Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPAT tinggal Megawati Soekarnoputri kini seperti rumah kedua bagi Gubernur Jakarta Joko Widodo. Tiga kali sepekan, sang Gubernur bertandang ke rumah Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu. Waktunya tak tentu, bisa sambil sarapan, pada saat jam makan siang, atau di waktu jam makan malam.
Sama-sama berada di Menteng, kawasan elite Jakarta Pusat, tempat tinggal keduanya hanya terpisah kurang dari satu kilometer. Balai Kota, tempat Jokowi berkantor sejak Oktober tahun lalu, juga bisa dicapai hanya dalam sepuluh menit bermobil dari kawasan itu. Tak ada yang boleh mengganggu jika keduanya bertemu—biasanya berjam-jam di meja makan atau ruang tamu. "Mereka intens berdiskusi," kata Mindo Sianipar, Ketua Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Sesekali Mega mengundang tokoh lain bergabung.
Tapi bukan karena dekatnya jarak jika komunikasi mereka semakin erat. Semua berhubungan dengan persiapan menuju pemilihan presiden tahun depan. Seorang politikus senior partai itu menyebutkan, pada pertemuan-pertemuan ini, Mega menyiapkan Jokowi menjadi calon presiden. Seperti bimbingan belajar, Mega menceritakan pengalamannya dulu berdiplomasi ke luar negeri ketika menjadi presiden pada 2001-2004. Ia juga menuturkan cara bertemu dengan duta besar negara lain.
Megawati, 66 tahun, belajar dari kekalahan. Kepada orang-orang terdekatnya, ia selalu mengingatkan tiga kali kekalahannya ketika mengikuti pemilihan presiden. Pada 1999, dalam pemilihan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, ia dikalahkan Abdurrahman Wahid, yang disorongkan Poros Tengah, kelompok politik gagasan Amien Rais. Pada pemilihan presiden langsung, 2004 dan 2009, Mega ditaklukkan Susilo Bambang Yudhoyono. "Saya sudah sepuh dan tiga kali kalah," begitu ia sering berkata.
Pada saat yang hampir sama, popularitas Jokowi terus melesat seperti roket. Ia selalu unggul dalam pelbagai hasil jajak pendapat delapan bulan terakhir. Dalam survei internal Partai Banteng, Jokowi semakin jauh meninggalkan elektabilitas—tingkat kemungkinan terpilih—bosnya. Tak ada pilihan lain, Mega serius menyiapkan penggantinya. Jokowi juga diminta mempercepat eksekusi program-program unggulan di Ibu Kota.
PARTAI berlambang banteng bermulut putih ini tidak buru-buru mendeklarasikan Jokowi sebagai calon presiden. Rapat kerja nasional partai itu, yang berlangsung akhir pekan lalu di Ancol, Jakarta Utara, hanya menyebutkan kriteria-kriteria. Kata Djarot Saiful Hidajat, ketua panitia pengarah rapat, calon presiden partainya "bersuku Jawa dan pernah memimpin daerah"—kriteria yang terang-terangan merujuk pada Jokowi.
Ketika membuka rapat, Megawati mengatakan calon presiden dari partainya akan ditetapkan pada agenda lain. "Tak akan pernah ada calon presiden dari PDI Perjuangan kecuali kita bisa mengamankan 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara nasional," ujarnya. "Inilah prioritas kita sekarang." Angka itu merupakan tiket pencalonan presiden dan wakil presiden.
Tetap saja, untuk Jokowi disediakan "panggung besar". Dalam pembukaan rapat yang dihadiri pengurus pusat, provinsi, kabupaten, kota, plus anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dari partai itu, ia ditunjuk menjadi pembaca Dedication of Life yang ditulis Sukarno. "Kebahagiaanku ialah dalam mengabdi kepada Tuhan, kepada Tanah Air, kepada bangsa. Itulah dedication of life-ku," Jokowi membacakan teks yang ditulis pada 10 September 1966 itu.
Mega menjelaskan alasannya menunjuk Jokowi. Ia mengatakan Jokowi merupakan "penerus Sukarno". Ia buru-buru menambahkan, penerus ayahnya bukan hanya Jokowi, melainkan semua kader Partai Banteng, terutama para gubernur yang memimpin daerah. "Saya yakin di tangan mereka kelak kita akan mengalami Indonesia yang lebih baik," katanya.
Dalam hitungan Mega, seperti dikatakan seorang pembantu politiknya, Jokowi akan mendongkrak suara partainya. Kemampuan mantan Wali Kota Solo itu mengatrol perolehan suara Ganjar Pranowo dalam pemilihan Gubernur Jawa Tengah, Mei lalu, dianggap sebagai catatan sukses. Jokowi juga selalu disambut meriah ketika diperintahkan Mega berkampanye untuk calon PDI Perjuangan pada pemilihan kepala daerah.
Ketika berkampanye untuk pasangan Bambang D.H.-Said Abdullah pada pemilihan Gubernur Jawa Timur, Agustus lalu, misalnya, Jokowi malah jadi bintang. Di Pasar Besar Ngawi, pengunjung berteriak-teriak, "Pak Jokowi, calon presiden kita." Memang, kehadirannya tidak mampu mengangkat pamor Bambang D.H., yang hanya menempati urutan ketiga perolehan suara.
Dalam hasil sigi internal partai, dukungan terhadap Jokowi terus meningkat. Pada polling yang mengambil responden kader PDIP di semua cabang pada akhir Juli lalu, Jokowi memperoleh dukungan 60 persen dan Mega hanya 30 persen. Dalam jajak pendapat dengan metode yang sama, dua pekan lalu, dukungan untuk Jokowi melonjak menjadi hampir 80 persen.
Ganjalan justru muncul di kalangan elite. Sebelum rapat kerja nasional dilaksanakan, ada tiga faksi yang berbeda pendapat. Kelompok konservatif ingin Mega tetap maju, berpasangan dengan Jokowi. Faksi lain mengajukan usul agar Jokowi berpasangan dengan Puan Maharani, Ketua Fraksi PDIP Dewan dan putri Mega. Nama Puan diajukan juga oleh pengurus dari Jawa Tengah. Suara lain menginginkan Jokowi berduet dengan calon dari partai lain.
Faksi-faksi itu bersilang pendapat dalam pertemuan Rabu pekan lalu, dua hari sebelum rapat kerja nasional dibuka. Mereka yang belum setuju Jokowi maju dan tetap mendukung Megawati mengusulkan daerah diberi kesempatan mengajukan nama-nama. Usul ini ditolak, dan mereka sepakat hanya membahas kriteria. Meski begitu, panitia tidak akan melarang jika daerah-daerah menyebut nama calon presiden. Seperti biasa, dalam rapat itu Mega tak banyak bicara.
Di luar rapat-rapat, Megawati telah bergerak jauh. Ia menimbang-nimbang tokoh lain untuk menjadi pendamping Jokowi. Menurut seorang politikus senior, calon wakil presiden harus bisa menutupi kelemahan Jokowi. Demi mencari calon idaman, Mega telah bertemu dengan sejumlah politikus. Di antaranya mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud Md., yang telah dua kali diundang—ke rumah Mega dan kantor pusat PDI Perjuangan.
Orang dekat Mega menyebutkan pertemuan itu dilakukan untuk menjajaki kemungkinan Mahfud berpasangan dengan Jokowi. "Figur Mahfud yang berasal dari kalangan Nahdlatul Ulama sangat diperhitungkan," ujarnya.
Mahfud membenarkan telah bertemu dengan Megawati. Namun ia membantah kabar bahwa pertemuan itu berkaitan dengan pemilihan presiden 2014. Ia mengaku hadir bersama sejumlah profesor hukum membicarakan cara menata negara dari aspek hukum. "Kami tak berbicara soal calon presiden," kata politikus Partai Kebangkitan Bangsa ini.
Menemukan kemungkinan jalan di rumah PDI Perjuangan, Mahfud memutuskan tidak mengikuti konvensi calon presiden dari Partai Demokrat. Datang ke komite konvensi, dua pekan lalu, ia menyampaikan surat penolakan. Segera setelah itu, ia memperkuat posisi politiknya. Pekan lalu, Menteri Pertahanan kabinet Abdurrahman Wahid ini berkeliling ke sejumlah kota di Jawa Tengah.
Kamis siang pekan lalu, ia berbicara di depan seribu warga Nahdlatul Ulama dan kader Partai Kebangkitan Bangsa di pelataran Pondok Pesantren Edi Mancoro, Gedangan, Tuntang, Kabupaten Semarang. Bertajuk "Safari Kebangkitan Majelis Silaturrahim Ulama Rakyat", acara Partai Kebangkitan Bangsa ini juga dihadiri mantan Ketua Umum Pengurus Besar NU Hasyim Muzadi.
Mahfud mengatakan visi politiknya tidak sama dengan Partai Demokrat. "Kalau saya mengikuti konvensi Partai Demokrat, akan ditertawai orang," ujarnya, yang disambut tepuk tangan hadirin. Kepada Tempo yang mewawancarainya seusai acara, Mahfud menyebutkan Taufiq Kiemas pernah memintanya berkoalisi dengan PDI Perjuangan. "Saya tertawa saja," katanya.
Di kesempatan lain, Megawati juga bertemu dengan mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani, ketika Direktur Bank Dunia itu kembali ke Tanah Air, tiga pekan lalu. Pertemuan ini dihadiri mantan Menteri Perindustrian Rini Soewandi. Sejumlah sumber menyatakan pertemuan mereka berjalan akrab setelah Megawati mengetahui latar belakang keluarga Sri Mulyani dari Partai Nasional Indonesia pimpinan Sukarno.
Mantan wakil presiden Jusuf Kalla juga dua kali diundang Megawati, sebelum dan sesudah Lebaran. Kepada Tempo, ia membenarkan adanya pertemuan itu, tapi menolak menjelaskan materi pembicaraannya. Ditanya tentang kemungkinan berpasangan dengan Jokowi, mantan Ketua Umum Partai Golkar ini mengatakan, "Itu kewenangan PDIP dan Ibu Mega, tak enak mendahului." Ia menambahkan, perkembangan politik itu dinamis.
Hingga Jumat pekan lalu, Megawati tidak bersedia diwawancarai untuk menjelaskan sikapnya tentang pencalonan Jokowi. Meski begitu, para pembantu politiknya memastikan pencalonan Jokowi tidak akan diumumkan dalam waktu dekat. Alasannya: menjaga sang kandidat dari serangan lawan-lawan politik.
Serangan itu, menurut Sekretaris Jenderal Tjahjo Kumolo, mulai dirasakan pada hari-hari terakhir. Salah satu bentuknya, kata dia, ada sejumlah partai yang berusaha mendikte PDIP agar segera mengumumkan jagonya. "Padahal itu adalah hak mandiri partai. Saya kira tidak etis kalau ada partai politik yang mengurusi partai lain," ujarnya.
Adapun Partai Gerindra justru menyatakan harapan agar Jokowi tidak mencalonkan diri. Sekretaris Jenderal Ahmad Muzani mengingatkan kontrak politik antara PDIP dan partainya yang dibuat pada 2009. Kontrak itu dibuat ketika kedua partai berkoalisi mengusung Megawati dan Prabowo Subianto, Ketua Dewan Pembina Gerindra, pada pemilihan presiden empat tahun lalu. Kontrak juga dibuat ketika kedua partai kembali berkoalisi mengajukan Jokowi dan Basuki Tjahaja Purnama dalam pemilihan Gubernur DKI 2012. "Kami hanya mengingatkan, pemimpin harus konsisten," kata Muzani.
Kontrak politik 2009 berisi tujuh poin. Diteken di Batutulis, Bogor, oleh Mega dan Prabowo sehari sebelum mereka mendaftarkan diri ke Komisi Pemilihan Umum, satu poin kontrak menyatakan kesediaan Megawati mendukung Prabowo Subianto pada pemilihan presiden 2014. Klausul lain mengatur rumusan pembiayaan kampanye dan saksi pada pemilihan presiden 2009.
Menurut beberapa politikus PDIP, Megawati menganggap kesepakatan itu telah dilanggar seusai pemilihan 2009. Contohnya pembiayaan kampanye dan saksi yang ternyata tidak dipenuhi Gerindra. "Kami harus menanggung pembayaran hingga tiga tahun," ujar seorang politikus senior. Soal lain, kontrak dibuat dengan asumsi koalisi memenangi pemilu. "Tidak ada penjelasan kalau kalah."
Ditanya soal wanprestasi partainya, Wakil Ketua Umum Gerindra Fadli Zon tak mau berkomentar banyak. "Tidak ada itu," katanya. "Saya tak mau berkomentar."
KETIKA membuka rapat kerja nasional, Jumat pekan lalu, Megawati menceritakan peristiwa malam sebelumnya. Kata dia, ada tiga tamu datang ke rumahnya. Mereka Gubernur Kalimantan Barat Cornelis, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, dan Gubernur Joko Widodo—tiga kepala daerah yang berasal dari partai itu.
Mereka, kata Mega, tak pulang-pulang hingga larut malam. Berulang kali Megawati menguap dan melirik jam tangannya. Namun ketiga tamu yang duduk meriung tak menyadari isyarat itu. Tak tahan lagi, Megawati berterus terang. "Saya akhirnya bilang: sudah sana pulang! Saya mau rakernas pagi-pagi," ia menuturkan, disambut tawa 1.500-an kader yang hadir di Eco Park Ancol itu.
Sesungguhnya, bagi Jokowi, peristiwa yang diceritakan Mega itu merupakan kedatangan keduanya pada hari yang sama di rumah sang Ketua Umum. Pada siang harinya, ia telah makan dan berdiskusi berdua dengan tuan rumah. Mendekati 2014, rumah besar di Jalan Teuku Umar, Menteng, itu menjadi rumah kedua bagi Jokowi.
Widiarsi Agustina, Rusman Paraqbueq, Wayan Agus, Sundari, Arief Rizky, Sohirin, Shinta Maharani, Nofika Dian, Yohanes Seo
Ujung Jalan Kering Satu Dasawarsa
SEPULUH tahun berada di luar pemerintahan, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan bertekad merebut kembali kekuasaan eksekutif tahun depan. Gubernur Jakarta Joko Widodo besar kemungkinan akan menjadi "penunggang banteng", berusaha menggaet kursi presiden.
Mendadak Dukungan
2009
PDIP dan Partai Gerindra berkoalisi mengusung Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto dalam pemilihan presiden. Pasangan ini memperoleh 26,79 persen suara, jauh di bawah pemenang, Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono, dengan 60,80 persen.
2010
5-9 April
Kongres PDIP di Bali memberi mandat kepada Ketua Umum Megawati Soekarnoputri untuk menentukan calon presiden 2014.
2011
12-14 Desember
Rakernas I PDIP di Bandung tetap menyerahkan urusan pencalonan presiden dan wakil presiden 2014 kepada Ketua Umum.
2012
19 Maret
Koalisi PDIP dan Gerindra mengajukan Jokowi-Basuki sebagai pasangan calon gubernur dan wakilnya di pilkada DKI.
9 April
Taufiq Kiemas menyarankan Ketua Umum PDIP Megawati tidak maju lagi dalam pemilihan presiden pada 2014. Taufiq minta istrinya melakukan regenerasi.
10 Juli
Taufiq Kiemas lagi-lagi minta Megawati, istrinya, tak mencalonkan diri menjadi presiden. Ia minta Ketua Umum PDIP itu melakukan regenerasi.
20 September
Duet Jokowi dan Ahok menang dalam putaran kedua pemilihan Gubernur DKI.
12-14 Oktober
Rakernas II PDIP di Surabaya tak membahas calon, tapi lebih pada strategi pemenangan pemilihan umum.
20 Oktober
Jokowi dan Ahok dilantik sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DKI.
2013
11 Februari
Taufiq Kiemas melarang Megawati maju pada pemilihan presiden 2014 dan cukup menjadi king maker.
18 Maret
Taufiq meminta Joko Widodo tidak mencalonkan diri jadi presiden dan berkonsentrasi memimpin Jakarta.
Februari-Juli
Joko Widodo unggul di berbagai lembaga survei calon presiden.
Centre for Strategic and Internasional Studies (CSIS)
Lembaga Survei Indonesia (LSI)
28 Mei
Popularitas Jokowi meroket. Puan Maharani melontarkan sinyal, saatnya PDIP mencari anak muda.
6-8 September
Rakernas PDIP di Ancol mengakomodasi nama calon presiden yang diusulkan daerah. Suara untuk Jokowi menguat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo