Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Beras Erwin dan Bubur Tajin

Para tahanan politik menjejali ruang tahanan sempit. Makanan minim dan mereka akrab dengan berbagai metode penyiksaan.

1 Oktober 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tiga peluru menembus tubuh lelaki itu. Dua di dada dan sebuah lagi di lengan kirinya. Berondongan tembakan dari bedil tentara itu tak membunuh Eko Wardoyo, kini 89 tahun. Tapi mata kirinya buta karena tusukan bambu yang dihunjamkan anggota Zeni Tempur 8 dan Komando Distrik Militer Jatinegara pasca-Gerakan 30 September 1965.

Eko dituduh sebagai Komandan Pos Koordinasi Barisan Tani Indonesia Jakarta Selatan. Pria asal Klaten ini memang bekerja di Departemen Pertanian. Setelah ditangkap di daerah Tanjung Priok, dia dibawa ke Balai Masyarakat Desa Pasar Minggu, lalu dipindahkan ke markas tentara Zeni Tempur 8 di Lenteng Agung. Di ruang tahanan, penyiksaan menjadi santapannya sehari-hari.

"Kedua tangan dan kaki saya diikat dengan tambang, lalu badan saya digebuki dari belakang," ujarnya. "Seorang tentara menyiram spiritus, lalu menyileti perut saya hingga berdarah-darah."

Kisah Eko hanya sepenggal cerita pedih para tahanan politik pasca-Gerakan 30 September. Para anggota satuan tugas Angkatan Darat di bawah Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban menangkap, menahan, dan menginterogasi mereka di berbagai tempat: penjara, kamp penahanan, atau tempat subrehabilitasi di Jakarta dan sekitarnya. Banyak tempat yang tak disiapkan untuk jadi bui dijejali ratusan manusia.

Kebanyakan tahanan merupakan hasil Operasi Kalong di Jakarta dan Operasi Trisula di Blitar Selatan. Selanjutnya, para tahanan politik ini menjalani hukuman tanpa proses pengadilan di penjara atau kamp inrehabilitasi di Jawa atau di luar Jawa. Di tempat itu, mereka akrab dengan berbagai metode penyiksaan.

Simak kembali cerita Eko. Setelah diperiksa di Kodim, dia dipindahkan ke penjara Cipinang. Di sana, penderitaannya tak reda. Para petugas hanya memberi makan dua kali sehari dengan menu tetap: sayur bayam, nasi berpasir, dan sesekali jagung rebus. "Jagungnya dipipil. Saya hitung jumlahnya 142 biji, pernah cuma 98 biji," ujarnya mengenang masa pahit itu.

Eko meringkuk empat bulan di Cipinang. Seterusnya, ia dikirim ke Rumah Tahanan Salemba, yang lebih longgar. Di Salemba, ia merawat dan berteman dengan tokoh PKI, Latief. Setelah itu, Eko ditempatkan di penjara Tangerang. Dia menjalani hidup dari sel ke sel selama 13 tahun.

Bedjo Untung, 64 tahun, dan Jawito, 62 tahun, mengalami nasib serupa di Salemba. Di sana, beras Erwin menjadi makanan sehari-hari. Mereka tak tahu mengapa beras apak dan berpasir itu disebut Erwin. Sebelum makan, mereka harus memisahkan dulu batuan atau pasir dari nasi.

Nasi itu dibanjiri kuah sayur yang hanya berisi dua helai daun bayam. Lauknya potongan kecil tempe. "Kami juga pernah diberi bubur, tapi seperti tajin, encer sekali," ujar Jawito.

Bedjo dan Jawito semula menjalani tahanan di markas Kalong di Jalan Gunung Sahari II. Setelah berpindah-pindah penjara, mereka disuruh kerja paksa membuat jalan dan membuka lahan pertanian di daerah Cikokol, Tangerang. Jawito selanjutnya dibuang ke Nusakambangan dan Pulau Buru.

Tahanan perempuan mengingat penjara Bukit Duri dan markas Kalong sebagai tempat penyiksaan. Dengarlah cerita Sri Sukatno, anggota Gerwani yang pernah mendekam di Bukit Duri selama bertahun-tahun. Penyiksaan, menurut mantan jurnalis koran Ekonomi Nasional itu, juga kerap terjadi jika para tahanan dibon malam hari ke Gang Buntu.

Gang Buntu merupakan sebutan untuk sebuah tempat di Jalan Kebayoran Lama, tak jauh dari lampu merah Pasar Bunga Rawa Belong. Tempat itu merupakan bangunan besar yang dulunya dipakai sebagai studio dan untuk memutar film bagi Lekra. Kini bangunan besar itu dipakai sebagai gudang distribusi sandal dan sepatu plastik.

Di tempat tersebut, para tahanan mengalami siksaan fisik dan psikis dengan berbagai metode, bahkan penyiksaan di daerah genital. "Saya disetrum di sini," ujar perempuan sepuh ini sambil memperlihatkan gigi-giginya yang tanggal karena siksaan itu.

Tempat penahanan dan penyiksaan lain adalah Pusat Investigasi Komando Militer Jakarta Raya di Lapangan Banteng. Penulis buku Bertahan Hidup di Gulag Indonesia, Carmel Budiardjo, pernah ditahan di sini. "Tempatnya sekarang ya di Kementerian Agama itu," ujar Bedjo.

Mereka yang diduga terlibat PKI dan berasal dari kalangan militer bakal menjalani pemeriksaan di kompleks Guntur, sekitar Kantor Polisi Militer Kodam Jaya di Manggarai, Jakarta Selatan. Di tempat itu, mereka harus pasrah menjalani nasib yang kelam.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus