Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Da'i dan Titah Abang Sam

Inilah sorotan negatif lain kepada kepolisian kita. Dalam kasus Abu Bakar Ba'asyir, Polri dituding terlalu menuruti kemauan Amerika Serikat.

10 Mei 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sepuluh polisi berseragam lengkap bergerak sigap. Pagar betis segera dibentuk ketika Ustad Abu Bakar Ba'asyir keluar dari pintu belakang rumah tahanan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia. Di samping Abu Bakar merapat dua perwira polisi berbaju sipil. Pimpinan Pondok Pesantren Al-Mukmin, Ngruki, Jawa Tengah itu mengenakan kopiah dan gamis putih, serta sarung kotak-kotak biru. Kakinya di alas sandal jepit putih bertali biru merek Skyway. Siang itu ia tenang menuju Masjid Al-Ikhlas di tengah kompleks Markas Besar Polri, untuk salat Jumat.

Di dalam masjid, polisi pengawal mengepungnya dengan duduk di saf persis di belakang tempat Ba'asyir duduk. Tak seorang pun wartawan yang mampu menembus pagar manusia yang melindungi Ba'asyir.

Jumat lalu adalah ibadah salat Jumat pertama yang dilakukan Abu Bakar setelah ia dipindahkan dari Rumah Tahanan Salemba, 30 April lalu. Berdasarkan putusan Mahkamah Agung, hari terakhir bulan April itu seharusnya ia bebas. Tapi polisi tak membiarkan dirinya merdeka. Di tengah bentrokan polisi melawan pendukungnya, Ba'asyir ditahan lagi dan dipindahkan ke Mabes Polri. "Polisi hanya mengikuti perintah Amerika Serikat," ujar Abu Bakar kepada TEMPO.

Aroma intervensi Washington sebenarnya sudah tercium ketika Menteri Keamanan Dalam Negeri AS, Tom Ridge, berkunjung ke Jakarta pada 10 Maret lalu, untuk membicarakan masalah terorisme internasional. Banyak yang mempertanyakan mengapa yang datang bukan Menteri Luar Negeri Colin Powell. "Ini bukti arogansi Amerika Serikat. Memang ini negara dia?" kata mantan Kepala Bakin, Z.A. Maulani.

Dalam kunjungannya itu Ridge bertemu dengan Presiden Megawati Soekarnoputri, didampingi Kapolri Jenderal Da'i Bachtiar dan Menteri Koordinator Politik dan Keamanan, yang kala itu dijabat Susilo Bambang Yudhoyono. Saat itulah Ridge menyampaikan kerisauan Washington soal putusan Mahkamah Agung tentang pembebasan Ba'asyir. Ia meminta keseriusan Indonesia menjadi mitra Amerika Serikat dalam perang melawan terorisme dan segera menyidangkan lagi kasus Ba'asyir. "Mr. Ridge menyampaikan banyak bukti keterlibatan Ba'asyir dalam kegiatan terorisme," kata juru bicara Kedutaan Besar AS, Stanley Harsha, kepada Danto dari Tempo News Room.

Ridge juga menawarkan berkas-berkas baru hasil interogasi dengan Hambali, tokoh Jamaah Islamiyah yang telah ditangkap aparat AS. Seminggu setelah kedatangan Ridge, Duta Besar AS untuk Indonesia, Ralph L. Boyce, pun menegaskan bahwa negaranya memang berniat membuat Ba'asyir tak berkutik. "Kami akan benar-benar senang melihat dia (Ba'asyir) tidak bisa beraksi kembali," ujarnya kepada wartawan, Maret lalu.

Untuk memperkuat lobi, Boyce juga menemui Ketua Umum Muhammadiyah, Ahmad Syafi'i Ma'arif. Dalam pertemuan itu ia meminta Syafi'i melobi pejabat hukum Indonesia, termasuk Kepala Polri dan Ketua MA. "Saya diminta menemui para pejabat itu untuk meyakinkan mereka agar Ba'asyir tak dikeluarkan dari penjara menjelang pemilu," ujarnya. Tapi Syafi'i menolak.

Boyce membantah keterangan Syafi'i. Ia mengaku bertemu dengan Syafi'i tapi hanya untuk menyerahkan foto pertemuan Presiden AS George Walker Bush dengan lima tokoh agama Indonesia, termasuk Syafi'i, di Denpasar pada Oktober lalu. "Saya tidak menuntut suatu hasil yang khusus tentang kasus Ba'asyir kepada pihak berwenang di Indonesia," katanya.

Sepintas lobi AS itu ditanggapi dingin oleh Polri dan pemerintah Indonesia. Soal bukti baru keterlibatan Abu Bakar Ba'asyir dalam tragedi bom Bali, misalnya, diakui Kepala Desk Antiteror Kementerian Politik dan Keamanan, Irjen Ansyaad Mbai, sebagai data lama yang sudah dimiliki Polri. "Berkas itu sebenarnya nggak terlalu istimewa," katanya.

Meski mengaku tak terpengaruh oleh desakan AS, Polri menyatakan memiliki segepok bukti baru untuk menjerat kembali Ba'asyir. Misalnya polisi menemukan fakta bahwa Ba'asyir benar-benar amir (pimpinan) Jamaah Islamiyah (JI)—sesuatu yang selalu disangkal Abu Bakar. Pengeboman di Kuta, Bali, Oktober 2002 juga diyakini polisi direstui Ba'asyir. Tudingan ini diperkuat dengan kesaksian Ali Imron dan Mubarok—keduanya pelaku bom Bali—yang mendengar Amrozi, pelaku lainnya, meminta restu Ba'asyir atas "sebuah pekerjaan di Bali".

Lalu ada pula kesaksian Abu Rusydan selaku pelaksana tugas amir JI yang mengetahui perencanaan atau ikut mengarahkan Zulkarnain selaku Panglima Askari Jamaah Islamiyah. Terakhir, polisi mengaku mempunyai bukti JI adalah betul-betul sebuah organisasi dan bergerak secara rahasia. "Bukti yang ada sudah cukup untuk membuktikan keterlibatan mereka dalam kasus bom Bali," kata Da'i.

Namun, kata juru bicara tim pengacara Ba'asyir, M. Luthfie Hakiem, apa yang disebut bukti baru oleh Kepala Polri itu sejatinya hanyalah bukti lawas. Pertanyaan-pertanyaan penyidik di Rumah Tahanan Salemba sebelum penangkapan kembali Ba'asyir, yang dokumennya sempat dibaca TEMPO, juga bukan pertanyaan baru. "Semua sudah mengemuka dalam persidangan Ustad Ba'asyir yang terdahulu tapi tidak terbukti," kata Luthfie. "Kesaksian bahwa Ustad Ba'asyir adalah Amir JI hanya dari Omar Faruq," kata Luthfie. Farouk adalah lelaki keturunan Arab yang ditangkap di Bogor, Jawa Barat, untuk kemudian diekstradisi ke AS. Keterangan Farouk sulit diyakini pengacara Ba'asyir karena tak bisa dikonfirmasi.

Jika Ba'asyir disidangkan lagi, asas ne bis in idem (satu perkara yang telah diputus pengadilan tak bisa disidangkan lagi) bakal dilanggar. Semua pelaku aksi bom Bali telah bersaksi di muka pengadilan dan menegaskan bahwa Ba'asyir bukanlah amir JI dan tidak terlibat dalam perencanaan dan pelaksanaan bom Bali.

Dengan dipakainya Pasal 14, 15, 17, dan 18 UU Nomor 15/2003 tentang Antiterorisme, Luthfie menduga kliennya akan dikenai delik corporate crime alias kejahatan korporasi. Karena tak terjerat oleh asas by commission (karena perintah), ia menduga Ba'asyir akan dikenai asas by omission (membiarkan). Namun Luthfie yakin hal itu tak akan terbukti. "Di persidangan yang lalu telah terbukti dengan sah dan meyakinkan bahwa Ustad Ba'asyir bukanlah Amir JI," katanya.

Kesaksian Nasir Abbas, Ketua Mantiqi III Jamaah Islamiyah yang kini menjadi saksi penting polisi untuk mengungkap organisasi itu, juga telah mementahkan tudingan polisi. Sebab, berkali-kali ia mengatakan bahwa pengebom di Kuta, Bali, bukan kebijakan Jamaah Islamiyah, tetapi ulah oknum-oknum saja. "Itu sangat tidak mudah bagi penyidik maupun penuntut umum untuk membuktikannya," kata Luthfie.

Melihat langkah-langkah hukum yang sumir itu, Muhammad Assegaf, pengacara Abu Bakar lainnya, menilai upaya menyeret kembali Ba'asyir ke persidangan hanya untuk menyenangkan AS. Anggota DPR dari Fraksi Reformasi, Djoko Susilo, juga sepakat bahwa polisi hanya menjalankan titah AS.

Sejak kasus bom Bali, Polri memang mendapat perhatian khusus oleh AS. Sementara embargo peralatan dan program pelatihan militer (E-IMET) untuk TNI terus dipersulit, Polri justru dibantu dana, peralatan, pendidikan dan pelatihan, juga persenjataan.

Ketika Presiden Megawati berkunjung ke Washington setelah penyerangan WTC, Presiden Bush telah berjanji mengucurkan dana US$ 657 juta. Dana itu digunakan untuk reformasi hukum, pembuatan undang-undang antiterorisme, pendidikan, pelatihan, pembentukan Detasemen 88 Antiteror, dan pembelian peralatan polisi. Repotnya, kata Djoko Susilo, berbagai bantuan itu tak pernah dilaporkan penggunaannya kepada parlemen meski DPR telah memintanya sejak tahun lalu. "Soal duit ini yang menyebabkan Polri tidak independen," kata Djoko.

Kapolri sendiri membantah jika disebut hanya mengikuti maunya Abang Sam. Tapi ia tak menyangkal langkah Boyce sering membuat dirinya terpojok. "Ke mana-mana dia selalu ngomong,'' kata Kepala Polri dalam rapat dengar pendapat gabungan Komisi Pertahanan dan Komisi Hukum DPR, Rabu lalu. Boyce juga kerap menelepon langsung Da'i. "Menjelang penangkapan Ba'asyir ia menelepon lima kali sehari sehingga Pak Da'i risi," kata seorang sumber TEMPO.

Hanibal W.Y. Wijayanta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus