Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Dari Pura Lalu ke Senayan

Komisi Pemberantasan Korupsi menelisik dugaan korupsi di proyek kartu tanda penduduk elektronik. Duit pelicin ditengarai mengalir lewat perusahaan subkontrak.

9 September 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERTEMUAN yang dirancang sejak jauh-jauh hari itu berlangsung di Swissotel The Stamford, Singapura, Kamis pagi pekan keempat Agustus lalu. Hari itu, Paulus Tannos mengikat janji bertemu dengan beberapa petugas Komisi Pemberantasan Korupsi yang khusus datang dari Jakarta.

Petugas KPK yang terdiri atas penyelidik dan penyidik sudah menunggu Paulus di lobi hotel. Mengambil sebuah meja di restoran hotel mewah itu, pertemuan khusus ini dimulai. "Mereka banyak bertanya soal proyek e-KTP," kata pemilik PT Sandipala Arthaputra, salah saat anggota konsorsium penggarap proyek e-KTP atau kartu tanda penduduk elektronik, itu kepada Tempo.

Lelaki berambut putih ini bermukim di Singapura setelah masuk daftar pencarian orang Markas Besar Kepolisian RI. Sebelumnya, dia menjadi tersangka kasus penipuan dan penggelapan atas laporan Andi Winata dan Jack Budiman, anak dan orang dekat taipan Tomy Winata. Bersama istri dan putri tunggalnya, Paulus meninggalkan Indonesia pada Juli 2012.

Pertemuan itu menjadi petunjuk penting bahwa KPK mulai mengusut dugaan korupsi megaproyek senilai Rp 5,9 triliun ini. Perkara ini semakin mencuat setelah Muhammad Nazaruddin, mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, membeberkan tuduhan adanya aliran dana miliaran rupiah ke sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat saat mengegolkan anggaran proyek yang digelar Kementerian Dalam Negeri itu.

Menurut Nazaruddin, fulus pelicin senilai masing-masing US$ 500 ribu diterima sejumlah anggota DPR, di antaranya Chairuman Harahap, Ganjar Pranowo, Arif Wibowo, dan Saan Mustopa. Umumnya, legislator yang disebut terpidana korupsi suap Wisma Atlet itu adalah pemimpin dan anggota Komisi Pemerintahan DPR, yang menjadi mitra kerja Kementerian Dalam Negeri.

Selain ke Senayan, Nazaruddin menuding Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi dan adiknya menerima upeti dari proyek ini. Fulus itu ada yang diterima secara langsung dan ada yang lewat pejabat eselon satu kementerian. "Proyek ini dikendalikan Setya Novanto dan Anas Urbaningrum. Saya ikut di dalamnya," ujarnya.

Kendati Nazaruddin menyebutkan telah menyerahkan setumpuk bukti ke KPK, seorang sumber mengatakan tidak ada keterangan signifikan yang dia sampaikan. Informasi yang diberikan hanya keterangan lisan soal aliran-aliran dana dari proyek itu. "Tidak detail," katanya.

Gamawan meradang oleh tuduhan itu. Mantan Gubernur Sumatera Barat ini melaporkan Nazaruddin ke Kepolisian Daerah Metro Jaya dengan tuduhan pencemaran nama baik. "Saya berharap kasus ini bisa berlanjut ke pengadilan," ujarnya. "Sehingga Nazaruddin betul-betul bisa membuktikan semua tuduhan itu."

Ganjar Pranowo, mantan Wakil Ketua Komisi Pemerintahan DPR, yang sekarang menjadi Gubernur Jawa Tengah, juga membantah. Ganjar menantang Nazaruddin membuktikan tudingan bahwa dia menerima uang. "Tunjukkan siapa yang kasih uang ke saya," katanya. Sangkalan serupa datang dari politikus lain yang juga disebut menerima uang.

Ketua KPK Abraham Samad mengatakan informasi Nazaruddin menjadi bahan bagi lembaganya untuk bergerak mengusut korupsi di proyek e-KTP. "Kami akan mendalami," ujarnya.

1 1 1

MULAI menguliti laporan masyarakat perihal dugaan korupsi e-KTP pada akhir 2012, KPK menggenjot pengusutan kasus sejak pertengahan Juli lalu. Sumber Tempo menyebutkan KPK membentuk tim khusus guna mencari bukti. "Tim ini terdiri atas beberapa orang penyelidik dan penyidik," katanya.

Sumber tadi mengatakan gerak cepat KPK mengusut ini juga bermula dari temuan saat penyidik perkara simulator kemudi melakukan penggeledahan kantor dan pabrik PT Pura Barutama di Kudus, Jawa Tengah, 15 Februari lalu. Ketika itu, sepuluh penyidik yang mencari berbagai bukti soal suap yang diterima Djoko Susilo menemukan adanya percetakan blangko e-KTP.

Berangkat dari temuan di pabrik, penyidik bergerak ke kantor Pura. Menurut sumber tadi, sejumlah dokumen perusahaan yang disita KPK berisi catatan keuangan perusahaan. Catatan ini menunjukkan adanya aliran dana "gelap" dari proyek tersebut. "Dokumen yang diperoleh di Pura menjadi petunjuk penting bagi KPK," ujarnya.

Manajer Hubungan Masyarakat Pura Barutama, Hamidin, menolak memberikan keterangan tentang penggeledahan dan subkontrak pencetakan e-KTP. "Saya tidak bisa memberi jawaban karena butuh diskusi lebih dulu dengan pimpinan," katanya kepada Bandelan Amarudin dari Tempo, Kamis pekan lalu.

Pura sejatinya tidak masuk konsorsium pemenang tender penggarap proyek e-KTP. Dua perusahaan percetakan surat berharga yang mendapat mandat adalah Sandipala Arthaputra dan PT Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI). Mereka kebagian tugas mencetak 172 juta keping e-KTP, dari blangko kartu hingga personalisasi data. Pada kontrak 26 Juli 2011, Sandipala kebagian mencetak 103,4 juta kartu atau 60 persen pekerjaan. Jatah PNRI 40 persen.

Belakangan, Paulus disebut-sebut diminta menyisihkan sepuluh persen dari pendapatan jasa pencetakan e-KTP sebagai "biaya komitmen", yang akan dibagikan ke sejumlah politikus Senayan yang berjasa mengegolkan anggaran proyek ini. Beberapa pertemuan di kediaman Ketua Fraksi DPR Partai Golkar Setya Novanto dan kantornya di lantai 20 gedung Equity Tower, Jakarta, membahas soal upeti itu. Namun Paulus menolak permintaan ini.

Belakangan, pada 19 Desember 2011, Kementerian Dalam Negeri menggelar pertemuan dengan semua anggota konsorsium, kecuali Sandipala. Dari konsorsium, ada Isnu Edhi Wijaya (PNRI), Anang Sudihardjo (PT Quadra Solution), Wahyuddin (PT Len Industri), dan Arief Safari (PT Sucofindo). Paulus tak diundang.

Kementerian diwakili antara lain oleh Sekretaris Jenderal Kementerian Diah Anggraeni dan pejabat pembuat komitmen, Sugiharto. Pertemuan berlangsung di ruangan Diah dan menghasilkan kesepakatan sepihak. Porsi pekerjaan Sandipala diturunkan jadi 60 juta kartu, atau sekitar 35 persen, sedangkan porsi PNRI bertambah jadi 112 juta keping.

Pengurangan kuota pekerjaan berarti pengurangan nilai kontrak. Dengan mengerjakan 60 persen pencetakan kartu, Sandipala semestinya kebagian Rp 1,63 triliun. Setelah porsi pekerjaan berkurang menjadi 35 persen, Sandipala hanya menerima Rp 950 miliar.

Menurut Isnu Edhi Widjaja, Direktur Utama PNRI ketika itu, pekerjaan limpahan dari Sandipala sepenuhnya dikerjakan perseroan. "Kami telah membeli mesin baru dari Jerman," katanya kepada Tempo, Maret lalu.

Sebaliknya, menurut sumber lain di konsorsium, pekerjaan itu tidak digarap PNRI, tapi disubkontrakkan ke Pura Barutama dan satu perusahaan security printing di Semarang, yang diduga "dekat" dengan seorang pejabat Kementerian Dalam Negeri.

Menurut dia, subkontrak pekerjaan ini lazim dalam praktek korupsi, yakni mengambil "margin gelap" dari proyek pemerintah. Sebab, jika mengutil langsung dari pemenang tender, pasti akan mudah terlacak Badan Pemeriksa Keuangan. "Apalagi kalau itu perusahaan negara," ujar sumber tadi.

Menteri Gamawan mengaku tidak mengetahui adanya subkontrak pencetakan kartu. Dia berdalih, kementeriannya hanya membuat kontrak dengan PNRI sebagai pemenang tender. "Kalau ada subkontraktor spesialis, itu urusan konsorsium," katanya.

Adapun Andres Ginting, Ketua Manajemen Bersama Konsorsium PNRI, membenarkan adanya subkontraktor spesialis dalam percetakan kartu. Menurut dia, langkah itu tidak menyalahi Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. "Namun siapa saja yang menjadi subkontraktor spesialis tidak bisa kami buka," ujarnya.

Paulus Tannos mengaku tidak tahu soal permainan dalam subkontrak pencetakan e-KTP. Dia mengatakan harga yang dibayarkan negara kepada Sandipala sesuai dengan kontrak adalah Rp 12 ribu per blangko. "Tinggal dicek di pembukuan perusahaan yang mendapat pekerjaan," katanya. "Kalau lebih murah, berarti ada biaya-biaya untuk pihak lain."

Setri Yasra, Galvan Yudistira (Jakarta), Rofiuddin (Semarang)


Mega-Proyek, Mega-Masalah
Dimulai pada 2011, proyek kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) senilai Rp 5,8 triliun selalu dirundung persoalan.

Profil

Nama: KTP berbasis nomor induk kependudukan secara nasional (e-KTP)
Pemberi proyek: Kementerian Dalam Negeri
Waktu: 1 tahun 6 bulan (2011-2012)
Anggaran: Rp 5,9 triliun

Pelaksana proyek:

  • PT Percetakan Negara Republik Indonesia (pencetakan)
  • PT LEN Industri (alih teknologi, AFIS)
  • PT Quadra Solution (hardware, software)
  • PT Sucofindo (bimbingan teknis)
  • PT Sandipala Arthaputra (pencetakan)

Jejak Masalah

Juni
Konsorsium Percetakan Negara Republik Indonesia diumumkan sebagai pemenang. Anggotanya: PT Percetakan Negara RI, PT Sucofindo, PT Sandipala Arthaputra, dan PT Quadra Solution.

Agustus
Direktorat Jenderal Administrasi Kependudukan menyatakan uang muka hanya akan dibayarkan jika konsorsium menyerahkan jaminan.

September
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyelidiki kejanggalan tender.

Januari
Mulai terjadi sengketa antara Sandipala dan Oxel, perusahaan milik Andi Winata.

13 Maret
Jack Budiman melaporkan Paulus dan putrinya, Catherine, ke Kepolisian Daerah Metro Jaya.

Mei
Paulus dan Catherine ditetapkan sebagai tersangka.

6 Juli
Paulus dan Catherine masuk daftar pencarian orang Interpol.

14 November
KPPU memutuskan adanya persekongkolan tender e-KTP.

7 Maret
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat membatalkan putusan KPPU.

1 Agustus
Nazaruddin membeberkan adanya aliran uang ke DPR dalam proyek e-KTP.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus