SESEKALI senyum Tumi Idayani merekah saat bibir merahnya bercerita tentang tayub. Bertubuh sintal dan bersuara merdu, perempuan 29 tahun ini tampak luwes dan cantik. Pesona ini pula yang setiap kali membius para penggila tayub di sejumlah daerah di Jawa Tengah. Dan ini disadari betul oleh Tumi. "Kalau tidak cantik, ya tidak laku," ujarnya polos.
Ditemui oleh TEMPO pekan lalu, wanita yang lahir di Kecamatan Jepon, Blora, Jawa Tengah itu menuturkan kisah hidupnya dengan ringan. Ia terbilang sebagai ledek alias penari tayub generasi baru di daerahnya. Tumi menjadi salah satu primadona tayub di daerah Blora dan sekitarnya ketika tarian ini mulai terpinggirkan di daerah lain.
Waktu kecil dia tak menggenggam cita-cita muluk. Setiap ada pertunjukan tayub di desanya, Tumi selalu tertarik untuk menontonnya. Diam-diam ia memperhatikan cara ledek menari lalu menirukannya saat di rumah. Setelah lulus sekolah dasar, keinginannya menjadi ledek tidak terbendung. Alasannya sederhana, menjadi penari tayub amat mudah mendapatkan uang. Semakin banyak penggemar, semakin banyak duit yang didapat. Apalagi bila musim panen datang, penari tayub ditanggap (disewa) di mana-mana.
Tanpa setahu orang tuanya, akhirnya Tumi bergabung dalam sebuah rombongan tayub di daerahnya. Ia keluar-masuk kampung bersama dengan ledek-ledek yang sudah senior dan para penabuh gamelan. Tumi tampil pertama kalinya saat rombongannya pentas di Rembang, Jawa Tengah. Awalnya ia memang menghindari tampil di daerahnya sendiri. "Kalau saya manggung di Blora, orang tua saya pasti tahu," tuturnya.
Tumi semakin dikenal sebagai ledek setelah ia sering tampil dalam berbagai perhelatan yang marak usai panen. Biasanya orang mengundang rombongan tayub untuk meramaikan acara sedekah bumi, pesta pernikahan, khitanan, dan nazar. Pada sekitar Idul Fitri, lebaran haji, dan ulang tahun kemerdekaan, Tumi dan rombongannya juga kebanjiran pesanan. Tapi pentas tayub sepi pada bulan Puasa dan Sura dalam almanak Jawa.
Setelah kondang, Tumi tidak perlu ikut rombongan untuk mbarang atau menggelar pertunjukan berkeliling. Ia tinggal menunggu "order" untuk melayani pertunjukan yang besar. Kalau pesanan lagi ramai, kalender di rumahnya pun penuh dengan coretan spidol untuk menandai tanggal main. Ia pun bisa manggung dua kali sehari, siang dan malam. Hanya, rata-rata Tumi tampil 20 kali sebulan. Ia menari tayub di berbagai daerah, antara lain Rembang, Pati, Sragen, Solo, Wonogiri, Yogyakarta, dan Semarang, dan juga sejumlah daerah di Jawa Timur seperti Bojonegoro dan Tuban.
Sekali tampil, Tumi mendapat honor sekitar Rp 500 ribu. Itu belum termasuk saweran pengibing (para lelaki yang ikut menari), yang rata-rata mencapai Rp 200 ribu. Dalam sebulan, ia bisa mengumpulkan Rp 12 juta. Jangan heran jika Tumi sudah bisa membangun rumah lumayan mentereng di kampungnya, Desa Tengger, Blora. Sebagian lagi penghasilan dari tayub ia pakai untuk modal tokonya yang menjual barang kebutuhan sehari-hari. Toko inilah yang menjadi tumpuan masa depan Tumi bersama suaminya, Sukijan, dan seorang anaknya yang baru berusia tiga tahun. Soalnya, "Tidak selamanya saya jadi penari tayub," tuturnya.
Agar popularitasnya langgeng, ia rajin menjaga kecantikan dengan melakukan luluran rutin. Untuk memelihara staminanya agar kuat menari sambil nembang selama 4-6 jam, Tumi selalu minum jamu beras kencur dan pegal linu. Tapi dia tidak melakukan puasa Senin-Kamis seperti yang dilakukan oleh para ledek generasi sebelumnya. Demi menjaga kebeningan suaranya? Resep Tumi cuma menghindari rokok dan sering minum air jeruk nipis. Sesekali ia menggurah dahak di tenggorokan.
Sehari-hari Tumi hanya ibu rumah tangga biasa yang harus menyiapkan makanan bagi keluarganya serta menunggu warung. Tapi, kalau sudah tampil ayu mengenakan kebaya lengkap dengan selendangnya di depan penonton, ia akan menjelma menjadi primadona yang dikerubuti banyak pengibing. Jika sudah terbius oleh lenggang-lenggok sang ledek dan terbuai alunan gamelan, mereka tak segan-segan menyelipkan lembar lima puluh ribuan atau seratus ribuan ke balik kutangnya. Dan sang Tumi tak merasa dilecehkan, kecuali para pengibing benar-benar kelewat batas.
Endri Kurniawati, Sohirin (Blora)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini