Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SELAIN didahului keris Kiai Naga Siluman dan wabah corona, kedatangan Raja Belanda Willem-Alexander pada 5 Maret 2020 ke Indonesia sebagai negara bekas jajahan didahului oleh rombongan utusan dagang kerajaan yang besar. Raja meminta maaf atas perlakuan keji mereka pada 1945-1950 sembari mengembalikan keris Pangeran Diponegoro itu. Ditutup letusan Gunung Merapi. Adegan demi adegan itu seperti kata pepatah Prancis plus ça change, plus c’est la méme chose—makin berubah makin sama—dari kejadian dua abad lalu. Wabah, letusan Merapi, investasi, kolonialisme, dan Perang Jawa (1825-1830). Bagaimana memahami kejadian penting ini?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jalan menuju Perang Jawa dibuka oleh wabah kolera. Empat tahun sebelum meletus perang yang dipimpin Diponegoro itu, sepanjang April-Agustus 1821, paling tidak 125 ribu orang atau 7 persen penduduk Jawa tumpas oleh keganasan Cholera asiatica yang dibawa pelaut dari Pulau Pinang dan Melaka ke Semarang. Saban hari, di Surakarta saja 70 orang mati. Saking parahnya, pemerintah sampai melarang orang melaksanakan puasa karena wabah itu memuncak saat Ramadan dan Lebaran.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setahun kemudian, 1822, Gunung Merapi yang dijaga Kiai Sapu Jagad, roh halus Jawa paling keramat bersama Ratu Kidul, juga meletus. Bagi orang Jawa, wabah dan letusan gunung itu jadi tanda dimulainya zaman kalabendu penuh angkara murka. Dan, setelah itu, Ratu Adil akan tiba. Dalam Buku Kedung Kebo yang melukiskan awal Perang Jawa, Juli-September 1825, rakyat percaya Ratu Adil itu adalah Diponegoro.
Sembilan bulan setelah Perang Jawa berakhir, pada Januari 1831, Raden Saleh diminta Kerajaan Belanda menjelaskan kesaktian keris Kiai Naga Siluman milik Diponegoro yang diberikan kepada Raja Willem I sebagai bukti mereka menang dalam Perang Jawa. Raden Saleh, melalui nama keris yang mistis itu, mengajak Raja memasuki pesan moral pembuatan keris tersebut, yang dibuat dengan cara disuwuk atau meniupkan kekuatan gaib agar yang di sekitarnya eling lan waspada, sadar dan ingat hal sejati.
Menurut Peter Carey, penulis biografi Diponegoro, keris itu dikisahkan sejajar dengan pangeran Mataram yang bertapa pada 1805 di gua siluman pantai selatan hingga berjumpa dengan Ratu Kidul. Tapa itu berujung pada kepekaan ia hidup di zaman banjir investasi swasta. Seserius apa ia mampu menyeimbangkan kekuatan rohani, kemanusiaan, dan kekuasaan duniawi?
Pertanyaan itu jadi nilai batin Diponegoro. Ia terusik mempertanyakan wabah korupsi di Keraton Yogyakarta sebelum dan ketika wabah kolera tiba. Buku Kedung Kebo mengisahkan pertanyaan Diponegoro di muka umum, saat upacara garebeg puwasa 12 Juli 1820. Ia mempertanyakan, sekaligus mengkritik, kongkalikong penyewaan tanah Kesultanan Yogyakarta di Rojowinangun kepada investor nila dari Inggris. Patih Yogyakarta sangat berkuasa, Danuredjo IV, yang menjawab pertanyaan itu dan membuat Diponegoro naik pitam.
Diponegoro melepas sebelah selopnya untuk menampar sang patih. Ia pun jadi sering cekcok dengan adiknya, Sultan Hamengku Buwono IV, tentang ketakpantasan mengobral sewa tanah kerajaan kepada orang Eropa dan Cina. Menurut Diponegoro, penyewaan itu merampas hak petani dan merendahkannya sebatas kuli. “Haruskah kita terus membebani rakyat yang sudah menderita begitu banyak?” ujarnya dalam pertemuan Dewan Pemerintahan Tertinggi Kesultanan Yogyakarta.
Saat itu musim kemarau 1822. Gagal panen dan wabah kolera masih ganas. Malapetaka ini berpadu dengan cekikan kerja rodi, pajak tanah, gerbang cukai, dan bahan pangan yang langka juga mahal.
Jawa selatan-tengah pun menuju titik api. Satu sisi penderitaan berlapis-lapis dipadu penyewaan tanah sejak 1816 membuat rakyat bergolak, tecermin dalam banyaknya aksi wong durjono alias bandit profesional serta pemberontakan petani, dari Umar Mahdi sampai Raden Ayu Guru. Di sisi lain, pejabat keraton makin pongah, korup, dan abai.
Keputusan Gubernur Jenderal Van der Capellen menyetop sistem sewa tanah pada 1823 malah menambah pelik persoalan. Sebab, oleh residen, kebijakan itu dimanfaatkan untuk minta ganti rugi sewa yang tak masuk akal kepada rakyat. Sementara itu, para elite keraton yang takut kehilangan perlindungan gubernemen membayar sewa tersebut sehingga kas keraton menjadi kritis.
Karena Sultan Hamengku Buwono V, yang diangkat menggantikan ayahnya yang meninggal, masih anak-anak, Diponegoro mempertanyakan keadaan keraton yang kacau itu kepada ibu suri, Ratu Ageng, yang mengendalikan keraton bersama Danuredjo IV. Tapi Ratu Ageng menjawab tegas, “Berhentilah jadi gara-gara.”
Pada 1824, Diponegoro pun menjauh ke Tegalrejo. Ia tak mau lagi terlibat dalam urusan-urusan keraton. Begitulah Diponegoro memutus hubungan dan membuka front dengan keraton, dan secara otomatis memutus relasi dengan pemerintah kolonial yang menjadi sekutunya.
Akhir Juli 1825, Diponegoro—istilah Carey—menyerah pada kuasa ramalannya. Ia keluar dari keremangan Tegalrejo tampil dan tegak sebagai Ratu Adil memimpin penyatuan banyak orang yang merasa terhina, putus asa, dan marah oleh perilaku pejabat keraton dan pemerintah kolonial. Ia kibarkan panji perang. Petani, ulama, bandit, dan bekas prajurit perempuan dari daerah yang luas mendukungnya.
Para pejabat keraton dan pejabat kolonial mencibir gejolak itu. Mereka menganggap remeh dan enteng api perang yang dikobarkan Diponegoro dengan menyebutnya “orang Jawa bodoh dan tidak berdisiplin”, “pemberontakan biasa ningrat yang sakit hati”. Gubernur Jenderal Van der Capellen berkomentar naif atas gejolak di kalangan petani itu dengan kalimat “sangat mengejutkan”, seolah-olah tak tahu derita mereka ditekan pemerintahnya.
Mengapa itu bisa terjadi? Raffles menunjuk kepada “kehausan laba cepat dan banyak”. Ini doktrin pemerintah kerajaan di Den Haag dan Brussels untuk menteri negara urusan kolonial serta gubernur jenderal. Karena itu, meskipun Perang Jawa usai, hal tersebut tak membuat pemerintah Belanda insaf.
Gubernur Jenderal Van den Bosch—setelah memastikan Diponegoro mati di pengasingan—membawa struktur kekuasaan pribumi ke tingkat feodal yang paling buruk via sistem Tanam Paksa. Tujuannya untuk menutup defisit 25 juta gulden (US$ 2,2 miliar nilai sekarang) akibat Perang Jawa. Hasilnya efektif. Kas Belanda naik 832 juta gulden (sekitar US$ 75 miliar). Untung fantastis Tanam Paksa ini dinikmati oleh penguasa feodal Jawa, terutama pemerintah Belanda untuk industrialisasi.
Di masa jaya Tanam Paksa itu, pada 1857, Raden Saleh menyelesaikan lukisan tersohornya tentang penangkapan Diponegoro. Melalui lukisan untuk Raja Belanda itu ia ingin menegaskan pesan seperempat abad sebelumnya saat menjelaskan seloka keris Kiai Naga Siluman. Saleh mengkritik tak etisnya penangkapan Diponegoro dengan dalih silaturahmi Lebaran. Raden Saleh ingin mengatakan bahwa jika tak ada perubahan paradigma di tanah kolonial, orang Hindia akan “menjadi sarana” kebangkitan kembali Diponegoro melawan kekuasaan yang hanya memikirkan apa yang untung, bukan apa yang benar.
Dalam wawasan pesan Saleh itulah seharusnya kita menyikapi pengembalian keris Naga Siluman oleh Raja Willem-Alexander. Wabah corona yang mendahului kepulangan keris itu—disusul letusan Gunung Merapi—bukan sekadar déjà vu, melainkan peringatan perlunya nilai batin untuk mempertanyakan mengapa keris yang diserahkan dari masa Perang Jawa tapi permintaan maafnya difokuskan pada periode jangka pendek perang revolusi kemerdekaan 1945-1950. Apakah periode sebelum 1945 yang meninggalkan banyak dosa warisan tak dianggap kesalahan dan kejahatan oleh pemerintah Belanda?
Ironisnya, para politikus berpolemik menyoal keaslian kerisnya. Sambutan Presiden Joko Widodo pun menaruh sejarah hanya sampiran penutup yang janggal setelah berpanjang-lebar soal kerja sama ekonomi. Mengapa ini bisa terjadi ketika kemanusiaan kita diuji di titik paling rentan karena wabah?
Sejarah adalah soal apa yang berubah dan berlanjut. Pertemuan Raja Belanda dan Presiden Jokowi itu seperti lanjutan sejarah Raja Jawa bertemu dengan struktur tertinggi kolonial yang dianggap wakil leluhur. Celakanya, tiada hal luhur yang mereka bicarakan. Hanya perdagangan dan investasi. Tema dan cara yang tak berubah sejak Diponegoro. Kepekaan kekuasaan tetap tumpul selama berabad-abad.
Setelah Perang Jawa, Van den Bosch menjalankan Tanam Paksa seraya mengabaikan kolera yang menelan 140 ribu jiwa di Jawa. Begitu pula penggantinya, mengesampingkan wabah kolera yang terus merebak bersamaan dengan cacar dan demam tifoid, yang merenggut 600 ribu nyawa di Jawa pada 1846-1851. Surplus ekonomi Tanam Paksa tak membuat pemerintah kolonial menolong orang Jawa yang mengerjakannya ketika dua kali kena wabah kolera, juga malaria, antara 1874 dan 1880 hingga menewaskan 275 ribu jiwa.
Akhirnya benar apa yang diungkap Babad Bedhah dari masa Sultan Hamengku Buwono IV, adik Diponegoro, soal krisis yang dibarengi pandemi itu. Sentral hajat hidup elite adalah kasesa rebut picis—jangan sampai ketinggalan meraih pemasukan. Sebab, uang yang akhirnya bisa membeli kekuasaan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo