaga kerja untuk pembabatan rumput dan perbaikan galengan sawah mencapai Rp 125 ribu per orang per hari. 

Di samping itu, Suganda membayar orang khusus untuk menjaga persemaian agar tidak dirusak tikus, dengan biaya Rp 300 ribu. “Kalau ditotal-total, hingga umur setengah bulan, sudah lebih dua juta saya keluarkan,” tuturnya. Biaya bakal terus bertambah karena sawah dan tanaman juga perlu dipupuk.

Dengan biaya sebesar itu, ia hanya berharap harga gabah di musim panen ini tetap tinggi. Meskipun demikian, ia mahfum bahwa hasil panen di musim hujan biasanya dihargai lebih rendah ketimbang panen di musim gadu lalu yang bisa mencapai Rp 6.600 per kilogram--jauh di atas harga pembelian pemerintah untuk gabah kering panen yang sebesar Rp 4.200 per kilogram. “Kalau harga jatuh, biasanya saya simpan. Menunggu harga gabah tinggi lagi,” tuturnya.

Tingginya biaya produksi padi juga tak lepas dari sedikitnya pasokan pupuk subsidi bagi petani. Lantaran pupuk non-subsidi mahal, petani mengurangi pemupukan yang pada akhirnya berimbas pada produksi. "Kalau kekurangan pupuk, padinya jadi jarang-jarang seperti ini," ucap Komar, seorang petani di Demak, sembari menunjuk tanaman padinya yang siap dipanen itu. Kendati mengantongi kartu tani, Komar mengaku kesulitan mendapatkan pupuk bersubsidi lantaran langka. 

Petani menjemur gabah di Rorotan, Jakarta, 3 Januari 2022. Tempo/Tony Hartawan

Ketika para petani mengaku sulit mendapatkan untung, penggilingan padi memiliki masalahnya sendiri. Penggilingan padi di Kecamatan Wonosalam, Kabupaten Demak, misalnya, memilih tidak beroperasi lantaran harga gabah terlampau mahal, yakni sekitar Rp 6.200-6.300 per kilogram.  

Biasanya, saat masa panen, tempat penjemuran di penggilingan tersebut penuh gabah. Namun, saat Tempo berkunjung, lahan tersebut tampak kosong. Suradi, pemilik penggilingan padi di sana, mengatakan para pelaku penggilingan memilih tak beroperasi ketimbang rugi. Apalagi tidak semua gabah berkualitas baik. "Musim panen seperti sekarang ini biasanya masanya bekerja, tapi ternyata harganya masih tinggi, dan isi berasnya juga kurang," tutur dia.

Contohnya saja, beberapa waktu lalu ketika Suradi membeli gabah 26,65 ton dengan harga Rp 6.500 per kilogram. Kemudian dia harus mengeluarkan uang untuk membongkar muatan gabah dari truk dan menjemurnya. Setelah berupa beras, hasilnya hanya mencapai 14 ton dengan harga Rp 10.500 per kilogram. "Ruginya 22 juta," ujarnya. Ia bertekad tidak akan mengoperasikan mesin penggiling selama harga gabah yang sampai kepadanya masih di atas Rp 6.000 per kilogram.

Hafid Rohmat Mustofa, pemilik penggilingan padi di Kabupaten Klaten, juga menerapkan strategi yang sama. Ia mengatakan belum memulai penggilingan lantaran stok gabah yang masih terbatas. "Ya kalau masih belum musim panen seperti ini, sebagian cari aman dan memilih tidak beroperasi," ujar dia. Musababnya, dengan pasokan padi yang terbatas dan harganya tinggi, penggilingan pun sulit balik modal. "Jadi, ya, mending tutup. Kalaupun ada stok, itu sedikit, tapi paling terbatas untuk melayani pelanggan-pelanggan saja."

Stok di Pasar Kian Tipis

Hambatan produksi di berbagai daerah sentra produksi tersebut kemudian bergulir jadi masalah di pasar. Ketua Koperasi Pasar Induk Beras Cipinang, Zulkifli Rasyid, mengatakan sudah beberapa bulan ke belakang pasokan beras medium dari daerah seret. Kondisi itu kontras dibanding beras berkualitas premium. Walhasil, harga beras medium pun melonjak.   

Guru besar pertanian dari Institut Pertanian Bogor, Dwi Andreas Santosa, mengatakan panen yang terjadi bulan ini masih sporadis dan jumlahnya belum besar. Volume panen baru akan membesar mulai Februari, sebelum akhirnya panen raya pada Maret hingga Mei. Ia mendorong pemerintah dan Perum Badan Urusan Logistik (Bulog) untuk bersiap memborong gabah dan beras petani sejak bulan depan, sehingga harga gabah petani bisa terjaga dan cadangan beras pemerintah bisa mencapai target.

Musababnya, cadangan beras itu diperlukan menjelang musim paceklik pada akhir tahun ini. Apalagi iklim kemarau panjang alias El Nino akan tiba pada paruh kedua tahun ini. Dengan kombinasi puncak kemarau basah alias La Nina pada awal tahun dan El Nino yang terjadi di akhir tahun, ia memperkirakan akan ada penurunan produksi padi hingga 5 persen dari tahun sebelumnya. "Hampir pasti defisit pasokan karena penurunan produksi tersebut," ujar Andreas. 

Penurunan produksi yang ia hitung pun masih hanya dari perhitungan dampak iklim, belum termasuk akibat konversi lahan dan perubahan minat menanam dari petani. Musababnya, banyak petani memilih beralih menanam tanaman lain atau bahkan beralih profesi lantaran bertani padi tak menguntungkan. "Hitungan petani kan sederhana, hitungan bisnis. Kalau menanam padi menguntungkan, dia akan lakukan. Sekarang banyak yang sudah pasrah karena menanam padi rugi." Ia mengatakan prediksinya bisa saja salah apabila pemerintah menerapkan langkah-langkah khusus demi menggenjot produksi dan menjaga harga gabah pada tahun ini.   

Pada 2023, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo menargetkan produksi padi mencapai 54,5 juta ton. Target itu berbeda tipis dengan target produksi padi pada 2022 yang sebesar 54,56 juta ton. Adapun realisasi produksi tahun lalu diklaim mencapai 55,44 juta ton. Untuk mencapai target tersebut, Kementan pun telah menyiapkan beberapa  langkah guna mengantisipasi dampak El Nino, antara lain penggunaan bibit dengan varietas tahan kekeringan dan bantuan benih bagi petani yang mengalami puso, normalisasi saluran dan embung, optimalisasi pompa, monitoring dan evaluasi kekeringan, hingga program asuransi usaha tani padi.

"Itu karena setiap kejadian El Nino ekstrem menyebabkan tanaman mengalami kekeringan sekitar 560 sampai 870 ribu hektare, sedangkan pada tahun normal berkisar 200 ribu hektare," ujar Syahrul.

CAESAR AKBAR | MURTADHO | IVANSYAH | SEPTHIA RYANTHIE | JAMAL A NASR  

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus