Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kalau abang masuk Jalan Gandhi
Badan abang habis dipukuli
Pulang-pulang tinggal holiholi (tengkorak).
Potongan lirik lagu berjudul Abang Pareman itu mungkin masih akrab di telinga sebagian warga Medan. Jalan Gandhi yang dimaksud si pencipta lagu, entah siapa namanya, adalah tempat berdirinya sebuah bangunan berlantai dua yang difungsikan sebagai rumah tahanan selama lebih dari satu dekade setelah peristiwa Gerakan 30 September. Inilah neraka bagi siapa pun yang dituduh sebagai anggota atau simpatisan Partai Komunis Indonesia dan organisasi yang bernaung di bawahnya.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menyebutkan rumah tahanan Gandhi merupakan salah satu lokasi penyiksaan, pengurungan, dan pemusnahan yang dilakukan aparat negara. Menurut laporan penyelidikan peristiwa 1965-1966 yang dibuat Komnas HAM, selain pemukulan, penyiksaan yang paling banyak dialami para tahanan adalah disekap di dalam wc bersama tumpukan tinja. Di penjara Gandhi, tahanan biasanya hanya transit beberapa waktu sebelum dipindahkan ke penjara lain.
Empat tahun lalu, bangunan yang pernah menjadi sekolah itu dirobohkan. Kini sebuah gedung berbalut cat hijau metalik tampak mencolok di antara bangunan sekitarnya. Gedung itu menjadi pusat perkumpulan warga etnis Tionghoa, Teo Chew Sumatera Utara. Gedung lama sudah hilang. Tapi, bagi tahanan yang keluar dengan selamat, Jalan Gandhi tetap menyisakan kisah pilu. "Dulu di situlah saya disekap dan menjalani siksaan," kata Astaman Hasibuan, 73 tahun, yang dituduh terlibat PKI.
Cerita Astaman berawal setelah peristiwa 30 September 1965. Di Sumatera Utara, Pelaksana Khusus Daerah Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Laksusda Kopkamtib) mengambil alih sekolah dasar milik Badan Permusjawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki), organisasi warga etnis Tionghoa yang dituduh menjadi pendukung PKI, itu. Di sinilah para pesakitan yang dicap antek komunis menjalani interogasi. Seusai interogasi, sebagian dikirim ke pusat tahanan lainnya, sisanya menetap menjalani hari-hari panjang.
Setelah gempa politik 1965, kantor PKI dan organisasi yang dianggap berafiliasi ke partai komunis di Medan hanya menyisakan jelaga. Astaman, yang anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), adalah anak seorang pengurus PKI Simalungun. Cukup alasan untuk mengantarnya menemui maut, meski ia mengaku bukan komunis. "Saya bukan PKI. Orang tua saya memang PKI," ujarnya dua pekan lalu. AstaÂman ditahan empat setengah tahun di Jalan Gandhi, sebelum dioper ke rumah tahanan lainnya, dan bebas pada 1978.
Rumah tahanan di Jalan Gandhi sulit dilupakan. Lantai satu bisa memuat 1.800 orang, sedangkan lantai dua adalah ruang petugas. Astaman masih ingat beberapa rekan sesama pesakitan yang dibawa ke lantai dua dan terjun bebas lalu terkapar di jalanan. Pukulan di sekujur tubuh yang berulang kali membuat hilang kesadaran, dikurung di wc gelap penuh tinja selama berminggu-minggu, dan kelaparan sudah dilalui bekas wartawan yang kini menjadi aktivis Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia ini.
Gandhi bahkan lebih ganas bagi anggota TNI yang dituduh simpatisan PKI. Bintara yang bertugas di bagian logistik Angkatan Darat, Eddy Sartimin, kini 72 tahun, adalah salah satu korban. Setelah menjaÂlani pemeriksaan dan penyiksaan di markas satuan tugas intelijen di Jalan H.M. Yamin, Eddy dikirim ke Gandhi. Selain mendapat siksaan reguler yang bisa membuat cairan perutnya merembes, ia sempat diÂsekap 40 hari di wc, tidur di atas kotoran. "Seorang perwira bahkan diikat dan mendekam tiga tahun di wc," katanya.
Eddy Sartimin mungkin tergolong orang yang paling apes, walaupun bisa lepas dari Gandhi dengan tetap membawa nyawa. Ia ditahan sebelas tahun, dari tahanan ke tahanan. Setelah dibebaskan, ia dinyatakan masuk golongan F alias tidak terlibat PKI. "Saya membantah tuduhan PKI. Saya tidak terlibat seperti Lekra, buruh (organisasi afiliasi PKI) itu. Tidak ada keluarga saya terlibat PKI," tegas katanya. Sudah kadung dicap PKI, Eddy ditinggalkan oleh istri dan anak-anaknya. Aktivis lembaga swadaya masyarakat itu kini hidup sendiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo