Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
UDARA kemarau di Desa Kemiri, Jepon, Kabupaten Blora, Jawa Tengah, terasa memanggang. Namun sengatan panas matahari tak menyurutkan langkah warga untuk berduyun-duyun datang ke balai desa. Sekitar 500 orang tumplek di sana, pada suatu siang dua pekan lalu, untuk menyaksikan upacara sedekah bumi sebagai rasa syukur atas keberhasilan panen tahun ini. Keriuhan penonton dan orang berjualan yang bertabrakan dengan bunyi gamelan membuat desa tersebut benar-benar terasa hidup.
Hanya sebentar upacara yang dijejali dengan doa berlangsung. Lalu suara saron, bonang, gong, dan gendang berpacu dalam irama. Gamelan yang mengantarkan gending-gending Jawa itu mengundang tiga ledek alias penari tayub tampil ke depan panggung. Dengan senyum merekah, perempuan-perempuan berkebaya dan berkemban lengkap dengan selendang berwarna mencolok itu menyapa penonton.
Setelah beberapa gending (lagu) pemanasan didendangkan, saat yang ditunggu-tunggu para lelaki yang duduk di barisan depan (biasanya tamu kehormatan) datang. Mereka diberi sampur (selendang) oleh pembawa acara sebagai tanda mendapat giliran menari bersama ledek yang berdandan mingis-mingis alias cantik berseri-seri itu. Umumnya mereka cuma kebagian jatah satu lagu karena banyak lelaki lain yang menunggu untuk mendapat giliran menjadi pengibing, menari bersama ledek.
Begitulah, siang itu warga Kemiri terasa larut dalam alunan tayub. Lenggak-lenggok tangan dan pinggul ledek mengikuti irama gamelan membius mereka. Lagu yang didendangkan tak melulu gending Jawa seperti Caping Gunung, tapi juga lagu-lagu campur sari dan bahkan lagu dangdut semacam Sinden Panggung. Kendati gendingnya dipungut dari berbagai jenis musik, pengiringnya tetap gamelan.
Di Blora dan juga Pati dan sekitarnya di Jawa Tengah, tayub memang masih mendapat tempat di masyarakat. Menurut Margono, sesepuh tayub di daerah Blora, hampir setiap kecamatan di daerah ini memiliki kelompok tayub. Jumlah ledeknya bisa mencapai ratusan tiap kecamatan. "Mungkin di daerah lain kesenian ini sudah mati, tapi di Blora masih diuri-uri (dilestarikan) dan eksis," katanya.
Tayub tak bisa dilepaskan dari kultur masyarakat yang agraris. Ketidakpastian dalam masyarakat agraris menimbulkan kepercayaan untuk memuja dewi kesuburan. Kondisi ini, menurut sebuah teori yang dipercaya sebagian budayawan, memunculkan "tari kesuburan" bernama tayub. Sebagian orang Jawa percaya kesuburan datang sebagai hasil kerja sama antara langit dan bumi, berwujud turunnya hujan. Orang lelaki disimbolkan sebagai langit, dan wanita menjadi buminya. Itu sebabnya tayub selalu ditarikan laki-laki dan perempuan.
Bukan cuma di Jawa Tengah, kesenian tayub pernah populer di daerah-daerah agraris di Yogyakarta dan Jawa Timur seperti Nganjuk, Ngawi, Madiun, Bojonegoro, Tuban, dan Banyuwangi. Hanya, di beberapa daerah, tayub sudah mulai mati, setidaknya meredup. Di sejumlah daerah, kesenian ini disebut dengan nama lain. Di Banyumas, Jawa Tengah, tayub disebut lengger, sedangkan di Banyuwangi, Jawa Timur, tarian ini dinamai gandrung. Alat musik yang dipakai di Banyumas juga bukan gamelan, melainkan calung.
Dalam sejarahnya, tayub tak bisa lepas dari seks dan minuman keras. Kebiasaan mengkonsumsi minuman keras dan daya tarik seks dalam tayub, menurut Ahmad Tohari (pengarang dan pemerhati tayub), berhubungan dengan sekte Hindu di India Selatan ratusan tahun lalu. Pergelaran upacara pemujaan dewi kesuburan selalu dilakukan lewat tarian, minuman keras, dan wanita-wanita penjaja seks. "Minuman keras dan seks adalah sebuah kebutuhan utama pada masa itu," kata penulis novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk ini.
Tapi ada juga yang menyebut, tayub sebenarnya berasal dari tari gambyongan yang biasa digelar di istana. Dulu di sejumlah kerajaan di Jawa, gambyong juga ditarikan oleh penari yang memang berperan sebagai penghibur laki-laki.
Justru penampilan tayub yang beraroma alkohol dan seks itulah yang mengundang daya tarik terutama di kalangan kaum abangan dan priayi. Bahkan, menurut penuturan Mbah Guno, pelaku tayub, dalam suatu diskusi di Universitas Gadjah Mada akhir tahun lalu, di sekolah pamong praja, siswa diajari tayuban. Tujuannya, setelah menjadi pejabat, mereka bisa ngibing, menari mendampingi ledek.
Dulu para pejabat itu juga mendapat perlakuan istimewa. Tuan rumah yang menyelenggarakan tayub merasa wajib menyediakan ciu atau arak. Tak lupa si tuan rumah menyiapkan kamar-kamar tempat melampiaskan berahi tamu agung itu bersama para penarinya. Di panggung tayub, dalam kondisi setengah mabuk, pengibing dibolehkan mencium, memeluk ledek, bahkan bisa lebih dari itu. Sebagai ungkapan terima kasih dan rasa suka setelah berhasil mencium, mereka selalu memberikan uang lewat suwelan. Duit itu disuwel-kan atau diselipkan ke dalam kemban di sela-sela payudara ledek.
Menjelang tahun 1965, kelompok tayub dianggap sebagai milik orang-orang Partai Komunis Indonesia melalui Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra)-nya. Meskipun begitu, kata Ahmad Tohari, anggota atau kelompok tayub sebenarnya tak tahu apa-apa tentang Lekra. Nah, setelah tahun 1965, karena dinilai punya dosa sejarah, kesenian tayub tiba-tiba lenyap.
Sesudah Orde Baru berjalan cukup jauh, pelan-pelan tayub mulai dihidupkan kembali di berbagai daerah. Hanya, wujudnya tak sebebas sebelumnya. Ini gara-gara ada reaksi dari masyarakat. Di Nganjuk, Jawa Timur, misalnya, pada 1980-an, pernah terjadi protes dari masyarakat terhadap tayub, seperti dituturkan oleh Soetrisno, bekas bupati kabupaten ini. Alasannya, pergelaran tayub melanggar etika dan memicu terjadinya kerawanan sosial. Saat itu banyak perselingkuhan antara ledek dan pengibing. Banyak pula ledek yang menjadi simpanan. Bahkan sering terjadi perkelahian karena memperebutkan penari tayub.
Akhirnya, tayub tetap digelar tapi dipagari dengan berbagai aturan. Pertunjukan tayub harus bersih dari ciu. Kebiasaan suwelan pun hanya boleh dilakukan lewat tangan penari, tidak lagi diselipkan ke kutang.
Di Nganjuk, rombongan tayub tidak bisa lagi sembarangan menggelar pertunjukan. Mereka harus mengantongi surat izin pentas. Para penarinya mesti pula mendapat izin dari Himpunan Pramugari Waranggana dan Pangrawit Langen Bekso (Hiprawarpala), organisasi yang berdiri pada Desember 1985. Organisasi inilah yang menguji ledek secara mental untuk mengikis tindakan tak terpuji yang sering terjadi dalam pentas tayub. Selain itu, ada ujian teknis menari dan menembang.
Calon ledek yang lulus akan diwisuda dan diberi izin untuk tampil. Upacaya wisuda yang disebut gembayangan ini diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah Nganjuk untuk menjaring wisatawan. Dilaksanakan sejak 1989, perhelatan ini diadakan di Punden Mbah Ageng yang berupa sumur di Desa Sambirejo, Kecamatan Tanjunganom, Nganjuk. Lalu mereka juga mengucapkan ikrar di depan bupati. Isinya, seperti layaknya upacara 17 Agustus, adalah setia kepada Pancasila dan UUD 1945 serta setia kepada negara dan pemerintah. Seusai membacakan ikrar, bupati mengalungkan sampur ke leher ledek dan surat izin pentas pun keluar.
Izin pentas tidak hanya diterapkan di Nganjuk, tapi juga di daerah lain. Pengamat tayub Amrih Widodo (1995) melukiskan sebuah insiden yang terjadi pada awal Juli 1990 di sebuah desa di Blora. Pertunjukan tayub yang baru berlangsung tiba-tiba dihentikan oleh aparat keamanan bersama beberapa pejabat dari dinas kebudayaan setempat. Alasannya, penari yang akan ditampilkan belum memperoleh sertifikat penataran dari dinas kebudayaan. Selain itu, sejumlah tokoh masyarakat di daerah tersebut menilai tayub "amoral", tidak sesuai dengan ajaran agama dan Pancasila.
Kendati mendapat berbagai ganjalan, tayub masih punya sedikit penggemar di Nganjuk. Dan bukan tayub namanya bila tidak ada suwelan. Lurah Desa Ketandan, Kecamatan Lengkong, Nganjuk, misalnya, pernah melarang tamunya mengkonsumsi minuman keras saat menggelar tayub. Tapi apa yang terjadi? Pentas tayub sepi. Tak ada tamu yang datang. Justru esok harinya ia didemonstrasi pemuda karena aturannya itu.
Buktinya lagi, Musrini 36 tahun, seorang ledek di Nganjuk, masih dapat mengais rezeki dari tayub. Penari tayub asal Sambirejo, Nganjuk, ini mengaku bahwa sering hasil dari suwelan jauh lebih besar daripada honor yang diterima dari tuan rumah. "Saya pernah mendapat suwelan banyak sekali, sehingga kutang saya tak lagi mampu menampung uang," kata Musrini agak malu-malu.
Hanya, mesti diakui pula, di banyak daerah, pamor tayub sudah memudar. Sudah jarang acara pernikahan, sunatan, bersih desa, atau nazar yang dimeriahkan dengan tayub. Hadirnya hiburan lain yang setiap saat masuk ke celah-celah rumah di pedesaan melalui televisi ataupun VCD juga membuat kesenian tradisional kehilangan daya tariknya.
Rombongan tayub sendiri juga susah mencari bibit-bibit ledek. Desa Sambirejo, yang dulu terkenal se bagai pemasok penari tayub yang kondang, contohnya, kini mulai kehabisan stok. Sekarang para gadis di desa ini lebih suka pergi ke kota untuk bekerja di pabrik atau menjadi pembantu rumah tangga. Padahal, "Dulu, jika ada gadis yang tak menjadi ledek, ia akan menjadi bahan ledekan karena dianggap perawan yang kurang sempurna," kata Musrini.
Penyebab lainnya, Nganjuk kehabisan guru penari tayub. Sukimin, guru tayub dari Sambirejo, meninggal pada tahun 2000. Dialah yang selama puluhan tahun melahirkan ledek yang bagus. Jangan heran, dalam wisuda ledek di Nganjuk beberapa tahun terakhir, tak pernah muncul lagi wajah baru. "Yang diwisuda itu ledek kawakan sekadar untuk meneruskan tradisi gembayangan tahunan yang telah dijadwalkan pemerintah," tutur Musrini. Dan tentu saja jumlah ledek di Nganjuk terus mengalami penurunan. Menurut data dinas kebudayaan dan pariwisata kabupaten ini, pada tahun 2000 masih tercatat 75 ledek, tapi sekarang tinggal 46 orang.
Begitu pula di Tuban dan Tulungagung, Jawa Timur. Kini yang tersisa hanyalah tayub terop (tenda) yang hidup dari order para pencintanya dari kalangan tua-tua yang memanfaatkan tayub sebagai sarana untuk memperluas pergaulan, atau menurut bahasa mereka sekadar untuk "arisan" di antara para pengibing. Itu pun hanya di daerah pedesaan yang aturan moralnya tergolong longgar. Di daerah Madiun, dulu tayub sering digelar untuk meramaikan pembukaan musim giling pabrik-pabrik gula di sana. Tapi tradisi ini sekarang sudah mulai lenyap pula.
Bukan cuma di daerah-daerah di Jawa Timur, kenyataan ini juga terjadi di Banyumas, Jawa Tengah. Sudah jarang orang menggelar pertunjukan tayub. Salah satu faktor yang meminggirkannya, "Tayub dianggap melanggar norma agama karena unsur seks dan pesta araknya," kata Bambang Widodo, mantan Ketua Dewan Kesenian Daerah Banyumas. Kalaupun ada, tinggal satu-dua rombongan lengger yang berkeliling yang mengharapkan lemparan duit dari penonton.
Di Yogyakarta? Sama saja. Harto Suwito, pemimpin kelompok tayub Lebdorini di Gunung Kidul kesulitan mencari calon ledek. Gadis-gadis yang baru lulus SMP memilih merantau ke Jakarta atau kota besar lainnya. "Mereka enggan menjadi ledek karena profesi ini dinilai jorok dan bisa diapa-apakan," katanya. Harto sampai berulang-ulang menjelaskan bahwa ledek sekarang berbeda dengan dulu. Tapi tetap saja ia merasa kesulitan mendapatkan calon penari tayub karena tayub telanjur dinilai negatif.
Keterpinggiran tayub itu menimbulkan "semangat perlawanan" di beberapa tempat. Di Yogyakarta, drum dan organ mulai dipadu dengan gamelan untuk mengiringi penari tayub agar bisa mendendangkan lagu-lagu campur sari. Di Blora dan Pati, yang masyarakatnya masih menyukai kesenian ini, terjadi penyesuaian. Gending lama semacam Walang Kekek mulai jarang ditembangkan. Yang disukai justru lagu-lagu yang diadopsi dari dangdut, seperti Sinden Panggung.
Toh, gamelan tetap menjadi instrumen utama yang mengiringinya. Ledeknya pun tetap mengenakan kemban dan sampur. Dan penontonnya? Seperti yang terjadi di Kemiri, Blora, mereka juga tak puas cuma berdiam diri. Para lelaki selalu tak sabar menunggu saatnya ketiban sampur, lalu meneriakkan gending yang dimintanya.
Agus S. Riyanto, Dwidjo U. Maksum, Syaiful Amin
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo