Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUARA petugas lewat halo-halo terdengar kencang. ”KRL 531 jurusan Bogor-Kota terlambat 20 menit.” Pagi itu peron Stasiun Depok Baru sudah dibanjiri manusia. Serentak, suara cemooh calon penumpang bergemuruh.
Tak sampai 20 menit, KRL yang ditunggu sudah menampakkan moncongnya. Serulingnya menyalak saat mendekati gerbang stasiun. Ratusan penumpang berjejal. Batang-batang tubuh manusia seperti lengket di perut kereta. Ada yang bergelayut di pintu, ada yang memanjat atap, tumplek di punuk kereta.
Waktu untuk memanjat ke atap kereta tak lama: hanya tiga menit. ”Syaratnya, harus yakin,” kata Syahroni, salah seorang ”pendekar” Stasiun Depok Baru, mencontohkan cara naik ke atap kereta. Dibantu uluran tangan Syahroni, Tempo ikut naik. Hup! Lalu, dimulailah perjalanan di antara hidup dan mati tersebut.
Duduk di atap kereta tidak senyaman kelihatannya. Ada, memang, sepoi angin dan pemandangan terbuka. Tapi, kalau tak awas, maut mengancam, apalagi untuk orang-orang yang baru mencoba.
Untung, Tempo ditemani Ronal—begitu Syahroni biasa di sapa. Pria 27 tahun ini paham betul soal daki-mendaki atap kereta. Maklumlah, setiap berangkat dan pulang kerja, Ronal naik ke atap. Kebiasaan ini telah ia lakukan 10 tahun, sejak ia masih sekolah.
Kelompok penumpang atap kereta biasa disebut ”komunitas pendekar”. Meski bukan organisasi resmi, ”anggotanya” punya rasa persaudaraan yang tinggi. Sesama pendekar biasa saling bantu—setidaknya saling tegur. Penumpang atap yang duduk terlalu ke pinggir akan diingatkan, juga mereka yang duduk terlalu dekat dengan pantograf—alat penyalur listrik yang menjalankan kereta. ”Kami juga memikirkan keamanan, kok,” kata Ronal. ”Jadi, bukan sok-sokan.”
Dulu, sebelum ada komunitas pendekar, penumpang atap gerbong terpecah-belah. ”Banyak geng yang berkuasa di atap,” kata Ronal. Kelompok yang satu kerap bertengkar dengan kelompok yang lain. Ujung-ujungnya, nyawa melayang. Belakangan, konflik itu berkurang.
Menurut Ronal, cara paling aman mendaki atap gerbong adalah memilih bagian yang jauh dari pantograf. Selain harus hafal lokasi aman ini, setiap penghuni atap juga harus paham soal kebiasaan masinis saat memacu kereta. Biasanya ada loncatan gerak saat masinis menjalankan kereta dan berhenti. ”Saat itu, kita harus cari pegangan,” katanya.
Hal lain yang wajib diketahui para pendekar adalah rute-rute maut, termasuk sejumlah titik yang kerap mengakibatkan penumpang jatuh.
Sekitar satu kilometer dari Stasiun Bogor, misalnya, ada terowongan di Jalan Paledang. Di sini penumpang atap harus menunduk jika tidak mau kepentok. Lokasi ini memang dikenal sebagai terowongan maut. Tahun 2000 silam, 12 pelajar yang naik di atap tersangkut terowongan, lalu terpental. Sedikitnya 10 orang tewas akibat musibah itu. Kasus ini mengakibatkan Kepala Stasiun Bogor saat itu, Ismanto, duduk menjadi pesakitan di pengadilan.
Lokasi lain yang harus diwaspadai adalah kawasan Stasiun Tanjung Barat, Jakarta Selatan. Lepas dari stasiun ini, kereta dari arah Bogor menuju Jakarta akan sedikit berbelok dan miring. Akibatnya, ular besi ini akan bergoyang dan hal ini semakin terasa jika penumpang duduk di atap. Laju kereta yang cepat, ditambah terpaan angin yang kuat, menggandakan kengerian. Sebelum memasuki rute ini, biasanya para pendekar akan berteriak, ”Pegangan!” Jika kaget, atau terlambat mencari pegangan, tubuh akan terlempar. ”Jalur Tanjung Barat memang banyak memakan korban para penumpang atap,” kata Ahmad Sajadi, Pejabat Humas PT KAI untuk Daerah Operasi I khusus Jabotabek. Selain terjatuh, para pendekar yang tewas umumnya tersengat listrik.
PT KAI sebetulnya bukan diam saja terhadap ulah para pemanjat. Sejumlah cara dilakukan agar penumpang tidak naik ke atap: melumuri atap dengan oli, memberi kawat berduri, menempatkan petugas di stasiun untuk menghela para pemanjat. Tapi semua tak efektif. Saat Tempo menjajal rute Depok Baru-Cawang di atap, tak ada petugas stasiun menghela para pendekar. Ronal sadar bahwa menjadi penumpang atap sangat tak aman. Tapi ia tak punya pilihan. Jumlah gerbong terbatas dijadikannya alasan.
Di Stasiun Cawang, Ronal meloncat turun. Empat puluh lima menit berlalu. Dari sana ia melanjutkan perjalanan menuju kantornya di Slipi dengan bus kota. Kepada Tempo, ia tersenyum dan melempar perpisahan. Kereta menderu. Angin pagi mengibaskan rambut pemuda itu....
Cahyo Junaedy
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo