Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ratusan lonjor kontainer bertumpuk dalam palka kapal motor Meratus Batam yang tambat di Dermaga Nilam, Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, Kamis siang pekan lalu. Menggunakan container crane, satu per satu kontainer dikeluarkan dari palka alias ruang penyimpanan kapal. Berangkat dari Pelabuhan Belawan, Medan, Meratus Batam mengangkut 491 kontainer. Rinciannya: ada 426 kontainer berukuran 20 kaki dan 65 kontainer ukuran 40 kaki.
Menurut kapten KM Meratus Batam, ÂWahyudi, sejatinya kapal Meratus membawa 910 kontainer. Namun kapal ini terpaksa hanya diisi separuh lebih sedikit dari kapasitas angkut. Penyebabnya di dasar laut Alur Pelayaran Barat Surabaya (APBS) ada titik-titik persilangan pipa gas eks Kodeco. "Sesuai dengan pemberitahuan syahbandar, kedalaman di APBS hanya 9,5 meter. Itu sebabnya kami harus menyesuaikan badan kapal yang masuk ke dalam air dengan angkutan yang dibawa," katanya kepada Tempo saat ditemui di kabin kapal, Kamis pekan lalu.
Semakin banyak muatan dan isinya, badan kapal akan semakin dalam menuju dasar laut. Jika soal muatan ini diabaikan, kapal terancam kandas atau menghantam pipa gas eks Kodeco. Saat memasuki alur pelayaran ini, menurut Wahyudi, badan kapal yang masuk ke dalam air laut—lazim disebut draught—tercatat sedalam 8,4 meter. Ini masih di atas batas kedalaman 9,5 meter dari permukaan air laut saat surut (mean low water spring).
Keberadaan pipa gas eks Kodeco yang memotong Alur Pelayaran Barat Surabaya merupakan masalah laten yang tak kunjung beres. Kodeco—lengkapnya Kodeco Energy—adalah pengelola blok minyak dan gas di lepas pantai barat Madura (West Madura Offshore) sebelum diambil alih Pertamina Hulu Energi per 7 Mei 2011. Kodeco menjadi operator blok West Madura Offshore setelah meneken kontrak kerja sama pada 7 Mei 1981.
Secercah harapan soal penanganan pipa gas eks Kodeco ini sempat muncul saat digelar rapat kecil oleh Tim Ekonomi Sekretariat Wakil Presiden di Ruang Bromo, lantai 5, kantor PT Pelindo III, Surabaya. Rapat yang berlangsung menjelang magrib pada akhir Juli 2013 itu dipimpin Deputi Sekretariat Wakil Presiden Tirta Hidayat. Wakil dari PT Pelabuhan Indonesia III (Persero), Pertamina Hulu Energi, PT Pertamina (Persero), Kementerian Perhubungan, serta Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) datang dalam rapat ini. Agendanya jelas: membahas sengkarut lalu lintas laut di Alur Pelayaran Barat Surabaya di Selat Madura sebagai pintu masuk Pelabuhan Tanjung Perak.
Menurut Edi Priyanto, juru bicara PT Pelindo III, semua peserta rapat sepakat relokasi pipa eks Kodeco dan revitalisasi alur pelayaran wajib segera dikerjakan. Bahkan Pertamina Hulu Energi berjanji relokasi pipa mulai digarap awal Agustus 2013, meski tanpa merinci tanggal. "Saya punya bukti rekamannya. Siapa yang mau menyanggah," kata Edi kepada Tempo, Selasa pekan lalu.
Relokasi pipa ini sangat penting bagi Pelindo III. Sebab, sebagai Badan Usaha Pemrakarsa Pengembangan dan Pengelola Alur Pelayaran Barat Surabaya, mereka hendak memperdalam dan melebarkan alur pelayaran tersebut. Sejak awal 2013, perseroan menargetkan pengerjaan proyek ini akan dimulai September 2013.
Saat ini panjang APBS sekitar 25 mil laut (setara dengan 46 kilometer), lebar 100 meter, dan berkedalaman 9,5 meter dari permukaan air laut saat surut. Jika revitalisasi berjalan mulus, panjang alur tetap 25 mil laut, tapi lebarnya menjadi 150 meter dan kedalaman menjadi 13 meter. Dengan asumsi seperti ini, kapasitas pergerakan kapal diharapkan bisa didongkrak menjadi 56 ribu pergerakan per tahun (moves/year). Yang lebih menarik, kapal dengan berat 60 ribu bobot mati (DWT) atau jenis kapal Panamax bisa berlabuh.
Agar mimpi itu menjadi kenyataan, mau tak mau proyek memperdalam dan melebarkan Alur Pelayaran Barat Surabaya tak bisa ditunda-tunda. Apalagi lalu lintas kapal di alur pelayaran ini sudah melampaui kapasitas. Aslinya kapasitas pergerakan kapal dirancang 27 ribu pergerakan per tahun dengan bobot kapal maksimal yang melintas adalah 40 ribu DWT. Kenyataannya, pergerakan kapal sudah mencapai 41.248 ribu pergerakan per tahun.
Dengan kondisi seperti itu, Edi Priyanto menegaskan, Alur Pelayaran Barat Surabaya saat ini tidak efektif dan efisien lagi bagi pelayaran internasional, yang biasa mengangkut belasan ribu twenty-foot equivalent unit (Teus, sebutan untuk peti kemas ukuran 20 kaki; peti kemas 40 kaki setara dengan 2 Teus) peti kemas. Walhasil, kapal-kapal kargo internasional dari dan menuju Tanjung Perak kerap sandar di Ciwandan, Banten, untuk melakukan bongkar-muat peti kemas. Harap maklum, kapasitas maksimal angkut kapal yang ditoleransi melalui Alur Pelayaran Barat Surabaya adalah 2.000 Teus.
Ketua Dewan Pengurus Cabang Indonesia National Shipowner's Association Provinsi Jawa Timur Stenvens H. Lesawengen sependapat dengan Edi. Persilangan pipa gas eks Kodeco, yang kini dimiliki Pertamina Hulu Energi, membuat perusahaan pelayaran tak maksimal menjalankan bisnis. "Ada potensi kerugian yang harus ditanggung pelayaran," ucapnya.
Sekadar gambaran, asumsi biaya peti kemas rute Surabaya-Tokyo senilai US$ 400 per Teus dan daya angkut kapal bisa 6.000 Teus. Namun kapal hanya mampu mengangkut 1.500 Teus dari Surabaya. Padahal memaksimalkan kapasitas muat kapal bisa mendulang keuntungan berlipat. "Artinya ada 4.500 Teus yang hilang, tidak efisien," kata Stenvens.
Agar potensi kerugian bisa ditekan, proyek pendalaman dan pelebaran Alur Pelayaran Barat Surabaya harus segera dilakukan. Sebelum proyek itu bisa dimulai, tentu pipa eks Kodeco mesti lebih dulu dipindahkan. Saat ini ada tiga titik persilangan (crossing) pipa yang memotong di sepanjang APBS, yang memanjang hingga 27 mil laut dan membujur ke arah utara-selatan. Dihitung dari Pelabuhan Tanjung Perak atau 0 mil laut, persilangan itu berada di titik 5 mil, 18 mil, dan 24 mil laut.
Menurut Pelindo III, persilangan pipa gas di titik 18 mil dan 24 mil laut yang harus dipotong karena lautnya dangkal. Setelah dipotong, pipa digeser ke timur Pulau Karang Jamuang mendekati pesisir Madura, Kabupaten Bangkalan. Pipa itu akan ditanam tiga meter dari dasar laut. Sedangkan persilangan di titik 5 mil laut dinilai aman karena berada pada kedalaman 20 meter dari permukaan air laut saat surut.
Jika pendalaman dan pelebaran berjalan mulus, ambisi Pelindo III memaksimalkan kapasitas Terminal Multipurpose Teluk Lamong akan tercapai. Terminal yang merupakan proyek perluasan Pelabuhan Tanjung Perak dan menelan investasi Rp 3,4 triliun ini akan menjadi tulang punggung arus perdagangan barang internasional. Rencananya terminal mulai beroperasi pada April 2014. "Relokasi pipa gas butuh waktu minimal enam bulan," kata Edi. "Sedangkan revitalisasi APBS memerlukan tempo delapan bulan."
Sayangnya, harapan Edi tampaknya masih jauh panggang dari api. Sebab, General Manager Pertamina Hulu Energi Bambang Kardono berkukuh tak pernah menjanjikan merelokasi pipa pada awal Agustus 2013. Menurut dia, kasus yang membelit Kepala SKK Migas Rudi Rubiandini juga mempengaruhi proses tender yang tengah digelar untuk urusan pipa ini.
Bila SKK Migas sudah menentukan pemenangnya, ia menjamin Pertamina segera menyusun kontrak kerja dengan pelaksana proyek. Nantinya Pertamina Hulu Energi dan Kodeco akan menanggung anggaran relokasi pipa. Menurut Bambang, penyusunan kontrak kerja hanya butuh waktu dua minggu sejak SKK Migas menunjuk pemenang tender. Repotnya, hingga saat ini, ia mengaku belum menerima keputusan dari SKK Migas.
Endri Kurniawati, Diananta P. Sumedi, Dwi Wiyana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo