Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Go Public Model Baru

Dalam keppres no.5 '85. PMA boleh mamasuki usaha PMDN asal menyertakan koperasi sebagai pemegang 20% saham. Banyak koperasi belum siap masih banyak kelemahan manajemen siap masih terbatas. (eb)

20 Juli 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KOPERASI diberi angin lagi oleh pemerintah. Dalam Daftar Skala Prioritas (DSP) yang disahkan hari Selasa pekan lalu, dengan Keppres No. 5 Tahun 1985, PMA diperbolehkan memasuki bidang usaha PMDN, asal menyertakan koperasi sebagai pemegang 20% saham. Demikian pula dengan PMDN yang hendak memasuki bidang usaha di luar Undang-Undang PMA dan PMDN. "Pemerintah ingin menumbuhkan koperasi sebagai kekuatan ekonomi yang bisa diandalkan," ujar Ginandjar Kartasasmita, ketua BKPM. Untuk itu, BKPM telah menjalin kerja sama dengan departemen koperasi, yang bertanggung jawab dalam penyeleksian kelayakan koperasi yang hendak dilibatkan. "Hanya koperasi yang mendapat rekomendasi dari departemen koperasi yang diakui," ujar Ginandjar, yang mengakui bahwa tindakan itu diambil sebagai langkah pengamanan. Menurut Tanri Abeng, presiden direktur PT Multi Bintang, program penyertaan koperasi itu sebenarnya merupakan go public gaya baru: dalam gaya lama individu yang didorong untuk menyerap modal di pasar, sedangkan pada yang baru lembaganya yang didorong. "Kebijaksanaan ini tepat sekali. Sebab, orang Indonesia masih sulit untuk diajak terjun ke pasar modal," ujar Abeng. Dia juga melihat hal ini sebagai salah satu jalan keluar bagi pemerintah yang tengah mengalami kesulitan dalam mengarahkan para pemilik modal agar go public. Tetapi Abeng pesimistis program itu dapat segera dilaksanakan. Kemampuan manajerial dan keuangan koperasi harus ditingkatkan lebih dulu, agar tidak terjadi kepincangan kepincangan setelah proyek berjalan. "Sebagaimana diketahui, masih sangat banyak koperasi kita yang acak-acakan," ujar Abeng. Sularso, direktur jenderal bina usaha koperasi, tampak sependapat dengan Abeng. Dia mengakui bahwa Jumlah koperasi yang sudah siap terjun dengan PMA ataupun PMDN masih sangat terbatas. "Baru koperasi susu yang paling siap terjun," ujar Sularso. Koperasi yang tergabung dalam Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI) itu memang sangat berkepentingan. Mengingat, sekarang ini, semua bahan baku susu dalam negeri disuplai GKSI. Kesiapan itu, menurut Sularso, sudah teruji pada PT Food Specialities Indonesia perusahaan susu dan makanan bayi patungan antara GKSI dan perusahaan Nestle dari Swiss - yang direncanakan tahun depan porsi saham GKSI ditingkatkan menjadi 10%, dari 0,5% yang telah diambil tahun 1979. Dan sekarang tengah diusahakan agar GKSI bisa memperoleh 50% saham, sama dengan partnernya, Kelompok Mantrust, dalam PT Tirta Amerta Agung, satu-satunya pabrik pengolahan bahan baku susu bubuk di Indonesia yang baru selesai dibangun awal bulan ini. Namun, persyaratan pemilikan 20% saham bagi GKSI dirasa terlalu berat. "Pelaksanaannya harus bertahap, dan kami membutuhkan dana dari pemerintah," ujar Daman Danuwidjaja, ketua GKSI dan direktur jenderal peternakan. Wajar saja, karena dari perputaran uangnya yang tahun 1983 bernilai Rp 6,3 milyar, yang juga merupakan nilai terbesar, GKSI hanya untung Rp 13,6 juta. GKPN Jawa Barat, yang juga termasuk salah satu koperasi terkuat, mengalami nasib yang kurang lebih sama. BKPM sendiri tampaknya tidak ambil pusing dengan masalah dana itu, meskipun investasi minimal bagi PMA US$ 1 juta. "Saham kosong dulu tidak menJadi soal, nanti bisa dibayar dari keuntungan perusahaan," ujar Ginandjar. Bagi menteri muda urusan peningkatan penggunaan produksi dalam negeri itu, yang penting adalah pemberian kesempatan dahulu. Meskipun demikian ketentuan batas waktu 10 tahun bagi setiap PMA untuk menyelesaikan proses pengalihan sahamnya - 51% untuk pengusaha nasional - tetap berlaku. "Agar jangan sampai kita sendiri tergilas oleh modal yang kita tarik," ujar Ginandjar. Jumlah SPT yang dikeluarkan untuk PMA pada semester pertama tahun ini mencapai Rp 1.063 milyar, atau 237% lebih besar dari periode yang sama tahun sebelumnya. Untuk PMDN Rp 2.084 milyar, atau hanya 148% lebih besar dari tahun sebelumnya. Bidang usaha yang sebenarnya telah tertutup pun masih bisa dibuka kembali. Dengan syarat, semua produksinya untuk ekspor, agar tidak mengganggu stabilitas pasar dalam negeri, dan meningkatkan ekspor nonmigas. "Investasi untuk ekspor tidak dibatasi, dan boleh memilih lokasi di mana saja," ujar Ginandjar. Tanri Abeng melihat, kebijaksanaan itu juga dapat menekan pelarian modal ke luar negeri. Sangat terbatasnya ruang gerak seperti selama ini membuat PMA lebih senang mentransfer keuntungannya ke luar. "Sekarang mereka akan berpikir untuk memutar kembali, setidak-tidaknya sebagian, keuntungannya di Indonesia," ujarnya.Lalu, bagaimana dengan mereka yang tidak kebagian jatah bergabung dengan PMA atau PMDN? "Dijamin, semua investasi yang ada akan dilindungi, termasuk yang dilakukan pengusaha dan koperasi yang tergolong ekonomi lemah," ujar Ginandjar. Praginanto Laporan Suhardjo Hs., Putut Trihusodo (Jakarta) & Aji Abdul Gofar (Bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus