Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Surat Sentot Alibasya dan keterangan Raden Saleh adalah bukti kuat keaslian keris Diponegoro.
Diponegoro memang menyebut keris yang diserahkan dengan nama Kiai Naga Siluman.
Keris yang diserahkan Diponegoro ke Belanda berlapis emas di sekujur tubuhnya.
Peter Brian Ramsey Carey, 71 tahun, bisa jadi mengenal Diponegoro melebihi orang Indonesia sendiri. Sejak 1970-an, sejarawan ini mempelajari kehidupan Diponegoro, dan menyunting Babad Diponegoro yang ditulis dalam masa pengasingan sang Pangeran di Manado, Sulawesi Utara, 1830-1833. Carey, pria Inggris kelahiran Yangon, Myanmar, kemudian menulis Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855. Kitab terbitan 2012 itu kemudian menjadi rujukan bagi orang mengenai Diponegoro, yang memimpin Perang Jawa.
“Diponegoro adalah seorang muslim saleh, tapi juga kejawen tulen, yang paham soal keris,” kata Peter Carey saat ditemui Seno Joko Suyono dan Isma Savitri dari Tempo di Jakarta, 20 Maret lalu. Menurut Carey, sejarah penuh teka-teki. Karena itu, dia menduga ada alasan tertentu mengapa Diponegoro mengaku kepada Belanda bahwa keris pemberiannya bernama Kiai Naga Siluman. Sedangkan bila dilihat dari perawakannya, keris itu lebih mirip Naga Sasra.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun, terlepas dari urusan penamaannya, Carey percaya bahwa keris yang dikembalikan Belanda pada 5 Maret itu adalah pusaka yang sama dengan yang diserahkan Diponegoro pada 1830. Sebagai sejarawan, Carey melihat dokumen surat dari Sentot Alibasya, keterangan pelukis Raden Saleh yang diminta Belanda memeriksa keris itu, dan foto Kiai Naga Siluman saat dipamerkan di Philadelphia, Amerika Serikat, pada 1876 sebagai bukti primer sejarah yang sangat menentukan. “Itu bukti-bukti kuat,” ujar Carey. Berikut ini kutipan penjelasan Carey.
Pengembalian keris Pangeran Diponegoro menjadi polemik. Pendapat Anda?
Saya hanya tahu sepintas soal keris karena saya bukan ahlinya. Tapi, dari pengetahuan saya soal Diponegoro, keris yang dikembalikan tidak disebutkan dalam Babad Diponegoro yang dia tulis dalam pengasingannya di Manado, Mei 1831-Februari 1832. Keris itu juga tidak ada dalam daftar yang dibuat Belanda setelah menangkap Diponegoro di Magelang. Dalam daftar itu ada 12 benda yang dibagikan kepada keluarga, di antaranya belati, tombak, dan keris, sesuai dengan kehendak Diponegoro.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tapi keris yang dikembalikan ini punya dua saksi menentukan. Pertama, dokumen Sentot Alibasya, panglima Diponegoro yang ditugasi memberikan keterangan soal benda pusaka itu. Sentot juga adik ipar Diponegoro. Kedua adalah pelukis Raden Saleh, yang saat berada di Belanda diundang Belanda melihat keris itu dan membaca dokumen Sentot yang berbahasa dan beraksara Jawa. Selain menerjemahkan dokumen Sentot ke bahasa Belanda, Raden Saleh menambahkan kesaksiannya pada bagian bawah surat Sentot.
Ada pendapat yang ragu terhadap keterangan Sentot. Sebab, pada Mei 1830, saat keris itu diserahkan Diponegoro, Sentot sudah ada di Sumatera Barat sehingga tak tahu soal penyerahan keris Diponegoro.
Tidak. Sentot ketika itu masih ada di Jawa Tengah. Sesudah mengawal Diponegoro, dia masih sempat kembali ke Yogyakarta. Sentot ke Sumatera Barat baru antara akhir 1830 dan awal 1831. Sentot menerangkan bahwa dia telah memeriksa pusaka milik Diponegoro yang diberikan ke Belanda, yakni keris bernama Kiai Naga Siluman. Saya melihat, karena Sentot buta huruf, saat menyatakan kesaksiannya pasti dia meminta orang lain menulis untuknya.
Bagaimana ceritanya keris itu sampai diserahkan Diponegoro ke Yogyakarta?
Diponegoro dekat dengan perwira Belanda, Kolonel Jan-Baptist Cleerens. Pria kelahiran Antwerp itu dipilih Belanda sebagai jembatan penghubung dengan Diponegoro. Bulan Ramadan 1830, Diponegoro berangkat melalui Kebumen, Gombong, Banjar, dan Menoreh. Di Menoreh, dia tiarap selama dua minggu sampai ada kabar panglima tentara Belanda dalam Perang Jawa, Hendrik Merkus de Kock, akan menemuinya. Pada 8 Maret, Diponegoro tiba di Magelang disambut De Kock. Diponegoro datang bersama 700 rakyat yang mengawalnya, kemudian masuk ke perkemahan yang sudah disiapkan Sentot dan Cleerens. Suasana cukup akrab karena Diponegoro dan De Kock sama-sama sedang kesripahan (berduka), karena istrinya meninggal. Mereka pun sepakat isu politik baru akan dibahas setelah Lebaran. Namun selama bulan puasa itu De Kock dan Diponegoro beberapa kali bertemu di Meteseh. Dalam negosiasi, Cleerens secara lisan sudah memberi tahu Diponegoro. Bila ada yang tak berkenan di hati, Diponegoro boleh pulang. Sebagai tanda persahabatan sekaligus jaminan, Diponegoro menyerahkan kerisnya kepada Cleerens.
Anda yakin keris itu yang sama dengan yang dikembalikan Belanda?
Menurut saya benar, karena setiap keris punya kekhasan. Raden Saleh dalam deskripsinya menyebutkan keris Naga Siluman yang dia lihat punya detail emas di sekujur tubuhnya. Kesaksian ini penting sekali. Sebab, beberapa koleksi keris Naga Siluman yang ada di Eropa sekarang, misalnya di Wina, Austria, sama sekali tidak dibalut emas. Yang menjadi red herring (pengalih perhatian) adalah keris itu disebut Kiai Naga Siluman. Entah apakah sebutan itu dari Diponegoro, yang jelas Sentot mengiyakan bahwa itu keris Diponegoro, dan bernama Naga Siluman. And I can fight for this.
Bagaimana Raden Saleh bisa terlibat menambahkan catatan soal keris?
Keris sampai di Belanda pada 11 Januari 1831. Enam hari setelahnya, Raden Saleh, yang baru tiba di Belanda untuk belajar seni, diminta memeriksanya. Usianya 20 tahun ketika itu. Sebagai seniman, Raden Saleh menaruh perhatian khusus pada detail emas di keris itu. Detail itulah yang kemudian dideskripsikan Raden Saleh di bagian bawah surat Sentot. Saya percaya kesaksian Raden Saleh pada 17 Januari 1831 itu. Sebagai pejuang antikolonialisme, Raden Saleh sendiri menunjukkan jati diri lewat dua lukisannya. Pertama lukisan soal banjir di Jawa, dan lukisan penangkapan Diponegoro yang memunculkan Cleerens. Di lukisan itu, Cleerens seolah-olah menjadi Yudas Iskariot.
Apakah mungkin Diponegoro yang seorang ningrat dan paham tentang pusaka salah mengenali keris Naga Sasra sebagai Naga Siluman?
Saya tak tahu. Diponegoro seorang Islam saleh, tapi ia juga kejawen tulen. Ia sangat menyenangi keris. Bahkan ini menjadi biang keladi masalah dalam hubungannya dengan Kiai Maja, yang menganggap keris benda syirik. Pada satu waktu, Kiai Maja pernah bilang bahwa yang membuatnya bergabung dengan Diponegoro adalah misi menyebarkan Islam di Jawa. Pada awalnya Kiai Maja percaya penuh kepada Diponegoro, tapi ternyata Diponegoro malah sibuk mendirikan keraton di alas, dan menggemari keris. Karena itu, Kiai Maja memilih berpisah jalan. Seorang Diponegoro pun kadang berbohong untuk membesarkan dirinya sendiri. Jadi kita tidak bisa mempercayai semua hal yang dikatakan Diponegoro
Jadi bukti dokumen Sentot dan Raden Saleh sudah cukup ?
Kenyataannya, kita punya tiga bukti. Bukti pertama adalah keris itu sendiri, kedua notulen Sentot, dan ketiga catatan Raden Saleh pada 17 Januari 1831. Mungkin bukti keempat adalah deskripsi keris saat dikirim ke Philadelphia untuk merayakan 100 tahun kemerdekaan Amerika Serikat. Ini semua kuat.
Ada spekulasi bahwa ini keris rampasan....
Keris itu sangat indah, dan saya meyakini keris itu tidak dirampas. Hubungan Cleerens dan Diponegoro itu persahabatan dan pengkhianatan. Cleerens dalam Bahasa Jawa dilafalkan kaleres, sementara leres artinya benar. Orang betul, orang jujur, sementara aslinya dia seorang penipu.
Sedalam apa penelitian oleh para ahli di Belanda?
Menurut saya, aneh bila keris yang sebelumnya milik “yang ditaklukkan” (Diponegoro) sempat hilang lama di museum Belanda, sampai akhirnya sejarawan Peter Potts mulai mencarinya lagi. Diikuti Susan Lagene dan sejarawan lain, melalui riset mendalam. Jadi ini seperti mencerminkan Belanda, ya. Mereka mencuri Jawa, negeri Anda, dan kemudian lupa soal keris yang didapat dari Diponegoro. Itu ngawur. Namun, pastinya, penelitian terhadap keris itu terlihat sangat penuh kehati-hatian dengan memeriksa detail semua dokumen. Bilapun ada salah penamaan, itu perkara lain.
Polemik lainnya adalah ukiran di bagian bawah ganja keris yang disebut sejarawan Sri Margana sebagai naga, sementara para empu dan pakar keris menyebutnya singa.
Soal ini bukan kapasitas saya. Yang bisa saya jelaskan adalah nota dari Raden Saleh yang menyebut sekujur tubuh keris itu berselimut emas. Walau ada keris Naga Siluman di tempat lain, hanya yang di Volkenkunde yang berlabur emas di permukaannya. Itu menunjukkan bagaimana keris ini dibuat untuk raja, seseorang dengan kedudukan tinggi. Mungkin bagi orang keris penamaan ini ngawur. Namun, buat sejarawan, apa boleh buat? Kita harus menerimanya.
Haruskah kita mengembalikan nama keris ini menjadi Naga Sasra sesuai dengan bentuknya?
Saya pikir kita harus hidup dengan sejarah, betapapun itu menjengkelkan kita. Sejarah itu penuh kejanggalan. Sejarah itu tidak lurus-lurus saja. Tidak ditata. It’s not clear, nice, or tidy. Kita mesti kembali kepada kenyataan juga bahwa Diponegoro tidak selurus itu. Dia minum wine juga.
Jadi, terlepas dari polemiknya, keris ini memang layak dipamerkan, ya, di Museum Nasional....
Tentu karena ini adalah bagian dari sejarah. Budayawan, seniman, bisa ikut berperan dengan membuat karya yang mencerminkan kepelikan sejarah soal ini. Kita mesti ingat, sejarah tidak itu-itu saja. Penuh teka-teki.
CATATAN KOREKSI:
Artikel ini diubah pada Senin, 13 April 2020 untuk memperbaiki akurasinya.
Sebelumnya tertulis “Diponegoro tidak selurus itu. Dia minum wine dan gin juga”. Seharusnya: “Diponegoro tidak selurus itu. Dia minum wine juga.”
Adapun gin, menurut Peter Carey dalam wawancara ini, diminum oleh Raden Mas Said (Mangkunegoro I).
Dengan ini kesalahan diperbaiki. Redaksi mohon maaf.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo