PERAWAKAN mereka kecil, dan beberapa tradisi mereka masih
mengisyaratkan kehidupan Zaman Batu. Tapi semangat dan
ketrampilan bertempur mereka, masya allah, di luar dugaan. Orang
Barat menamakan mereka Bushman, pribumi Gurun Kalahari di Afrika
Selatan. Hidup dari berburu dan meramu, tetangga Hottentot
mereka menamakan puak ini San.
Perjalanan sejarah telah membuat mereka kehilangan tanah
pemukiman, setapak demi setapak. Terdesak oleh para penjarah
Eropa yang kemudian malah menjadikan pribumi ini para pekerja
kasar di peternakan mereka yang berkembang subur. Belakangan
ternyata, para lelaki Bushman adalah bahan baku yang luar biasa
bagi profesi keserdaduan.
Setidak-tidaknya demikianlah yang diungkapkan Vitor Alves,
seorang opsir Portugis dari pasukan komando Flech yang
termasyhur buas itu. Awal 1970-an Alves bertugas jauh di
pedalaman Angola. Dalam pasukannya terdapat sekelompok Bushman.
Sepanjang satu dekade perjuangan pemerintah Lisbon menindas
pemberontakan di kawasan tersebut, sumbangan para serdadu
Bushman sungguh tak dapat diabaikan.
Salah seorang Bushman yang sulit dilupakan Alves adalah pencari
jejak yang dijuluki 'Setan', baik oleh rekan sekaumnya maupun
oleh para atasan Portugisnya. "Menurut taksiran ia sudah berusia
65 tahun," tutur Alves kepada AL. J. Venter, yang kemudian
menuliskannya dalam majalah Gung-Ho, The Mogozine for the
Internotionol Military Mon yang terbit di AS, nomor terakhir.
Namun dibandingkan dengan Bushman lainnya dalam pasukan
tersebut, Setan paling banyak membantai pemberontak.
Ia memiliki kebuasan alamiah. Musuh yang jatuh ke tangannya
sungguh-sungguh tak boleh berharap banyak. Di sepanjang
perbatasan Angola, ketika itu, nama Setan dibisikkan satu napas
dengan kematian sendiri.
Ketepatannya menembakkan mauser tua Jerman yang disandangnya
selama operasi, nyaris bagai legenda. Ia mampu membidik musuh
dari jarak 500 meter, membunuh mereka hampir tiap kali dengan
peluru menembus kepala. Setelah sang korban jatuh, Setan datang
menghampiri. Dengan pisau rimbanya yang tua, Setan membelah dada
musuh itu dan mengeluarkan jantungnya. Baru setelah melakukan
tindakan terakhir ini ia benar-benar yakin sang musuh sudah
tewas.
Kini, Setan sendiri sudah menjadi arwah. Dia dan sebagian besar
rekannya sepasukan terhisab sebagai korban awal perang sipil
Angola yang menghancurkan kawasan selatan. "Tapi mistik itu
tetap hidup," tulis Venter. "Beberapa Bushman tua yang hidup di
Caprivi Barat dekat garis depan Angola masih mengenangnya," kata
Vitor Alves, yang berkunjung ke sana baru-baru ini.
Beberapa di antara Bushman tua itu bahkan mengaku pernah
berjuang bersama Setan. Salah seorang menyandang bekas luka di
bahu, kenangan dari pertempuran kecil di selatan Serpa Pinto.
Dalam pertempuran itulah veteran Bushman ini menyaksikan Setan
membunuh empat orang berturut-turut dengan cara yang sulit
dibayangkan.
Dengan kecepatan luar biasa Setan mengikatkan bangkai korbannya
di tiang, sehingga musuh yang datang belakangan tak menyadari
rekannya sudah menjadi mayat. Empat orang 'putus' dengan cara
itu. Orang ke-5 kemudian sadar apa yang sedang terjadi.
Kini, setelah perang Angola tinggal asap dan debu, para Bushman
tetap menjadi sasaran permusuhan. Suatu posisi yang sungguh tah
nyaman, di tengah suasana dan hari depan Afrika Selatan yang
senantiasa diancam perang.
Musuh pokok mereka tetaplah seteru tradisional, sesama kaum
hitam yang mengembara di antara masyarakat purba itu, jauh
sebelum orang putih datang dan menamakan wilayah itu Terros do
Fim Mundo--'Negeri di Ujung Dunia'. Tak sedikit di antara seteru
itu bekas kaum pemberontak yang dulu menyandang AK dan
diburu-buru pasukan Portugis bersama 'unit Bushman' mereka.
Semacam cagar budaya kemudian dibangun untuk kaum Bushman itu di
basis Omega, di Afrika Barat-daya. Di situ tinggal hampir dua
ribu Bushman: pria, wanita dan anak-anak. Keadaan keamanan
mereka boleh dikatakan baik. Dengan unit-unit Afrika Selatan
sebagai tenaga bantuan, keselamatan mereka pada dasarnya
tergantung di tangan mereka sendiri. Sebagian besar kaum pria
didorong untuk mengikuti latihan militer tertentu. Namun pasukan
yang terbentuk di sana sepenuhnya beranggotakan sukarelawan.
Hidup keserdaduan tampaknya memang bertemu dan membentuk
kecenderungan yang kuat dengan pembawaan dan warisan masa lampau
kaum Bushman. Bila ada di antara mereka sudah merasa tak betah
dalam pakaian seragam, ia tinggal melapor kepada komandan
seksinya. Ia kemudian berangkat ke Caprivi Barat, memilih tempat
pemukiman yang cocok--scsuai dengan jaminan keselamatan dan hak
yang diperolehnya.
'Panglima' dan 'bapak pengakuan' masyarakat Bushman ini ialah
Piet Hall, seorang kolonel Afrika Selatan yang keras dan gagah
berani. Di seantero anak benua itu, mungkin tak ada yang mampu
menandingi Piet dalam memahami tradisi dan tipu daya kaum
Bushman. Berkat jasa Piet pula kaum ini mendapat perumahan,
makanan, pendidikan, dan hukuman--bilamana perlu Dia juga konon
yang melindungi mereka dari serangan gerombolan yang membantu
kelompok MPLA yang marxis.
Sebagai imbalannya, kaum Bushman menyediakan tenaga calon
serdadu dalam jumlah terbatas. Biasanya dimanfaatkan sebagai
pencari jejak, personil Bushman ini kemudian ditempatkan dalam
unit-unit kulit putih sebagai pasukan tempur reguler. Peranan
yang mereka mainkan di medan pertempuran tidak mengecewakan.
Beberapa di antaranya bahkan dilatih sebagai anggota paratrup.
Hanya dalam menggunakan senapan, Piet Hall mengakui kesulitan
melatih para Bushman. Selama berabad-abad kaum ini hanya
mengenal busur dan panah. Dalam tradisi ini mereka terlatih
mengarahkan senjata ke atas, kemudian membiarkan "peluru"nya
jatuh menghunjam sasaran.
"Maka tatkala mereka mendapat senapan R-1, mereka menembak
dengan cara itu," tutur Hall. "Dibutuhkan kesabaran dan latihan
berbulanbulan untuk mengubah cara berpikir mereka dalam hal
menembak."
Tapi dalam menangani mortir-yang memang ditembakkan dengan cara
mengaral1kannya ke atas--kaum Bushman tak bisa ditertawakan.
"Beri mereka sebuah sasaran dengan jarak 500 meter," kata Hall
menambahkan. "Sekali sikat sasaran itu pasti binasa."
Salah satu problem pokok, menghadapi kaum Bushman, ialah
komunikasi. Mereka terdiri dari beberapa puak, masing-masing
berbicara dilam bahasa atau dialek kelompok. Sangat sedikit yang
berbicara Portugis. Sedang bahasa resmi ialah Arrikaan.
Karena sebagian Bushman mengerti bahasa Afrikaan, dan orang
Afrika Selatan sendiri sangat sedikit yang menguasai bahasa
Portugis, Afrikaan menjadi pilihan yang lebih tepat. Untuk
mengatasi hambatan itu, makin banyak Bushman yang dimasukkan Ice
dalam batalyon-batalyon yang dibentuk sebagai kesatuan militer
efektif sejak 1974.
Di basis Omega, titik berat kegiatan militer diarahkan pada
usaha melawan pemberontakan. Dibutuhkan masa dinas rata-rata
sembilan sampai sebelas bulan untuk setiap serdadu Bushman.
Tetapi dalam hal ingatan, "mereka tak dapat dipercaya," kata
Kolonel Hall. "Mereka harus setiap kali diberi petunjuk tentang
apa yang harus dilakukan." Di lapangan pertempuran pun mereka
harus dipimpin dalam arti yang sesungguhnya. Mereka memerlukan
ceramah atau keterangan. "Beri mereka teladan, dan mereka akan
mengikutinya sepenuh hati."
Dengan demikian, prestasi para serdadu Bushman selalu merupakan
cermin dari kemampuan komandannya Sebaliknya, "kita senantiasa
bisa mengukur ketrampilan seorang komandan melalui kebolehan
Bushman yang menjadi anak buahnya," kata Hall.
Tak ada Bushman yang terdaftar sebagai tentara untuk periode
tertentu.
Mereka juga tak bisa dikenai tindakan disiplin dengan cara
biasa. Bila seorang serdadu Bushman sudah sulit dikendalikan, ia
dikenai denda. "Tapi bila seorang serdadu didenda terlalu
tinggi, kami harus bersiap menerima kunjungan delegasi istri
mereka," kata kolonel itu melanjutkan tutur. Para istri akan
mengusut, mengapa suami mereka didenda demikian tinggi. "Dalam
banyak hal, wanita Bushman lebih gigih ketimbang istri kita,"
ujar Hall.
Rata-rata setiap serdadu Bushman menerima upah R 200 sebulan.
Tak sepeser pun uang itu mengisi tabungan, kendati mereka tak
membayar untuk pakaian seragam, ransum makanan, perumahan,
pengobatan dan banyak kebutuhan lain. Lalu ke mana? "Untuk
membeli simbol status," kata Hall.
Tahun lalu simbol status itu adalah radio transistor. Kini
tampaknya pilihan beralih kepada sepeda. Sudah hampir tak
terhitung jumlah sepeda yang hilir-mudik di sekitar pemukiman.
Para tentara kulit putih sendiri berusaha tak mencampuri urusan
pribadi dan kelompok Bushman. Dan sebagai akibatnya, kaum itu
leluasa meneruskan 'kebudayaan' mereka. Jangan heran, misalnya,
kalau tiba-tiba di basis Omega terdengar senandung hutan yang
biasanya didengungkan di tengah rimba belantara.
Itu tidak berarti mereka tertutup dari pengaruh luar. Mereka
mengikuti permainan sepakbola dan voli. "Dan mereka bermain
keras dan cepat."
Di sisi lain, beberapa segi negatif "sivilisasi" Barat tak urung
menyentuh masyarakat Bushman, baik yang bermukim di Omega, di
Angola Selatan, maupun yang masih berkeliaran di Gurun Kalahari.
Mereka pun ketularan "penyakit orang putih"--seperti tbc, lepra,
konjungtivitis (terutama pada anak-anak) dan, sudah tentu,
mencret.
Ketika basis Omega mulai ditempati, angka kematian anak-anak
hampir sepuluh orang setiap minggu. Kini angka itu sudah sejajar
dengan nasib yang menimpa masyarakat pendatang Eropa. "Tapi kami
masih menghadapi banyak problem," ujar Kolonel Hall. Bila
seorang Bushman sakit, ia masih lebih suka pergi ke dukun.
Piet Hall juga menceritakan sebuah kebiasaan aneh masyarakat
Bushman. Mereka tak menerima anak kembar. Itulah sebabnya di
tengah masyarakat Bushman tak pernah ditemukan remaja atau orang
dewasa kembar.
Lalu bagaimana kalau seorang wanita Bushman melahirkan bayi
kembar? "Sang ibu akan memberi makan kedua bayi itu untuk satu
atau dua minggu," tutur Hall, "sampai akhirnya kentara, siapa di
antara bayi itu yang lemah." Yang lemah itu dibuang ke luar
kampung--untuk mati. Biasanya bayi yang malang itu menjadi
santapan serigala atau hyena.
Para penguasa setempat tak dapat berbuat banyak mencampuri hal
ini-atau mereka tak mau. Tradisi itu konon sudah sama tuanya
dengan masyarakat Bushman sendiri.
Memang banyak yang unik pada kaum ini. Ciri-ciri ras mereka
sendiri tak bisa digolongkan ke dalam ras dasar yang ada.
Perawakan mereka bertampang Negrito, tapi di kepala tidak ada
ciri-ciri Negroid, kecuali rambut. Warna kulit dan ciri muka
lebih bersifat Mongoloid. Sedang bahasa mereka termasuk keluarga
khusus, keluarga Bahasa Choisan.
Tentu tak semua mereka berdarah serdadu. Tapi untuk sebagian
besar, semangat 'Setan' memang bagai merasuk puak itu. Selama
beberapa tahun terakhir mereka sudah memasyhurkan diri sendiri
melalui kontak senjata dengan pelbagai kekuatan musuh. Dan,
berbeda dengan beberapa suku Zimbabwe, para Bushman selalu
mencintai pekerjaan mereka
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini