NAMANYA Window On The World. Majalah tengah-bulanan ini
berbahasa Inggris, yang memuat cerita rakyat, cerita
petualangan, artikel ilmiah, latihan bahasa Inggris, surat
pembaca, rubrik sahabat pena, dan, tentu saja, teka-teki silang.
Ada juga iklan, termasuk iklan (dalam bahasa Indonesia)
buku-buku terbitan NV Masa Baru, penerbit Window sendiri.
Perusahaan penerbitan dan percetakan yang telah berusia cukup
tua ini (berdiri 1900-an) adalah milik Oejeng Soewargana
almarhum. Dia juga membangun NV Ganaco (1952) dan NV Sanggabuana
(1957). Window diterbitkannya bersamaan dengan berdirinya NV
Ganaco.
Cukup tua usianya. Apa tujuan penerbitnya? "Pak Oejeng waktu itu
melihat kebutuhan masyarakat akan sebuah majalah berbahasa
Inggris," tutur Tjun Surjaman, bekas anggota direksi Window.
Sasarannya, tutur Tjun lagi, untuk meningkatkan minat baca dan
pengetahuan bahasa Inggris di kalangan pelajar.
Dicetak hitam putih berukuran 18 x 26 cm, Window mula-mula
beroplah sekitar 12.000. Terbit secara teratur. Tapi sewaktu
ramai aksi pemboikotan terhadap semua yang berbau nekolim di
zaman Orde Lama, Window tak bisa terbit beberapa tahun. Serikat
Buruh Pos dan Telekomunikasi waktu itu emoh mengirimkan majalah
ini kepada para pencintanya di berbagai daerah. "Serikat buruh
itu menganggap majalah kami berbau imperialisme, karena memakai
bahasa Inggris," tutur Tjun. Bahkan sebelumnya, Window dipaksa
penguasa memuat artikel tentang kehidupan berbagai tokoh negara
tirai besi. Akibatnya, "sekolah-sekolah Kristen dan Katolik
serentak menghentikan langganannya," kata Tjun.
Dengan datangnya zaman Orde Baru, Window bisa hidup kembali. Tak
ada masalah finansial bagi penerbitannya. Bahkan Oejeng
menerbitkan pula majalah tengah bulanan berbahasa Belanda,
Wereld Venster dan majalah ilmiah bulanan Prima Window sendiri
tampaknya kemudian maju pesat, dengan kulitnya dicetak berwama.
Oplahnya naik jadi 25.000, dan tetap dicetak di Bandung.
Peredarannya yang terbesar ialah di Jakarta, yakni 6000-an.
Menyusul Surabaya (5000-an), Bandung (4000-an) dan Yogyakarta
(3000-an).
Sebelum Tjun Surjaman menjabat Pemimpin Umum sejak 1974, Window
dipimpin sendiri oleh Oejeng, yang kemudian pernah digantikan
istrinya, Nyo nva Omi Soewargana, selama beberapa tahun. Staf
redaksinya diperkuat oleh Jonathan Hugh-Jones, orang Australia.
Tapi masa suksesnya berakhir pada awal 1980. Window dan dua
majalah lainnya dalam kelompok itu berhenti beredar, menyusul
kematian Oejeng Soewargana dalam Mei 1979. Raja Penerbitan dari
Bandung itu meninggalkan 2 istri dan 5 anak yang saling
bersengketa memperebutkan harta warisannya. Usaha penerbitan dan
percetakan yang dibangun almarhum pun macet.
"Kami tak dapat mengadakan hubungan dengan pihak luar," kata
Tjun. "Secara hukum, tak ada yang berhak menanda-tangani surat
untuk urusan luar, karena tak ada surat kuasa dari almarhum."
Seluruh Surat Izin Terbit majalah masih atas nama Oejeng
Soewargana, juga dia sendiri jadi Direktur ketiga perusahaannya.
Sementara perkara sengketa sesama anggota keluarga almarhum
Oejeng (TEMPO, 30 Agustus 1980), kini ada di tingkat kasasi,
Window sudah tak bisa terbit selama lebih satu tahun. Bersama
sejumlah SIT koran dan majalah lainnya, yang tidak terbit dengan
macam-macam alasan SIT Window pun dicabut oleh Departemen
Penerangan baru-baru ini. "Sangat disayangkan, sebab Window
bermanfaat meningkatkan pengetahuan siswa dan menambah kosa kata
bahasa Inggris," kata Gandaatmadja, guru Bahasa Inggris SA
Santa Maria Pagi di Bandung.
Tjun Surjaman, 50 tahun, sedang beusaha terus mencari modal.
Dia yakin Window akan terbit kembali. "Kami minta Deppen
mempertimbangkan kembali pencabutan SIT itu," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini