Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Mencetak gambar dengan batu

Pameran litografi di hotel sari pacific, jakarta hasil penemuan alois senefelder. dikembangkan oleh para penulis, dengan prinsip cetak batu ini dilahir kan cetak offset. (sr)

10 April 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TERSEBUTLAH nama Alois Senefelder. Orang ini (1771-1834), tak lebih seorang penulis sandiwara yang miskin dan tidak terkenal. Ia tinggal di ustralia. Ceritanya, suatu hari ia bingung mencari cara memperbanyak naskahnya. Ia tak mampu membayar percetakan. Mesin cetak waktu itu memang sudah ada, tapi belum menjadi industn murah. Proses pencetakan belum sepraktis dan secepat sekarang, dan karena itu ongkosnya amat mahal. Untung Tuhan mendatangkan ilham. Suatu hari Senefelder mencoret-coret selempeng batu dengan semacam lilin. Tiba-tiba terlihat: bila batu itu diguyur air, bagian yang tergores lilin tetap kering, sementara yang kena air basah. Tapi, sebaliknya, bagian lilin itu bisa menyerap minyak. Nah: bagaimana kalau ia membuat induk cetakan (matres) dari batu? Selama ini ia memang banyak kecewa: usaha mencetak sendiri naskahnya selalu tidak memuaskan. Cetak dengan matres kayu atau seng atau tembaga, karena harus digores atau dicukil, prosesnya lama. Sedang matresnya baru beberapa kali dipakai sudah rusak. Yang kemudian dikerjakan Senefelder selama dua tahun adalah percobaan. Dan akhirnya, ditemukanlah lithografi itu (lithos = batu), alias cetak batu, pada 1796. Kuncinya: Senefelder berhasil menemukan jenis batu yang tidak menyerap air maupun minyak. Tapi bila digores dengan sejenis lilin, pada goresan itu minyak meresap. Jadi bisa menampung tinta cetak. Di lantai IV Hotel Sari Pacific, Jakarta, 31 Maret - 9 April, buah dari penemuan tokoh abad XVIII itu diperlihatkan -- dalam sebuah pameran yang langka, yang juga dikelilingkan di berbagai kota. Di situ terbukti, cara mencetak dengan batu ini memungkinkan lahirnya karya seni grafis dengan karakter berbeda-beda. Ada yang jadinya seperti cat air, seperti pensil, seperti pena, seperti cat minyak atau seperti pastel. Hal yang tak mungkin dibuat dengan teknik cetak yang lain. Di abad XVIII sendiri, banyak orang yang terlibat usaha pembuatan gambar menengok pada cetak batu ini. Kecuali produksinya waktu itu lebih cepat, pun lithografi memungkinkan pembuatan poster-poster pertunjukan maupun selebaran pengumuman, pamflet politik dan sebangsanya. Dengan biaya murah lagi. Poster Berwarna Bahkan beramai-ramai para pelukis mencobanya. Ada yang kemudian berjasa besar pelukis Toulouse Lautrec (1864-1901). Lautrec, yang suka pula membuat poster pertunjukan (bahkan dikenal sebagai moyang poster modern) mengadakan eksperimen membuat poster berwarna dengan cetak batu. Hasilnya menakjubkan. Warna cat ternyata tetap cemerlang, misalnya bila dibanding dengan cetak (cukilan) kayu dan logam (seng atau tembaga). Itulah mulanya. Tapi teknologi berkembang terus dan mesin cetak makin sempurna. 1868 diketemukan sistem cetak rotari. yang dalam waktu singkat bisa mencetak ratusan lembar. Bahkan prinsip lithografi yang ditemukan Senefelder itu dikembangkan pula hingga menjadi yang kini disebut cetak offset. Dari sini satu jam bisa dicetak sekitar 10 ribu eksemplar. Buat apa cetak batu yang kolot itu? Tapi itu bila yang dipandang hanya produktivitasnya. Bukan 'seni' -nya. Nyatanya, beberapa dari sekian banyak bengkel lithografi yang berdiri di Paris, di akhir abad ke-19, sampai kini masih aktif. Salah satunya Bengkel Mourlot - didirikan dan dikelola keluarga Mourlot turun-temurun - yang koleksinya dipamerkan di Hotel Sari Pacific itu. Bengkel ini mulai melayani pesanan cetak litho 1880. Karena bonafiditas mereka Atelier Mourlot -- demikian disebut - jadi kesohor. Lebih-lebih setelah para pelukis terkenal pun mencetakkan di mana: Chagall, Dufy, Picasso, Hartung, Miro, Vasarely, Matisse, Georges Rouault misalnya. Dan agaknya itu sebabnya mengapa cetak batu tidak mati. Keasyikan menggosok-gosok batu, mengerolnya dengan cat, kemudian mengepres kertas dan memperoleh gambar yang diinginkan, rupanya tetap menarik bagi banyak seniman. Di Indonesia sendiri, batu Senefelder hanya ada di Senirupa ITB dan Sekolah Tinggi Senirupa Indonesia 'Asri' Yogya -- impor, tentu saja. Dan sayang mahasiswa senirupa kita agaknya tak begitu suka menggosok-gosok batu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus