Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Dikuburkan di Mana Bandayudha?

Pangeran Diponegoro dimakamkan bersama keris Bandayudha di Makassar, Sulawesi Selatan. Lokasi makamnya masih dipertanyakan hingga kini.

11 April 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Makam Pangeran Diponegoro di Jalan Ponegoro, Kampung Melayu, Makassar, 22 Maret lalu./Tempo/Didit Hariyadi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Diponegoro dimakamkan bersama keris Bandayudha.

  • Peter Carey ragu Diponegoro dimakamkan di pekuburan umum

  • Bandayudha dilebur dari tiga pusaka Diponegoro.

KUBURAN itu terlihat paling besar dengan atap pelindung yang tinggi. “Di sini Eyang Diponegoro dimakamkan, berdampingan dengan jasad istri dan empat anaknya,” kata Marwanto, keturunan kelima Diponegoro, saat ditemui di Tempat Pemakaman Umum Kampung Melayu, Makassar, Sulawesi Selatan, 22 Maret lalu. Pusara pemimpin Perang Jawa (1825-1830) itu terletak di Jalan Diponegoro, Kampung Melayu. Lahir di Yogyakarta pada 1785, Diponegoro adalah putra sulung Sultan Hamengku Buwono III. Dia meninggal pada usia 70 tahun dalam pengasingannya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di area permakaman ini, terdapat sebuah musala. Itu salah satu wasiat Diponegoro, yang dibuatnya pada Maret 1849. Enam tahun sebelum tutup usia, Diponegoro berduka karena salah satu anaknya, Raden Mas Sarkumo, meninggal lantaran sakit pada umur 14 tahun. Sarkumo dimakamkan di sebuah lahan kecil milik Belanda di Kampung Melayu. Diponegoro, yang sudah sakit-sakitan dan memilih tinggal di Makassar, kemudian menyurati Gubernur Sulawesi Pieter Vreede Bik. Dia meminta pusara sang putra dipagari tembok rendah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Diponegoro juga ingin disiapkan sebidang tanah di samping Sarkumo untuk makamnya kelak. Di tempat yang sama, dia meminta didirikan rumah dengan musala bagi keluarga dan para pengikutnya. Sementara itu, dia sendiri masih terkurung di Benteng Rotterdam. Marwanto menyebutkan, saat Diponegoro ditawan Belanda di Benteng Rotterdam, istri, anak, dan dayang-dayangnya diboyong ke Makassar. Belanda kemudian memberikan sejumlah bidang tanah kepada keluarga Diponegoro, yakni di daerah Pannampu, Irian, Tinumbu, Kandea, dan Maccini. “Belanda khawatir kalau anak-anak Diponegoro kembali ke Jawa,” ucapnya.

Belanda mengucilkan Diponegoro ketika sang Pangeran dalam kondisi fisik lemah karena malaria. Beratnya perjalanan laut selama sepekan ke Sulawesi juga membuat Diponegoro sempat pasrah bakal mangkat dalam pembuangannya. Sebelum dia dikurung di Makassar, kapal yang mengangkutnya berlabuh di Manado. Dia batal diasingkan di sana karena tempatnya sudah dipakai Belanda untuk mengurung Kiai Maja dan pengikutnya. Sekitar 25 tahun dikarantina Belanda di Makassar, Diponegoro wafat pada 8 Januari 1855 dan dimakamkan di dekat Sarkumo.

Marwanto menjelaskan, Diponegoro dulu juga berpesan agar dimakamkan dengan salah satu senjatanya, keris Bandayudha. Keris yang menemani Diponegoro sejak awal Perang Jawa (Java Oorlog) sampai akhir hayat itu kemudian dikuburkan dengan tuannya pada 8 Januari 1855. “Itu satu dari enam keris Diponegoro yang kami data,” ujarnya. Selain Bandayudha, ada keris Kiai Wresa Gumilar, Kiai Rondhan, Kiai Hatim, dan Kiai Blabar. “Keris itu diberikan semua ke anak-anaknya.”

Keturunan Diponegoro dari generasi ketujuh, Roni Sadewo, menyebut bahwa keris Bandayudha dijelaskan dalam Babad Diponegoro. “Keris itu disebut dalam babad karena sangat istimewa bagi Diponegoro,” kata pria yang tinggal di Yogyakarta itu saat ditemui pada 21 Maret lalu. Adapun keris Kiai Naga Siluman, yang diberikan ke Belanda, malah tidak disebutkan Diponegoro dalam babadnya. Keris itu dikembalikan Belanda ke Indonesia pada 10 Maret lalu dalam kunjungan kenegaraan ke Jakarta.

Roni menjelaskan, keris Bandayudha terbuat dari cundrik atau keris kecil Kiai Sarotama. Cundrik itu dibuat dari panah Sarotama, yang diperoleh Diponegoro saat sedang bersemadi di Parangkusumo, pantai selatan di Yogyakarta. Saat itu, Diponegoro merasa ditemui oleh sosok yang disebutnya Sunan Kalijaga. Sosok itu pula yang kemudian memerintahkan Diponegoro berganti nama dari Abdurahim menjadi Abdul Hamid.

Dalam babad itu, Diponegoro juga menuliskan kejadian lahirnya panah Sarotama. Ketika itu, ia melihat cahaya melesat dan menancap di depannya, yang ternyata sebuah panah. Panah tersebut lalu dibawanya pulang ke kediamannya di Tegalrejo dan diberikan kepada istrinya, Raden Ayu Maduretno. Ketika Maduretno wafat, cundrik Sarotama dilebur dengan dua pusaka lain, keris Abijaya dan tombak Barutuba, menjadi keris Bandayudha. Abijaya adalah pemberian ayah Diponegoro, sementara Barutuba berperan dalam perang melawan tentara Inggris.

Selain keris Bandayudha dan Abijaya, disebutkan sembilan tombak Diponegoro dalam babadnya. Selebihnya, babad lebih banyak bercerita tentang pengalaman hidupnya. “Bukan tentang identitas diri, kekayaan, atau pakaiannya,” tutur Roni. Salah satu tombak Diponegoro, Kiai Rondan, sudah dikembalikan Belanda dan saat ini disimpan Museum Nasional.

Sejarawan asal Inggris yang meneliti Diponegoro, Peter Carey, menyebutkan ada 12 benda yang diserahkan atas kehendak sang Pangeran kepada keluarga intinya. Di antaranya belati, keris, dan tombak. Belasan pusaka itu diberikan Diponegoro setelah dia ditangkap Belanda di Magelang, Jawa Tengah. Dari sejumlah pusakanya, Bandayudha-lah yang ia bawa ke pengasingan. Wajah Diponegoro dengan keris kesayangannya itu disketsa oleh seniman Prancis, Adrianus Johannes Bik. Lukisan itu epik karena menggambarkan detail wajah Diponegoro dengan pakaian khas, turban, dan kerisnya.

Carey mengungkapkan, keris itu awalnya dikubur dengan Diponegoro di bagian belakang rumah keluarga di Jalan Irian, Makassar, sebelum ikut dipindahkan dengan jasad anggota keluarganya ke kompleks permakaman umum Kampung Melayu. Namun penulis Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1885 itu ragu Diponegoro betul dimakamkan di kuburannya sekarang. “Intuisi saya berkata tidak ada jasadnya di makam itu,” ujarnya saat ditemui, 20 Maret lalu, di Jakarta.

Menurut Carey, Diponegoro menyenangi kepraktisan. Itulah sebabnya Diponegoro menginginkan jenazahnya tidak dipulangkan ke Jawa. Alasan lain, dia merasa kampung halamannya bukan lagi Jawa, melainkan Makassar. Ketika kemudian meninggal, Diponegoro dimakamkan di rumahnya di Jalan Irian Nomor 83. Rumah itu dibeli Belanda dengan uang tunjangan Diponegoro sebesar 6.000 gulden dari Keraton Yogyakarta.

Carey mengatakan di pekarangan belakang rumah itu dulu memang ada dua nisan. Satu nisan Diponegoro, satu lagi Raden Mas Sarkumo. “Saya ragu makam Diponegoro dipindahkan ke permakaman umum,” ucapnya. Menurut Carey, sebetulnya bisa saja diverifikasi apakah betul keris Bandayudha ikut dikubur bersama jasad Diponegoro atau tidak. Carey menganjurkan penggunaan alat deteksi logam. Alat itu bisa mengendus keberadaan keris Bandayudha yang dikubur bersama Diponegoro. “Bisa dicek apakah keris itu ada di tempat pemakaman Diponegoro yang sekarang ataukah tidak.”

Mungkin juga keris itu masih tertanam di dalam tanah makam Diponegoro terdahulu. Namun, sayangnya, kediaman Diponegoro di Jalan Irian sudah dijual keluarga yang bertugas menjaga makam. “Kami sedang mengupayakan tempat itu kembali lagi,” kata Saiful, salah satu keturunan Diponegoro di Makassar.

Lokasi makam Diponegoro masih menjadi perdebatan hingga kini. Bahkan ada yang meyakini Diponegoro dikebumikan di kompleks pekuburan Asta Tinggi Sumenep, Jawa Timur. Hal ini didasari mitos yang menyebutkan Diponegoro bersembunyi dari kejaran Belanda di Sumenep. Sedangkan sosok yang diasingkan Belanda hanyalah orang yang mirip dengan pangeran bernama lahir Raden Mas Ontowiryo itu.

Roni Sadewo mengatakan Diponegoro juga sempat berwasiat ingin dimakamkan di Imogiri, berdampingan dengan pusara ibunya. Namun permintaan itu kemudian dicabut setelah Belanda mengasingkan Diponegoro ke Makassar. Sempat pula muncul wacana memindahkan makamnya ke Jawa, tapi ditolak banyak pihak. Alasannya, makam itu adalah simbol kedekatan Makassar dengan Yogyakarta.

ISMA SAVITRI, SHINTA MAHARANI (YOGYAKARTA), DIDIT HARIYADI (MAKASSAR)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Isma Savitri

Isma Savitri

Setelah bergabung di Tempo pada 2010, lulusan Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro ini meliput isu hukum selama empat tahun. Berikutnya, ia banyak menulis isu pemberdayaan sosial dan gender di majalah Tempo English, dan kini sebagai Redaktur Seni di majalah Tempo, yang banyak mengulas film dan kesenian. Pemenang Lomba Kritik Film Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 2019 dan Lomba Penulisan BPJS Kesehatan 2013.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus