TEMPE bongkrek yang sejak tahun 1895 sampai 1976 diperkirakan
sudah membunuh sekitar 6.000 orang di Jawa Timur dan Jawa
Tengah, kini mungkin bisa digunakan sebagai obat kanker.
Setidaknya begitu kesimpulan Drs. Muhamad Zainuddin, apoteker
dari Universitas Airlangga, Surabaya, setelah 3 tahun meneliti
makanan rakyat yang murah tapi terkadang mengandung racun itu.
Hasil penelitian tersebut mengantarkan anak petani dari Magetan
(Jawa Timur) itu menjadi Doktor Matematika dan Ilmu Pengetahuan
dengan predikat "sangat memuaskan" di ITB Bandung, 13 Februari
lalu.
"Secara filosofis, racun itu diciptakan Tuhan tentu ada
gunanya," kata Zainuddin kepada TEMPO. Dengan dasar itu ia mulai
meneliti tempe bongkrek untuk pengobatan pada tahun 1977 dengan
biaya Tim Manajemen Program Doktor Ditjen Pendidikan Tinggi
Departemen P&K.
Zainuddin memang bukan orang pertama yang meneliti tempe
bongkrek. Van Veen, sarjana biokimia Belanda dan Martens dari
Amerika Serikat, tahun 1933 sudah meneliti dan mengisolasikan
dua jenis toksin (racun) yang meracuni bongkrek. Yaitu
toksoflavin (racun berwarna kuning berasal dari vitamin B2 dan
asam bongkrek (sejenis racun ganas tanpa warna).
Dua jenis racun yang senyawa itu sebetulnya diproduksi oleh
sejenis bakteri pembusuk (pseudomonas cocovenenans) yang
mencemari tempe bongkrek. Tempe bongkrek atau disebut juga tempe
gembos, apabila terolah secara sempurna berwarna putih dan
lembek. Tapi apabila tempe itu salah bikin (busuk) dia berwarna
kuning atau kekuning-kuningan. Warna itu berasal dari dua jenis
racun tadi yang membalut bagian luar tempe. Bakteri yang
memproduksi racun tadi ternyata berkembang biak dengan subur
pada ampas kelapa, bahan baku tempe bongkrek.
Biasanya penduduk Banyumas (Jawa Tengah) dan Banyuwangi (Jawa
Timur) -- tempat tempe itu paling populer-baru membuang tempe
itu bila benar-benar telah berwarna kuning. Apabila hanya
kekuning-kuningan (kuning muda) penduduk masih berani
memasarkannya. Padahal justru tempe berwarna kuning muda itulah
yang lebih berbahaya. "Karena lebih banyak mengandung asam
bongkrek," ujar Zainuddin.
Toksoflavin yang menguningkan tempe itu sendiri bukan racun
berbahaya. Karena di dalam lambung, setelah berproses dengan
asam lambung, racun itu berubah menjadi enzym. Tapi racun asam
bongkrek ternyata menyebabkan terjadinya hipoglikemia
(pengurangan kadar gula dalam darah) yang hebat. Ini terbukti
dari matinya mencit putih (tikus) Muangthai yang dijadikan hewan
percobaan oleh Zainuddin dalam penelitiannya. Gejala yang sama,
menurut Zainuddin, ditemukan pada manusia yang mati keracunan
tempe bongkrek.
Asam bongkrek juga menimbulkan efek terganggunya produksi
Adenosina trifosfat (ATP), semacam protein dan enzym untuk sel.
Sehingga bila kekurangan senyawa itu, sel-sel tak bisa
berkembang dan mati.
Dosis Yang Tepat
Berdasarkan efek itulah asam bongkrek kelak mungkin bisa untuk
pengobatan kanker. Menurut Muhamad Zainuddin, daya hidup sel
kanker lebih lemah dibanding sel normal. Karena sel kanker
adalah sel yang sudah mengalarni mutasi. Makanya asam bongkrek
lebih efektif terhadap sel kanker timbang terhadap sel normal.
Sel kanker adalah sel yang kehilangan kontrol pembelahan. Hal
itu juga mernbedakan sel kanker dengan sel normal.
Dalam percobaan dengan 10 ekor tikus Thailand tadi, pada kuduk
hewan-hewan yang berumur 1-2 bulan dengan bobot 20-25 gram itu
diberi suntikan karsinogen (sejenis bahan kimia yang bisa
menyebabkan kanker) sebanyak 10 kali (dengan dosis suntikan 0,1
mg). Dengan begitu diperoleh jaringan kanker dengan sifat yang
mendekati sifat kanker yang diderita manusia. "Kanker yang
diderita manusia umumnya disebabkan terserapnya karsinogen yang
terdapat di dalam obat, makanan, minuman, dan udara yang
tercemar," kata Zainuddin.
Ternyata 62 hari setelah penyuntikan terakhir, pada kuduk
mencit-mencit itu mulai tumbuh benjolan-benjolan. Benjolan itu,
bila dibedah, berupa jaringan berwarna putih kemerahan dan
kenyal. Itulah sel-sel kanker.
Lantas pada benjolan di kuduk mencit itu disuntikkan asam
bongkrek dengan dosis 1 mg tiap 1 kg berat tubuh mencit.
Hasilnya luar biasa: 10 hari setelah penyuntikan, benjolan tadi
hilang sama sekali.
Maka lelaki asal Magetan ini menyimpulkan, asam bongkrek bisa
untuk mengobati kanker. Terutama untuk pengobatan kanker di
permukaan (misalnya kanker kulit). "Bisa saja asam bongkrek itu
dioleskan di kulit," kata lelaki bertubuh kecil dan berkulit
hitam itu. Tapi Zainuddin sendiri belum berani mengatakan bahwa
asam bongkrek sudah bisa mengobati kanker manusia sekarang.
"Karena masih perlu diteliti dosis yang tepat," katanya.
Di dalam sidang promosi doktor di Balai Pertemuan Ilmiah ITB
yang di hadiri sekitar 100 pengunjung (kebanyakan para
apoteker), di antaranya 20 guru besar ITB, terlihat juga Prof.
Dr. Marsetyo Donoseputro, Rektor Universitas Airlangga,
Surabaya.
Promotor Prof. Dr. Soedigdo Pringgoprawiro (guru besar Bio Kimia
ITB) antara lain mempersoalkan mengapa Muhamad Zainuddin hanya
meneliti pengaruh asam bongkrek terhadap enzym tertentu? Menurut
Zainuddin, karena enzym itu ternyata sangat dominan dalam hal
pertumbuhan sel.
Aktivitas fosfatase alkali (sejenis asam yang di dalam tubuh
berubah menjadi garam) juga diteliti Zainuddin, karena penting
peranannya dalam pertumbuhan dan pengapuran tulang.
Masih Sulit
Pada penderita kanker tulang aktivitas enzym fosfatase alkali di
dalam sumsum tulang lebih besar dibandingkan pada manusia
normal. Sehingga dengan penelitian itu dia berpendapat semua
jenis kanker sebetulnya bisa diobati dengan asam bongkrek.
Memang ada kelemahan hasil penelitian itu, kalau asam bongkrek
akan diproklamasikan sebagai obat kanker. Prof. Dr. Sri
Soedarwati, Guru Besar Biologi ITB misalnya, mengatakan tidah
seluruh hasil penelitian itu memuaskan. Misalnya yang diteliti
hanya sebagian pengaruh asam bongkrek terhadap jaringan kanker
dan jaringan normal. Hewan percobaan juga sedikit (hanya 10 ekor
mencit). "Dan dia tidak bisa memastikan jenis kanker apa yang
ditelitinya itu," kata Sri Soedarwati.
Kritik lain datang dari Prof. Dr. Topo Harsono, guru besar dan
ahli pathologi dari Universitas Pajajaran, Bandung "Hasil
penelitian itu memang baik, tapi mempergunakannya masih sulit,"
kata Prof. Topo kepada wartawan TEMPO Dedy Iskandar. Untuk
kanker di kulit misalnya bisa saja asam bongkrek itu dioleskan,
"tapi kalau kanker di hati, misalnya, apa bisa disuntik dengan
asam bongkrek itu?" katanya.
Itu juga termasuk yang dipertanyakan Zainuddin sendiri. Tapi
kalangan sarjana yang hadir dalam upacara promosi itu nampaknya
puas terhadap penelitian yang dilakukannya. Karena baru sekali
ini seorang sarjana Indonesia meneliti kanker dari sudut
biokimia-dan dari bahan tempe bangkrek, makanan rakyat yang
terkadang bisa berbalik menjadi racun yang membunuh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini