Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Di Pati Tayub Tak Mati

Menanggap tayub lebih asyik ketimbang menanggap dangdut dan layar tancap. Meski banyak aturan baru, tetap tak kalah hot.

29 Juni 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BUKU itu penuh coretan. Kertasnya juga tak licin lagi. Bahkan beberapa halaman terlipat-lipat, keriting ujungnya, persis catatan tukang kredit. Saking seringnya dibolak-balik—dan diberi "catatan pinggir" di sana-sini—beberapa helai kertasnya pun tanggal melayang. Tapi jangan pandang enteng: buku ini lumayan sakti. Tak sedikit orang yang datang ke rumah pemiliknya mendadak kecewa setelah melihat isi buku itu. Kegembiraan dan kebanggaan orang berduit di sekitar Pati, Jawa Tengah, sering ditentukan oleh buku yang selalu berada dalam genggaman Adi Ruswanto itu. Dalam buku inilah Ruswanto, 40 tahun, mencatat jadwal pertunjukan istrinya, Sutinah, satu di antara ledek—alias penari tayub—paling sohor di seantero Pati. Bila tak ada jadwal, atau orang terlambat mendaftar, maaf saja, Tinah tak bisa ditanggap! Bayangkanlah kesibukan Ruswanto, yang berperan sebagai manajer sang istri. Saban bulan setidaknya tercatat 20 panggilan mentas. Untuk bulan Juli ini saja, misalnya, sudah tercantum—ya, dalam buku kumuh tadi—delapan undangan naik panggung. Satu di antaranya dari Tuban, Jawa Timur, ratusan kilometer dari Pati. "Bahkan pernah dalam sebulan saya tak sempat beristirahat," kata Tinah, 31 tahun, sang primadona. "Tiap malam harus main terus," ia menambahkan dengan gaya sedikit manja. Bukan kebetulan Sutinah laris. Katakanlah, dia memang memiliki syarat lengkap ledek favorit. Parasnya ayu, sedikit mirip bintang sinetron Desy Ratnasari. Bodinya juga berani bertarung dengan bintang kalender: langsing berisi. Jika pinggulnya mulai bergoyang, ditambah lirikan mata dan senyum menggoda, aduhai, sulit mengajak pulang para pengunjung pesta. Berhasil menanggap Sutinah dalam acara hajatan merupakan gengsi tersendiri. Berbeda dengan di daerah lain seperti Banyumas atau Nganjuk, pamor tayub di Pati masih berkibar-kibar. Jadwal manggung Sutinah—dan bintang ledek lainnya—yang padat hanya satu bukti. Kabupaten ini punya stok ledek berjibun. Menurut Agus Maryanto, Kepala Bagian Kebudayaan Dinas Pendidikan Kabupaten Pati, di daerahnya setidaknya terdapat 100 ledek dan 350 pengrawit. Faktor historis juga ada. Sejak masa lalu, di kabupaten ini, tayub memiliki tempat di hati penduduknya. Apalagi pada 1970-an hingga 1990-an. Ketika itu, hampir tiada hari tanpa pertunjukan tayub. Sebab, bupati yang berkuasa pada masa-masa itu, antara lain Rustam Santiko dan Sunardji, terkenal sebagai penggemar berat tayub. Bagi masyarakat Pati, menanggap tayub jauh lebih mengasyikkan ketimbang menanggap dangdut atau layar tancap. "Ketika itu, setiap orang yang punya hajat berlomba-lomba menanggap tayub," kata Agus, "Tidak hanya masyarakat pinggiran, orang kota juga ikut-ikutan." Ternyata, sampai sekarang, peminat tayub tak pernah surut. Musim tayub biasanya datang bareng musim kawin—sekitar Lebaran Haji—atau ketika banyak penduduk bikin pesta khitanan. Dari instansi pemerintah, rezeki biasanya mengucur di sekitar hari libur nasional. Tayub Pati memang berbeda dengan tarian sejenis dari daerah lain—Blora misalnya. Perbedaannya terletak pada penggarapannya, dari gending sampai tatanan pertunjukan di panggung. Gending tayub Pati lebih cokekan (musiknya lebih keras) ketimbang yang mengalun di daerah Blora. Alhasil, goyangannya pun lebih hot. Pesona itulah yang membuat tayub di sana bisa bertahan dan membuat para prianya keranjingan. Bahkan tak sedikit yang tersungkur di haribaan ledek. Tersebutlah konon Sutjipto, Bupati Pati 1950-an, yang gara-gara bukan main doyannya menari tayub akhirnya jatuh di pelukan seorang ledek. Cuma, kini tayub Pati memang tak seleluasa seperti pada zaman keemasannya dulu. Sudah banyak aturan baru. Jarak antara ledek dan pambeksa—pasangan menarinya—sekarang diatur sekitar setengah meter, tak serapat dulu. Ada juga tata tertib yang "melindungi" para ledek. Demi menghindari hal-hal yang sulit diduga, misalnya, pada saat menari, mereka tidak lagi berkemban, tapi mengenakan kebaya. "Dulu pambeksa biasa memberi tip dengan diselipkan ke dalam kemban atau ke sela beha," Sutinah bercerita, "Sekarang diterima di tangan saja." Toh, itu bukan berarti tayub kehilangan gereget. Bak lampu petromaks pada musim hujan dikerubungi laron, demikianlah setiap tayub digelar. Dipastikan pria tua-muda penuh semangat menghampirinya. Soalnya, masih ada "aksesori" ekstra yang membuat tarian ini teguh bertahan: minuman keras. Memang, seperti mudah diduga, kebesertaan air api ini tak jarang berakhir dengan sesuatu yang jauh dari tari-menari, misalnya adu jotos dan tawuran ala kadarnya. Pengalaman buruk itu pernah dialami Sutinah dan Kuniti, 27 tahun, penari lainnya, ketika ditanggap seorang penduduk di desa tetangganya, beberapa waktu lalu. "Saya paling takut kalau saat menari terjadi perkelahian," kata Tinah, "Biasanya mereka mabuk berebut ledek." Tak aneh jika para ledek lebih suka pambeksa yang sopan, apalagi royal mengumbar tip. Pambeksa model ini pula yang diharapkan para ledek yang masih single bisa diajak sampai ke pelaminan. Entah jadi syarat entah tidak, pria yang jatuh hati pada ledek ini membawa berkah bagi ledek. Seperti kisah Suraji, 54 tahun, guru SD di Brati, Grobogan. Pada 1987, Suraji, yang sudah beristri dengan empat anak, kepincut pada Sujiati, yang saat itu masih berusia 27 tahun. Belakangan, Suraji malah ikut membantu karier istrinya sebagai ledek. Kisah yang sama dialami Adi Ruswanto. Saat bertugas di Kecamatan Puncakwangi, Pati, pada 1999, mantri polisi ini kepincut pada Sutinah. Padahal Ruswanto sudah punya istri dan tiga anak. Akhirnya dia bercerai dan menikahi Tinah. Setelah ketahuan bosnya, lulusan Akademi Pemerintahan Dalam Negeri (sekarang Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri) ini terpaksa turun pangkat menjadi staf kelurahan saja. Tapi, setelah menikah dengan Sutinah, hidupnya malah lebih makmur. Para ledek sendiri sepertinya tak berkekurangan. Ke mana pun pergi, mereka didampingi telepon seluler. Rumah mereka rata-rata bagus, plus perabot yang terbilang luks. Beberapa di antara mereka punya mobil dan hektaran sawah. Sutinah misalnya. Sekarang dia memiliki rumah gebyok dari kayu jati senilai Rp 600 juta dan sawah dua hektare senilai Rp 200 juta. Nasib baik juga mampir ke rumah tangga Suraji-Sujiati dan Harun- Kuniti, yang mengaku berangkat dari nol. Suraji kini punya rumah bagus, mobil van, sawah, dan seperangkat gamelan yang disewakan—total nilainya sekitar Rp 400 juta. Sedangkan Kuniti mengaku baru memiliki rumah, sawah, dan sepeda motor dengan nilai total Rp 200 juta. Dari mana mereka beroleh duit segunung itu? Jangan buru-buru menaruh syak wasangka. Tarif mereka tak bisa disepelekan. Sutinah, misalnya, untuk sekali tanggap bisa dibayar Rp 1,5 juta-Rp 2 juta. Jumlah itu belum termasuk duit saweran atau uang ngepos. Dalam semalam dia bisa melayani permintaan gending khusus dengan nilai saweran Rp 100 ribu per gending. "Semalam terkadang sampai enam gending," tutur Sutinah. Enaknya menjadi ledek membuat banyak perempuan tertarik ke lahan peruntungan ini. Tak jarang pula mereka yang sudah berada di puncak kejayaan berbagi rezeki dengan saudaranya sendiri. Tak perlu waktu lama. Dengan jalan menebeng popularitas pendahulunya, cukup dengan hitungan bulan belajar, mereka pun bisa menjadi ledek favorit. Akibatnya yang kurang menarik adalah persaingan jadi makin ketat. Tak jarang ada beberapa orang yang usil atas sukses seorang ledek. Tinah mengalami hal itu. Ketika ia lagi asyik menggeyol-geyolkan pinggulnya sambil menembang, mendadak suaranya hilang. Suhu badannya panas, tubuhnya gemetar. Bila meludah, keluar darah. Anehnya, bila di rumah berkaraoke, suaranya bagus. Selidik punya selidik, ternyata Tinah sedang dikerjai orang. Berkat bantuan orang "pintar", berangsur sakitnya sembuh. Suaranya bening lagi. "Saya memang lugas. Tidak pakai susuk atau tameng hidup. Hidup saya hanya pasrah kepada Allah," ujarnya. Belajar dari pengalaman itu, kini tiap kali akan berangkat manggung, dia selalu menyempatkan diri melakukan wirid dan membaca surat Al-Fatihah. Berbekal itulah dia tak ragu menyambangi malam untuk menemani pria-pria mabuk yang menari sempoyongan, yang tangan jahilnya sesekali mencolek tubuh Tinah. "Saya akan terus jadi ledek sampai masyarakat tidak membutuhkan," Tinah seperti berikrar. Irfan Budiman, Bandelan Amarudin (Pati)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus