Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di layar televisi, kita terenyak melihat kebrutalan polisi. Seorang aparat dengan emosional berlari membawa tongkat mengejar mahasiswa Universitas Muslim Indonesia (UMI), Makassar, yang lari ke dalam kampus. Di belakangnya, polisi Perintis bersenjata lengkap ikut merangsek ke dalam gedung, lalu mendobrak ruang-ruang kuliah.
Polisi menghardik dan menyuruh mahasiswa yang tertangkap berjongkok dan melepaskan baju. Pukulan demi pukulan pun melayang ke kepala mahasiswa dan bagian tubuh lainnya. Tak cuma kepalan tangan, popor pistol yang mereka genggam pun dijadikan alat pemukul. Darah mengucur. Di depan layar televisi tiba-tiba kita merasa mual.
Adegan lebih dari 30 menit itu direkam Iwan Taruna, koresponden SCTV di Makassar. Sebetulnya banyak wartawan televisi dan media cetak yang berada di sekitar kampus UMI dan merekam adegan brutal polisi. Tapi Iwan beruntung: kedekatannya dengan polisi membuat ia tak sungkan merekam kekerasan itu hingga ke ruang-ruang kelas di lantai III. "Semua wartawan bisa melakukannya. Kebetulan saja saya berada paling depan," kata Iwan.
Iwan beruntung karena polisi alpa: mereka membiarkan sang wartawan merekam aksi mereka layaknya sebuah liputan kriminal di televisi. Sebelumnya, Iwan memang kerap meliput aksi aparat menangkap penjahat kelas teri atau menggerebek rumah bordil kelas nyamuk. Sejak program berita kriminal Buser disiarkan SCTV pada 2002, fokus liputan Iwan adalah kepolisian. "Iwan sangat dekat dengan polisi. Kalau ada liputan polisi di Makassar, Iwan selalu mendapat undangan pertama," kata M. Afifuddin, jurnalis Televisi Pendidikan Indonesia.
Tapi, dalam kasus penyerbuan ke kampus UMI, kedekatan Iwan dengan polisi berbuah persoalan. Iwan kini menuai teror. Ia kerap menerima telepon gelap yang berisi ancaman. "Kamu sudah menikam kami dari belakang," kata Iwan menirukan si penelepon. Dari polisi? "Saya enggak tahu. Penelepon itu menggunakan private number yang nomornya tak terlacak," kata Iwan. Dua hari setelah aksi penyerbuan tersebut, alumni Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Hasanuddin itu terpaksa diamankan ke Jakarta.
Menurut Andi Nur Aminah, wartawan Republika di Makassar, tak aneh kalau polisi Makassar marah. Sejumlah bintara dan perwira polisi yang kini meringkuk di tahanan markas kepolisian daerah di Makassar dan harus dicopot dari jabatannya itu adalah narasumber yang biasa memberikan informasi kepada Iwan. Setelah sukses mempublikasikan polisi dalam liputan-liputan kriminal, kini Iwan membuat mereka jadi pesakitan. "Tapi itulah pilihan profesional seorang jurnalis," kata Andi Nur Aminah.
Liputan UMI hanya salah satu kejadian dalam karier jurnalistik Iwan Taruna. Menjadi kontributor SCTV sejak 1997, Iwan pernah merekam konflik di Poso, Ambon, dan Papua. Saat konflik antar-agama meletus di Ambon pada 1999, Iwan mengaku sempat merekam adegan ketika salah satu kelompok yang bertikai membakar hidup-hidup tujuh orang lawan mereka. Iwan juga pernah meliput gambar seorang anggota militer meletupkan pistol ke arah warga sipil bersenjata. "Kedua liputan itu tak disiarkan karena alasan etika," kata Iwan.
Iwan boleh bangga. Rekaman kekerasan di kampus UMI akan lebih terkenal di kalangan kepolisian. Kata Kepala Kepolisian RI Jenderal Da'i Bachtiar, liputan itu bakal menjadi bahan pelajaran di sekolah-sekolah pendidikan polisi.
Sudrajat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo