TUJUH jam lamanya Kepala Kepolisian RI Jenderal Da'i Bachtiar dicecar pertanyaan dan kecaman soal penyerbuan polisi ke kampus Universitas Muslim Indonesia, Makassar, oleh rapat gabungan Komisi Pertahanan dan Hukum DPR. Tak hanya soal penyerbuan yang disorongkan ke Da'i, urusan korupsi, kolusi, dan nepotisme di tubuh Kepolisian RI pun ditanyakan. Termasuk beredarnya surat kaleng tentang mutasi di tubuh petinggi polisi yang berbau nepotisme. Jenderal Da'i di DPR mengakui adanya surat-surat tak beralamat jelas itu. "Soal surat kaleng itu, saya juga menerimanya," kata Jenderal Da'i Bachtiar, Rabu pekan lalu, di Senayan.
Surat kaleng yang dimaksud Da'i adalah surat dari para perwira yang menamakan diri Kelompok Perwira Reformis. Surat yang juga diterima redaksi TEMPO itu antara lain berisi pertanyaan: mengapa hanya segelintir perwira yang selalu ikut dalam rotasi jabatan. Ada 28 nama perwira polisi yang dimuat dalam tulisan tanpa alamat itu. "Mengapa orang-orang ini selalu mendapat jabatan yang enak-enak, seolah dialah yang mengatur ke mana dirinya akan diposisikan?" begitu bunyi pertanyaan di surat itu.
Yang namanya surat kaleng tentu tanpa pengirim dan alamat jelas, sehingga isinya pun diragukan kebenarannya. Tapi surat kaleng yang satu ini diduga kuat berkaitan dengan kritik tajam dan jelas seputar korupsi di tubuh korps baju cokelat itu. Sebuah penelitian oleh para mahasiswa Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) Angkatan 39-A, tentang korupsi di tubuh kepolisian, menggambarkan korupsi itu.
Penelitian itu dilakukan perwira muda yang rata-rata kini berpangkat ajun komisaris polisi—dulu kapten. Menurut cerita mantan mahasiswa yang menolak disebutkan namanya dalam tulisan ini, ide penelitian tersebut sebenarnya bukan berasal dari para mahasiswa, melainkan dari Gubernur PTIK Inspektur Jenderal Farouk Mohammad. "Kami ingin penelitian yang bisa dimanfaatkan oleh institusi Polri, bukan skripsi yang hanya menjadi pajangan di perpustakaan," kata si mahasiswa menirukan kata-kata Farouk.
Tentu itu topik menarik, tapi sekaligus mengundang risiko besar jika dilakukan, mengingat kemungkinan menelanjangi sendiri kebobrokan polisi. Beberapa mahasiswa sempat bertanya apakah penelitian itu malah tidak akan menyulitkan mereka nantinya mengingat obyek penelitian bukan hanya para kopral, tapi para perwira yang juga senior mahasiswa. Farouk Mohammad teguh pada sikapnya lantaran ia sudah mendapat lampu hijau dari Kepala Polri Jenderal Da'i Bachtiar untuk topik sensitif itu. Farouk berjanji akan berada di depan mahasiswa jika ada masalah dengan para senior polisi itu.
"Kepada Kapolri pun saya sudah berjanji akan berada di depan Anda," kata Farouk meyakinkan para mahasiswanya.
Setelah yakin mendapat beking penuh dari para gurunya, sejak akhir tahun 2003, para mahasiswa itu pun bergerak. Mereka menjadi detektif, menelisik perilaku kawan-kawan dan senior mereka sendiri secara intensif pada November dan Desember 2003. Sebelumnya, mereka sudah melakukan survei awal.
Begitulah, 147 orang "detektif mahasiswa" bergerak menyusup di Markas Besar Polri dan 19 markas kepolisian daerah. Ada 13 orang mahasiswa Angkatan 39-A ini yang tak dilibatkan dalam penelitian karena diterjunkan ke daerah konflik seperti Aceh, Ambon, dan Papua. Di daerah bergolak itu mereka membuat "buku putih" aktivitas polisi di sana.
Di 19 polda, para "detektif" bergerak sampai ke tingkatan terendah dalam struktur polisi, yakni kepolisian sektor di tingkat kecamatan. Mereka harus menemukan kasus korupsi. Jika tidak, pencarian dilakukan di tempat lain. "Di Jawa Timur, ada yang harus pindah karena tak menemukan korupsi di tempat itu," ujar seorang mahasiswa yang ikut proyek ini.
Setelah hampir dua bulan mereka di lapangan, hasil temuan itu dituangkan dalam tulisan. Hasilnya luar biasa dan membuat para pengajar terperangah. "Saya langsung menyurati Kapolri. Pak Da'i, hasil penelitian mahasiswa sangat bagus, bisa menjadi cermin yang baik," ujar Adrianus Meliala, kriminolog Universitas Indonesia yang ikut membimbing para mahasiswa itu.
Para "detektif" menemukan dua "sarang" besar korupsi, yaitu korupsi di dalam lingkungan internal polisi dan yang berkaitan dengan kalangan luar atau masyarakat. Korupsi internal sudah dimulai pada saat penerimaan calon bintara di Sekolah Polisi Negara, yang ada di beberapa provinsi. Pelakunya bagian personel yang menerima mahasiswa. Selain itu, di beberapa kesatuan, misalnya intel, jika ada polisi yang melanggar, si pelanggar menyetor sejumlah rupiah agar lolos dari hukuman berat.
Sedangkan korupsi yang melibatkan pihak di luar polisi yang paling mencolok dan mudah dilihat adalah yang bisa ditemukan di jalanan oleh polisi lalu lintas. Korupsi yang lain terjadi di reserse berupa tawar-menawar pasal hukuman. Jika pihak yang bersalah mengeluarkan uang suap, ia bisa "mendapat" pasal ancaman hukuman yang ringan. Di sini juga ada permainan dalam proses penangguhan hukuman—yang juga harus dilakukan dengan uang semir. Jadi, menurut sumber mahasiswa itu, benarlah pemeo yang beredar di masyarakat: jika kita melapor kehilangan kambing kepada polisi, bersiaplah untuk kehilangan sapi.
Yang lebih dahsyat, para "detektif" ini berhasil mendapatkan nama-nama perwira dan bintara yang melakukan praktek curang tersebut. "Kalau orang awam yang meneliti, tentu tak bisa sampai ke sana," ujar si mahasiswa. Mereka punya trik-trik khusus untuk membongkar borok di institusinya. itu. Misalnya memancing narasumber. "Di tempat kami saja ada praktek KKN. Masa, di sini tidak ada? Biasanya narasumber berbisik-bisik mengaku ada praktek itu," kata mahasiswa yang berasal dari reserse ini.
Temuan ini membuat gempar setelah mahasiswa PTIK tadi menggelar sebuah seminar terbuka pada 12 Februari 2004. Pers ramai-ramai menulis cerita soal korupsi-kolusi-nepotisme di tubuh polisi itu. Mulai korupsi tilang sampai tarif Rp 20 juta-Rp 40 juta untuk masuk sekolah calon bintara pun diungkap. Maksud hati membuat otokritik, apa daya tersambar jenggot sendiri. Inilah suasana di tubuh Polri dengan temuan mahasiswa Angkatan 39-A itu. Inilah yang membuat, antara lain, Kapolri Jenderal Da'i Bachtiar harus menghadapi berondongan pertanyaan anggota DPR.
Lalu bagaimana nasib para "detektif mahasiswa" itu? Sulit. Beberapa mahasiswa harus menghadapi "teror" dari para senior. Beberapa di antaranya khawatir kelulusan mereka dihambat. Namun ada mahasiswa berpendapat lain. "Tak ada kesulitan dalam kelulusan. Hanya kasihan kalau nama mahasiswa ditulis di koran. Dia jadi susah," ujar sumber TEMPO ini.
Jenderal Da'i pun dikabarkan sempat memanggil Gubernur PTIK. Farouk Mohammad pun mengakui adanya teguran dari Kapolri tersebut. Tapi teguran lebih karena penulisan media yang terkesan menggeneralisasi, seolah-olah semua polisi korup. "Padahal masih banyak juga polisi yang baik," kata Da'i seperti ditirukan Farouk.
Dengan alasan menjaga etika akademis, Farouk, jenderal bintang dua yang memegang gelar doktor dari Florida State University, AS, menolak permintaan Kapolri untuk membuka nama-nama polisi yang nakal. Saat itu Kapolri memang memerintahkan agar Inspektur Pengawasan Umum memeriksa perwira yang namanya tercantum dalam skripsi tersebut. "Saya hanya menyebut ada kelemahan di sini-sini. Cari sendiri orangnya yang bersalah," ujar Farouk.
Jenderal asal Lombok itu pun menyebut, bukan skripsi yang menjadi target penelitian para juniornya, melainkan perubahan sikap polisi. "Minimal membangun komitmen mereka agar tidak melakukan kesalahan seperti para pendahulunya," ujar Farouk.
Benar. Jika polisi-polisi muda ikut larut dalam kancah korupsi-kolusi-nepotisme, entah kapan rakyat yang melapor kehilangan kambing tidak lantas menjadi kehilangan sapi….
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini