MISALKAN Konfusius sekarang hidup di Singapura. Boleh jadi ia tersenyum simpul memandang tata tertib di republik pulau seluas sekitar 580 km2 itu. "Rakyat Singapura sedang melaksanakan Konfusianisme tanpa menyadarinya," ujar Tseng Chou-Koo, anggota Komite Eksekutif Asosiasi Konfusian Nanyang Singapura. "Memang, tampaknya sistem sosial dan politik negeri ini dibangun di atas ideologi Konfusian," tulis James Leung dalam The Asian Voll Street Journol. Menurut pola itu, negara yang ideal adalah tempat penguasa memerintah dengan bijaksana dan kawula melaksanakan titah dengan segala sukacita. Ideologi Konfusian menuntut ketaatan total terhadap penguasa. Sebagai imbalannya, mereka yang berada di tampuk kekuasaan wajib memperlakukan rakyat seperti anak-anaknya sendiri. Menyediakan bagi mereka pangan, perumahan, dan -- terutama -- perasaan aman. Tapi lebih daripada itu para penguasa harus mendapat kepercayaan dari rakyatnya. Untuk mencapai hal tersebut, sesuai ajaran sang Guru, "para penguasa haruslah orang yang lurus dan jujur. " Ikatan antara "penguasa yang lurus dan jujur" -- apakah ia orang tua, ratu, atau maharaja -- dengan kawula yang taat, merupakan lajur yang akanmempertalikan keluarga, bangsa dan alam semesta dalam keserasian sempurna. Demikianlah gagasan Konfusianisme. Konfusius berkata: "Bila seorang penguasa lurus dan jujur, dan menuntut keutamaan seperti itu dari rakyatnya, siapakah yang berani menempuh jalan sesat?" Ia kemudian menambahkan: "Bila perintah pribadi seorang penguasa benar adanya, pemerintahannya pasti efektif. Jika tidak, penguasa itu boleh saja mengeluarkan pelbagai perintah, tanpa ditaati rakyatnya." Sekarang ini, agaknya, tak seorang pun warga Singapura menilai pemerintah mereka tidak efektif. Kondisi itu tercapai "terutama karena Perdana Menteri Lee Kuan Yew merupakan tokoh dengan integritas yang tinggi dan menuntut hal serupa dari bawahannya," tulis James Leung. Seperti diungkapkan Goh Keng Swee, Deputi I Perdana Menteri, "Konfusius percaya hanya penguasa yang lurus dan jujur dapat menghindarkan negara dari malapetaka. Rupanya kepercayaan seperti itu pula yang dianut Partai Aksi Rakyat (PAP) yang sedang memerintah " Percaya atau tidak, Lee Kuan Yew tampaknya berhasil membersihkan pemerintahannya dari korupsi. Ia membenahi ekonomi dengan hasil yang patut dipuji. Lebih daripada itu ia menyajikan porsi kemakmuran yang nyata kepada lapisan bawah rakyat jelata terutama melalui sistem kesejahteraan pemerintah. Di dalam kebijaksanaan itu, program perumahan mendapat perhatian penting. Belakangan ini sekitar 69% warga negara bandar raya itu menghuni apartemen yang dibangun pemerintah. Perhatian khusus diarahkan pula pada bidang pendidikan. Pemerintah Singapura selalu 'menjaring' para lulusan perguruan tinggi yang terbaik dan cemerlang untuk menempati posisi pamongpraja. Seperti kata Konfusius, "bila para bawahan berpendidikan baik, merekaakan melaksanakan perintah dengan seksama." TAPI para pengamat tak luput mempertimbangkan berbagai kenyataan. "Meski pemerintah Singapura tampaknya membangun citra mereka di atas jalan Konfusian, tak dengan sendirinya Konfusianisme berjaya di kawasan itu," kata lames Leung dalam tulisannya. Mungkin lebih tepat mengatakan republik pulau itu sedang mewujudkan identitas nasionalnya yang jelas yang tak sepenuhnya dapat dikatakan "Cina". Kendati 80% dari 2,5 juta penduduk Singapura adalah Cina, Konfusianisme di sana dipandang sebagai filosofi asing. Praktek Konfusianisme di negeri itu memang tidak sampai Inembuahkan diskriminasi terhadap kelompok etnik non-Cina. Tapi menggembar-gemborkan bahwa pemerintahan kelompok etnik Cina sekarang mengandalkan filosofi Cina, justru dapat menciptakan ketegangan rasial. Pengaruh liberalisme dari Barat, betapa pun, masih memperlihatkan warna yang nyata pada corak pemerintahan. Sebagai jawabannya, Konfusianisme digunakan secara berhati-hati menolak pengaruh itu -- pengaruh yang sewaktu-waktu bisa membantu sistem yang kini sedang getol-getolnya dimatangkan untuk Singapura. Rakyat yang terlatih dalam tradisi Konfusian lebih mampu menolak godaan "filosofi liberal Barat," seperti dinyatakan Goh Keng Swee. "Bila kami jatuh dalam pilihan yang lemah terhadap Barat, kami akan ambruk dalam seketika," katanya memperingatkan. Komentar itu diucapkan Goh baru-baru ini dalam sebuah pidato memperkenalkan Konfusianisme sebagai satu dari enam "subyek religius" yang diajarkan di sekolah-sekolah Singapura. Di bawah program baru mengenai kewajiban mengajarkan pengetahuan keagamaan, sekolah-sekolah di negeri tersebut harus mengajarkan salah satu dari enam subyek tadi. Lima lainnya adalah Buddha, Kristen, Hindu, Islam, dan "studi atas agama-agama dunia". Tapi Goh sendiri -- yang juga menjabat Menteri Pendidikan --mengakui bahwa Konfusianisme bukan agama. Lalu apa? "Ajaran Konfusius dalah ideologi politik untuk negara Konfusian," katanya. "Sama seperti Marxisme-Leninisme adalah ideologi politik untuk Uni Soviet." Ia bahkan mengatakan, Konfusianisme tidak relevan untuk Singapura, karena ajaran itu "membela sistem pemerintahan untuk sebuah negeri yang luas dengan iumlah penduduk yang raksasa, yang menyandarkan hidupnya pada pertanian." BEBERAPA ahli Konfusian tak sepakat dengan kesimpulan ini. Tatkala Konfusius menurunkan petuah-petuahnya, sekitar abad V Sebelum Masehi, Cina adalah sebuah "benua" yang tercabik dalam tujuh pemerintahan yang saling memusuhi. Setiap wilayah pemerintahan itu koyak-moyak pula menjadi daerah kecil-kecil yang dikangkangi para bangsawan. Konfusius mengajar di "negara" kelahirannya, Lu, kini masuk provinsi Shantung. Sebagian besar siswanya datang mempelajari kepamongprajaan, dengan cita-cita menjadi pejabat di daerah kekuasaan yang berpencaran. Ajarannya digarisbawahi oleh kearifan yang tajam, yang disesuaikan dengan kebutuhan para siswanya. "Jalan"nya, kata Konfusius kepada para siswa itu, "relevan untuk mengontrol diri sendiri, memelihara keluarga, memerintah negeri, dan mengantarkan keserasian kepada alam semesta." Konfusius tak penah menuliskan filosofinya. Para muridlah yang mencatat. Catatan mereka kemudian dikumpulkan menjadi "Kitab Yang Empat", yang akhirnya berfungsi sebagai "Injil" Konfusianisme. Hampir seabad setelah kematiannya barulah filosofi itu menonjol secara nasional. Ketika itu Cina sudah bersatu di bawah Dinasti Han Sistem feodal ambruk, dan para penguasa Han mengadaptasikan ideologi Konfusianisme bagi sebuah sistem baru yang memusatkan pemerintahan. Langkah ini sekaligus menandai awal pengkajian Konfusianisme secara sistematis. Sejak itu pula banyak ajaran Konfusius ditafsirkan dengan cara yang menguntungkan sistem sosial dan politik Han. Dengan kata lain, Konfusianisme menjadi ala memerintah bagi sebuah bangsa agraris yang besar. Maka seperti halnya para politisi Konfusian sejati, kalangan berkuasa Singapura sekarang juga hampir tak bisa menenggang kaum pembangkang. "Logika mereka sepenuhnya Konfusian," kata James Leung. Seperti yang dikemukakan S. Rajaratnam, "Bila pemerintah demikian baiknya, mengapa harus ada oposisi?" Deputi II Perdana Menteri Singapura itu melontarkan pertanyaan ini di depan Dewan Serikat Buruh Nasional yang disponsori pemerintah baru-baru ini. Logika ini memang tak dapat menerangkan kekalahan PAP untuk kursi di Parlemen yang dimenangkan Partai Buruh dalam sebuah pemilihan di Distrik Anson, tahun lalu. Para pemimpin PAP menilai kekalahan itu sebagai akibat "pengaruh Barat yang dekaden dan liberal." Alasan yang menyebut oposisi di Parlemen akan membantu jalannya roda pemerintahan, dinamakan Rajaratnam "keculasan intelektual." Ia memperingatkan, "demokrasi oleh oposisi" telah membawa keruntuhan banyak kekuasaan di Barat. "Di banyak negeri," katanya, "kekuasaan pemerintah terang-terangan dihina dan ditertawakan oleh para intelektual, oleh kerusuhan jalanan dan mafia teroris." Menurut Konfusius, konon, kerusuhan timbul kalau orang tak lagi setia pada kedudukannya. "Bila para pangeran melalaikan kesejahteraan rakyat, dan kawula berani mengejek penguasa, masyarakat bakal ambruk berkeping-keping." Sampai saat ini, serangan yang serius memang belum mengguncangkan negeri bandar itu. Namun tak urung gambaran akan sebuah Singapura yang "tata-tenteram-karta-raharja" mulai diusik suara sumbang. Tersebutlah umpamanya Joshua Benjamin Jeyaratnam, oposan tunggal dalam Parlemen Singapura yang beranggotakan 75 orang itu. Pengacara yang mewakili Partai Buruh ini "telah mematahkan monopoli 16 tahun PAP di dalam Parlemen melalui pemilihan tahun lalu," tulis Pamela G. Hollie dalam International Herald Triune bulan lalu. Di kalangan politisi Singapura ia dijuluki "Daud tanpa plentingan, politikus bernasib mujur, dan martir." Digenjot hampir dari segala sudut di Parlemen, Jeyaratnam tampaknya pantang mundur. "Mereka menyerang saya karena saya seorang kiri di tengah masyarakat tempat konservatisme sudah mencapai tingkat mapan," kata duda yang kematian istri dua tahun lalu itu dalam sebuah wawancara. Lalu apa yang ingin di bela Jayaratnam? "Saya berjuang untuk hak-hak asasi manusia," katanya gagah. "Saya berjuang untuk oposisi, untuk hak bertanya dan berbeda pendapat." Segera setelah memaklumkan itikad itu, sang oposan mulai membuka perdebatan dengan Perdana Menteri. Digasaknya perkara sewa yang terlalu tinggi untuk kantor pusat PAP, dan masalah ongkos perumahan rakyat. Jeyaratnam mengakui kekalahannya dalam debat tersebut, tapi itu katanya hanya "masalah teknis." Menurut Jeyaratnam, ia tak diberi kesempatan mengumumkan beberapa dokumen. Ketika ia meminta datadata tentang kekayaan para anggota Parlemen, PM Lee konon menutup setiap kemungkinan. Sementara itu, kejutan yang terjadi Januari lalu sedikit banyak memperburuk posisi Jeyaratnam. Lima dari persekongkolan yang ditangkap dengan tuduhan hendak menggulingkan pemerintah Singapura adalah anggota Partai Buruh. Jeyaratnam menuduh penangkapan ini digunakan partai yang berkuasa sebagai alat untuk menggebuk Partai Buruh, yang berdiri sejak 1971. Tapi sebaliknya ia menyatakan setuju menghukum para perusuh itu bila memang makar mereka terbukti. Jeyaratnam bukannya tak menyadari risiko sepak terjangnya. Secara berangsur-angsur ia kehilangan klien dan sahabat. "Jika anda beroposisi terhadap pemerintah," katanya, "orang tak akan datang kepada anda." Namun ia yakin telah melihat "percikan cahaya kegelisahan." Bagaikan bernubuat ia berkata, "akan tiba saatnya generasi muda Singapura menganggap sah kehadiran oposisi." Ia menuduh PM Lee Kuan Yew terlalu terbenam dalam tetek bengek ekonomi. Para pendukung utama Jeyaratnam adalah penduduk Anson, distrik yang sebagian besar dihuni kaum pekerja. Dalam pemilihan terdahulu, Anson mendukung PAP. Maka tatkala Devan Nair, bekas wakil Anson di Parlemen menjadi presiden Singapura Oktober tahun lalu, partai yang berkuasa yakin akan kemenangan mereka di distrik tersebut. Tapi rupanya sementara itu kelompok oposisi bekerja keras. Mereka berhasil mengambil hati rakyat dengan pelbagai cara. Di salah satu wilayah Anson umpamanya, mereka mendekati 700 keluarga yang terusir dari rumah sewa mereka lantaran tanah perumahan itu akan diratakan bagi pembangunan sebuah kilang container. Karuan saja ke-700 keluarga ini memberikan suaranya untuk kaum oposisi. Jeyaratnam sendiri memenangkan 52% dari jumlah suara pemilih. Dalam posisi yang sukar ini ia senantiasa siap menghadapi setiap ancaman. Setengah bercanda ia menamakan dirinya "domba pengorbanan." Mungkin juga tidak banyak yang mendengar suaranya. "Tapi harus ada yang tampil untuk menyatakan, bahwa pemerintah Singapura sekarang ini menahan lima ribu orang tanpa perkara," katanya "Rakyat tak tahu betul apa yang terjadi di negeri ini. Mereka hanya melihat jalan raya yang bersih dan gedung-gedung menjulang. Mereka tak tahu bahwa di sini pun rakyat kelaparan." Namun sampai sebegitu jauh, Jeyaratnam tampaknya masih percaya pada jalan konstitusional. "Rakyat akhirnya akan menggulingkan pemerintahan ini," katanya, tetapi tetap "melalui kotak pemungutan suara." Sementara itu, roh Konfusius agaknya masih boleh tenang mengembara di kota yang riuh dan gemerlapan itu. Di sana sini ia tersenyum, mengangguk-angguk seraya membelai jengggot, kendati pemerintah Singapura secara resmi tak mengakui ajarannya sebagai kiblat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini