Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BERBULAN-bulan Daryoto Setiawan menunggu kabar baik dari Keerom. Tak jarang pemimpin PT Rajawali Group tersebut menyambangi kabupaten di Papua timur itu. Ia begitu rindu mendengar ucapan ”ya” dari beberapa kepala suku di sana. Sepenggal kata inilah tiket perusahaan untuk mengembangkan bisnis di perbatasan Indonesia dengan Papua Nugini itu.
Sejak akhir tahun lalu PT Rajawali sudah mengutarakan minatnya membuka area perkebunan sawit di Keerom. Sejumlah instansi pun didatangi, dari Badan Koordinasi Penanaman Modal, Departemen Pertanian, hingga Pemerintah Kabupaten Keerom. Hasilnya tak sia-sia. Pada awal tahun tikus ini, kelompok usaha Peter Sondakh itu berhasil mengantongi izin lokasi untuk membuka lahan. Luas tanah yang dikelola tak bisa dibilang ciut, 26 ribu hektare.
Tantangan terberat justru datang dari para kepala suku. Lahan-lahan itu dianggap sebagai tanah ulayat, milik adat yang mesti dilestarikan turun-temurun. Masuknya investor dikhawatirkan menggeser peran mereka sebagai tuan rumah. Mau tak mau, para pengusaha harus bergerilya di antara raja-raja lokal itu untuk mendapatkan kartu pas. Ternyata, waktu yang dibutuhkan begitu panjang, tak cukup satu minggu atau satu bulan. ”Bisa setahun atau lebih agar mereka bersedia,” kata Daryoto.
Alotnya izin dari penguasa adat itu merata di belahan Papua. Terlebih lagi daerah yang ramai dibidik sebagai kawasan ekonomi baru, seperti Merauke. Sofyan Panigoro mempunyai pengalaman itu. Direktur Utama PT Medco Agro tersebut mengatakan negosiasi dengan para ketua adat begitu alot. Bahkan kadang keberadaannya lebih ”berkuasa” daripada pemerintah. Di Merauke memang hanya ada satu suku besar, yaitu Marind. Namun di bawahnya banyak subsuku seperti Yeinan, Kanum, Marory, Menggey, dan Dek. Dengan merekalah investor mesti melobi, tergantung lokasi yang hendak digarap.
Karena itu, kata Sofyan, perusahaan harus mempunyai pendekatan yang lain. Ia memberikan contoh, istilah pembebasan lahan riskan digunakan. Jalan keluarnya, perusahaan menyewa tanah ulayat. Dalam sekian tahun tanah itu kembali ke pangkuan masyarakat. Selain itu, kelompok usaha Arifin Panigoro ini menggunakan pendekatan bagi hasil. Di Merauke, Medco mengembangkan pertanian seperti padi dan palawija. Pada Agustus lalu baru panen perdana. Setiap satu hektare, masyarakat mendapat dua hingga empat kuintal beras. ”Ya, seperti itulah yang diinginkan masyarakat di sana,” katanya.
Semua itu bukannya tanpa sebab. Ketua Adat Dewan Papua Wilayah Merauke Stanislaus Gebze mengatakan ada banyak soal yang membuat masyarakat belum begitu membuka tangannya. Dua tahun terakhir sejak investor berbondong-bondong masuk melalui program Merauke Agropolitan, sebagian besar penduduk Merauke tetap hidup susah. Kesejahteraan yang ditunggu-tunggu tidak menyapa mereka dari proyek besar tadi.
Stanislaus juga menganggap perusahaan swasta hanya mencari untung sendiri dan dinilai hanya setengah-setengah dalam memberdayakan masyarakat. Misalnya, sebagian pekerja di perkebunan atau pertanian dipenuhi oleh pendatang. Tujuh tahun lalu pemerintah daerah memang mendatangkan 25 ribu keluarga transmigran asal Pulau Jawa. Mereka inilah yang menggarap hampir semua ladang baru. ”Kami menolak investor yang hanya mementingkan pemerintah atau diri sendiri,” kata Stanislaus.
Soal minimnya penduduk Merauke yang dipekerjakan, Sofyan tak membantah. Dia beralasan, kemampuan masyarakat lokal sangat lemah, misalnya dalam bercocok tanam. Untuk tahap awal perlu diadakan pendidikan terlebih dahulu. Setelah lihai, mereka akan diberi kepercayaan mengelola. ”Itu memang butuh waktu,” katanya. Namun, Sofyan menegaskan, bukan berarti saat ini tak ada sama sekali warga Merauke yang terlibat. Ia pun yakin pada masa mendatang soal ini tak lagi jadi masalah.
Ketua Kamar Dagang dan Industri Indonesia Mohamad S. Hidayat mengakui bahwa persoalan tanah ulayat memang menjadi satu kerikil dalam membuka kawasan Indonesia timur, terutama Papua. Tapi, katanya, tidak berarti soal itu tidak bisa diselesaikan. ”Itu bisa dibicarakan, dan mereka (masyarakat) bisa paham,” kata Hidayat.
Muchamad Nafi, Cunding Levi (Merauke)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo