Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Tempe bongkrek untuk kanker

Muhammad zainuddin meraih gelar doktor matematika dan ilmu pengetahuan, berkat penelitiannya tentang asam bongkrek yang bisa menyembuhkan kanker di kuduk tikus. (ksh)

27 Februari 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPE bongkrek yang sejak tahun 1895 sampai 1976 diperkirakan sudah membunuh sekitar 6.000 orang di Jawa Timur dan Jawa Tengah, kini mungkin bisa digunakan sebagai obat kanker. Setidaknya begitu kesimpulan Drs. Muhamad Zainuddin, apoteker dari Universitas Airlangga, Surabaya, setelah 3 tahun meneliti makanan rakyat yang murah tapi terkadang mengandung racun itu. Hasil penelitian tersebut mengantarkan anak petani dari Magetan (Jawa Timur) itu menjadi Doktor Matematika dan Ilmu Pengetahuan dengan predikat "sangat memuaskan" di ITB Bandung, 13 Februari lalu. "Secara filosofis, racun itu diciptakan Tuhan tentu ada gunanya," kata Zainuddin kepada TEMPO. Dengan dasar itu ia mulai meneliti tempe bongkrek untuk pengobatan pada tahun 1977 dengan biaya Tim Manajemen Program Doktor Ditjen Pendidikan Tinggi Departemen P&K. Zainuddin memang bukan orang pertama yang meneliti tempe bongkrek. Van Veen, sarjana biokimia Belanda dan Martens dari Amerika Serikat, tahun 1933 sudah meneliti dan mengisolasikan dua jenis toksin (racun) yang meracuni bongkrek. Yaitu toksoflavin (racun berwarna kuning berasal dari vitamin B2 dan asam bongkrek (sejenis racun ganas tanpa warna). Dua jenis racun yang senyawa itu sebetulnya diproduksi oleh sejenis bakteri pembusuk (pseudomonas cocovenenans) yang mencemari tempe bongkrek. Tempe bongkrek atau disebut juga tempe gembos, apabila terolah secara sempurna berwarna putih dan lembek. Tapi apabila tempe itu salah bikin (busuk) dia berwarna kuning atau kekuning-kuningan. Warna itu berasal dari dua jenis racun tadi yang membalut bagian luar tempe. Bakteri yang memproduksi racun tadi ternyata berkembang biak dengan subur pada ampas kelapa, bahan baku tempe bongkrek. Biasanya penduduk Banyumas (Jawa Tengah) dan Banyuwangi (Jawa Timur) -- tempat tempe itu paling populer-baru membuang tempe itu bila benar-benar telah berwarna kuning. Apabila hanya kekuning-kuningan (kuning muda) penduduk masih berani memasarkannya. Padahal justru tempe berwarna kuning muda itulah yang lebih berbahaya. "Karena lebih banyak mengandung asam bongkrek," ujar Zainuddin. Toksoflavin yang menguningkan tempe itu sendiri bukan racun berbahaya. Karena di dalam lambung, setelah berproses dengan asam lambung, racun itu berubah menjadi enzym. Tapi racun asam bongkrek ternyata menyebabkan terjadinya hipoglikemia (pengurangan kadar gula dalam darah) yang hebat. Ini terbukti dari matinya mencit putih (tikus) Muangthai yang dijadikan hewan percobaan oleh Zainuddin dalam penelitiannya. Gejala yang sama, menurut Zainuddin, ditemukan pada manusia yang mati keracunan tempe bongkrek. Asam bongkrek juga menimbulkan efek terganggunya produksi Adenosina trifosfat (ATP), semacam protein dan enzym untuk sel. Sehingga bila kekurangan senyawa itu, sel-sel tak bisa berkembang dan mati. Dosis Yang Tepat Berdasarkan efek itulah asam bongkrek kelak mungkin bisa untuk pengobatan kanker. Menurut Muhamad Zainuddin, daya hidup sel kanker lebih lemah dibanding sel normal. Karena sel kanker adalah sel yang sudah mengalarni mutasi. Makanya asam bongkrek lebih efektif terhadap sel kanker timbang terhadap sel normal. Sel kanker adalah sel yang kehilangan kontrol pembelahan. Hal itu juga mernbedakan sel kanker dengan sel normal. Dalam percobaan dengan 10 ekor tikus Thailand tadi, pada kuduk hewan-hewan yang berumur 1-2 bulan dengan bobot 20-25 gram itu diberi suntikan karsinogen (sejenis bahan kimia yang bisa menyebabkan kanker) sebanyak 10 kali (dengan dosis suntikan 0,1 mg). Dengan begitu diperoleh jaringan kanker dengan sifat yang mendekati sifat kanker yang diderita manusia. "Kanker yang diderita manusia umumnya disebabkan terserapnya karsinogen yang terdapat di dalam obat, makanan, minuman, dan udara yang tercemar," kata Zainuddin. Ternyata 62 hari setelah penyuntikan terakhir, pada kuduk mencit-mencit itu mulai tumbuh benjolan-benjolan. Benjolan itu, bila dibedah, berupa jaringan berwarna putih kemerahan dan kenyal. Itulah sel-sel kanker. Lantas pada benjolan di kuduk mencit itu disuntikkan asam bongkrek dengan dosis 1 mg tiap 1 kg berat tubuh mencit. Hasilnya luar biasa: 10 hari setelah penyuntikan, benjolan tadi hilang sama sekali. Maka lelaki asal Magetan ini menyimpulkan, asam bongkrek bisa untuk mengobati kanker. Terutama untuk pengobatan kanker di permukaan (misalnya kanker kulit). "Bisa saja asam bongkrek itu dioleskan di kulit," kata lelaki bertubuh kecil dan berkulit hitam itu. Tapi Zainuddin sendiri belum berani mengatakan bahwa asam bongkrek sudah bisa mengobati kanker manusia sekarang. "Karena masih perlu diteliti dosis yang tepat," katanya. Di dalam sidang promosi doktor di Balai Pertemuan Ilmiah ITB yang di hadiri sekitar 100 pengunjung (kebanyakan para apoteker), di antaranya 20 guru besar ITB, terlihat juga Prof. Dr. Marsetyo Donoseputro, Rektor Universitas Airlangga, Surabaya. Promotor Prof. Dr. Soedigdo Pringgoprawiro (guru besar Bio Kimia ITB) antara lain mempersoalkan mengapa Muhamad Zainuddin hanya meneliti pengaruh asam bongkrek terhadap enzym tertentu? Menurut Zainuddin, karena enzym itu ternyata sangat dominan dalam hal pertumbuhan sel. Aktivitas fosfatase alkali (sejenis asam yang di dalam tubuh berubah menjadi garam) juga diteliti Zainuddin, karena penting peranannya dalam pertumbuhan dan pengapuran tulang. Masih Sulit Pada penderita kanker tulang aktivitas enzym fosfatase alkali di dalam sumsum tulang lebih besar dibandingkan pada manusia normal. Sehingga dengan penelitian itu dia berpendapat semua jenis kanker sebetulnya bisa diobati dengan asam bongkrek. Memang ada kelemahan hasil penelitian itu, kalau asam bongkrek akan diproklamasikan sebagai obat kanker. Prof. Dr. Sri Soedarwati, Guru Besar Biologi ITB misalnya, mengatakan tidah seluruh hasil penelitian itu memuaskan. Misalnya yang diteliti hanya sebagian pengaruh asam bongkrek terhadap jaringan kanker dan jaringan normal. Hewan percobaan juga sedikit (hanya 10 ekor mencit). "Dan dia tidak bisa memastikan jenis kanker apa yang ditelitinya itu," kata Sri Soedarwati. Kritik lain datang dari Prof. Dr. Topo Harsono, guru besar dan ahli pathologi dari Universitas Pajajaran, Bandung "Hasil penelitian itu memang baik, tapi mempergunakannya masih sulit," kata Prof. Topo kepada wartawan TEMPO Dedy Iskandar. Untuk kanker di kulit misalnya bisa saja asam bongkrek itu dioleskan, "tapi kalau kanker di hati, misalnya, apa bisa disuntik dengan asam bongkrek itu?" katanya. Itu juga termasuk yang dipertanyakan Zainuddin sendiri. Tapi kalangan sarjana yang hadir dalam upacara promosi itu nampaknya puas terhadap penelitian yang dilakukannya. Karena baru sekali ini seorang sarjana Indonesia meneliti kanker dari sudut biokimia-dan dari bahan tempe bangkrek, makanan rakyat yang terkadang bisa berbalik menjadi racun yang membunuh.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus