PENARI tayub tak hanya pintar menyanyi dan menari, plus dijadikan obyek pelampiasan berahi kaum lelaki. Ada "tugas suci" ledek yang masih dipercayai masyarakat: penghubung antara manusia dan Sang Pencipta. Cuma, tugas suci ini sering ditinggalkan demi uang dan hiburan.
Di antara sedikit yang masih mempertahankan "kesucian misi"-nya, ada Paguyuban Tayub Lebdorini. Kelompok seni asal Desa Karangsari, Gunung Kidul, Yogyakarta, ini sering diundang masyarakat untuk menggelar tayub pemujaan dewi kesuburan. Mereka menjadi langganan masyarakat sepanjang pantai selatan Yogyakarta, kawasan Dieng, Wonosobo, Jogowangsan, Solo, dan Desa Munthuk, Bantul. Alasannya, kata Tukimin, Kepala Desa Munthuk, "Mereka masih mempertahankan kemurnian. Mereka belum tercemar oleh alat musik lain seperti keyboard." Dia yakin, bila kelompok tayub yang berpentas masih murni, ritual rasulan sebagai ungkapan rasa syukur setelah panen akan sempurna.
Sebelum berangkat nayub, para ledek (penari) Lebdorini harus membawa bedak bayi satu dus. Sebab, bedak ledek oleh masyarakat masih diyakini memiliki kekuatan magis. Di Desa Munthuk, misalnya, tayuban yang diselenggarakan setahun sekali itu juga dihadiri warga desa yang pulang dari merantau. Mereka menyempatkan diri pulang kampung untuk menonton tayuban sambil memohon beragam berkah. Ada yang ingin usahanya lancar, ingin mendapat pekerjaan, menginginkan keturunan, atau agar sapi peliharaannya cepat beranak. Saat ledek beraksi, cerita Tukimin, beberapa orang menghampiri ledek sambil membawa tali besar pengikat sapi. Mereka, katanya, "Meminta ledek mengoleskan bedaknya di tali agar sapinya cepat beranak."
Bedak ledek juga dianggap berdaya sembuh. Di Jogowangsan, Solo, para ibu siap antre untuk memperoleh bedak sang penari, yang dipercayai bisa mengobati "sakit panas" atau batuk anak mereka. Di Dieng, Wonosobo, ketika bedak ledek habis, penari tayub diminta meludah. "Cuh, cuh, cuh…!" Air ludah pun ditampung di telapak tangan untuk dibawa pulang sebagai obat.
Sebelum manggung, para ledek sendiri tak bersiap memberikan pengobatan spiritual apa pun. Ada memang yang puasa tiap hari kelahirannya, tapi sedikit. Namun, "Setahun sekali kami mengunjungi sejumlah sesepuh di Wuryantoro, Wonogiri, untuk minta doa restu," ujar Warni, 35 tahun, primadona di Lebdorini yang mengklaim tak memakai susuk pemantik daya tarik.
Lebdorini, yang berdiri sejak 1993, memasang tarif Rp 1 juta untuk pertunjukan pada radius 25 kilometer dari desanya. Jika lokasinya lebih jauh, mereka meminta bayaran Rp 1,5 juta. "Untuk biaya transportasi," kata Harto Suwito, 66 tahun, Ketua Lebdorini.
Tapi, untuk penampilan di Munthuk, mereka tak menarik bayaran. Maklum, sudah langganan tahunan. Pendapatan mereka berasal dari sumbangan ratusan penonton yang merasa mendapat berkah dari tayub atau olesan bedak ledek. Uang yang mereka peroleh sekitar Rp 2,5 juta. Ini belum termasuk bayaran untuk lagu yang diminta agar dinyanyikan si penari, yang mencapai Rp 300 ribu.
Mereka membagi rata pendapatan itu, dengan bagian ledek agak lebih banyak. Misalnya, jika satu kelompok tayup beranggotakan 14 orang—tiga ledek dan 11 wiyaga (penabuh gamelan)—jumlah uang yang diperoleh langsung dibagi 15. Kelebihan satu bagian itulah yang dibagi rata di antara tiga penarinya.
Pada musim ramai tanggapan, Lebdorini kesulitan memenuhi semua order. Selain melayani kawasan Yogyakarta, mereka pernah ditanggap hingga Wonosobo, Temanggung, Wonogiri, Kebumen, dan puncak Gunung Lawu di Kabupaten Karanganyar. Lebdorini juga pernah berpentas di Taman Ismail Marzuki, Jakarta.
Bila tidak ada order, mereka praktis menganggur. Apalagi tanah pertanian di Gunung Kidul hanya bisa ditanami pada musim hujan. Ledek Suwarni beruntung bisa menyisihkan sebagian penghasilannya untuk membuka warung rokok di depan rumahnya.
Bayangan awam tentang ledek yang dapat dipeluk, dicium, diraba payudaranya, atau diremas pantatnya tak semuanya benar. Ledek juga bagian dari tata ritual yang masih dianggap berdaya magis.
Agus S. Riyanto, Syaiful Amin
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini