TERSEBUTLAH nama Alois Senefelder. Orang ini (1771-1834), tak
lebih seorang penulis sandiwara yang miskin dan tidak terkenal.
Ia tinggal di ustralia. Ceritanya, suatu hari ia bingung
mencari cara memperbanyak naskahnya. Ia tak mampu membayar
percetakan. Mesin cetak waktu itu memang sudah ada, tapi belum
menjadi industn murah. Proses pencetakan belum sepraktis dan
secepat sekarang, dan karena itu ongkosnya amat mahal.
Untung Tuhan mendatangkan ilham. Suatu hari Senefelder
mencoret-coret selempeng batu dengan semacam lilin. Tiba-tiba
terlihat: bila batu itu diguyur air, bagian yang tergores lilin
tetap kering, sementara yang kena air basah. Tapi, sebaliknya,
bagian lilin itu bisa menyerap minyak. Nah: bagaimana kalau ia
membuat induk cetakan (matres) dari batu?
Selama ini ia memang banyak kecewa: usaha mencetak sendiri
naskahnya selalu tidak memuaskan. Cetak dengan matres kayu atau
seng atau tembaga, karena harus digores atau dicukil, prosesnya
lama. Sedang matresnya baru beberapa kali dipakai sudah rusak.
Yang kemudian dikerjakan Senefelder selama dua tahun adalah
percobaan. Dan akhirnya, ditemukanlah lithografi itu (lithos =
batu), alias cetak batu, pada 1796. Kuncinya: Senefelder
berhasil menemukan jenis batu yang tidak menyerap air maupun
minyak. Tapi bila digores dengan sejenis lilin, pada goresan itu
minyak meresap. Jadi bisa menampung tinta cetak.
Di lantai IV Hotel Sari Pacific, Jakarta, 31 Maret - 9 April,
buah dari penemuan tokoh abad XVIII itu diperlihatkan -- dalam
sebuah pameran yang langka, yang juga dikelilingkan di berbagai
kota. Di situ terbukti, cara mencetak dengan batu ini
memungkinkan lahirnya karya seni grafis dengan karakter
berbeda-beda. Ada yang jadinya seperti cat air, seperti pensil,
seperti pena, seperti cat minyak atau seperti pastel. Hal yang
tak mungkin dibuat dengan teknik cetak yang lain.
Di abad XVIII sendiri, banyak orang yang terlibat usaha
pembuatan gambar menengok pada cetak batu ini. Kecuali
produksinya waktu itu lebih cepat, pun lithografi memungkinkan
pembuatan poster-poster pertunjukan maupun selebaran pengumuman,
pamflet politik dan sebangsanya. Dengan biaya murah lagi.
Poster Berwarna
Bahkan beramai-ramai para pelukis mencobanya. Ada yang kemudian
berjasa besar pelukis Toulouse Lautrec (1864-1901). Lautrec,
yang suka pula membuat poster pertunjukan (bahkan dikenal
sebagai moyang poster modern) mengadakan eksperimen membuat
poster berwarna dengan cetak batu. Hasilnya menakjubkan. Warna
cat ternyata tetap cemerlang, misalnya bila dibanding dengan
cetak (cukilan) kayu dan logam (seng atau tembaga). Itulah
mulanya.
Tapi teknologi berkembang terus dan mesin cetak makin sempurna.
1868 diketemukan sistem cetak rotari. yang dalam waktu singkat
bisa mencetak ratusan lembar. Bahkan prinsip lithografi yang
ditemukan Senefelder itu dikembangkan pula hingga menjadi yang
kini disebut cetak offset. Dari sini satu jam bisa dicetak
sekitar 10 ribu eksemplar. Buat apa cetak batu yang kolot itu?
Tapi itu bila yang dipandang hanya produktivitasnya. Bukan
'seni' -nya. Nyatanya, beberapa dari sekian banyak bengkel
lithografi yang berdiri di Paris, di akhir abad ke-19, sampai
kini masih aktif. Salah satunya Bengkel Mourlot - didirikan dan
dikelola keluarga Mourlot turun-temurun - yang koleksinya
dipamerkan di Hotel Sari Pacific itu. Bengkel ini mulai melayani
pesanan cetak litho 1880. Karena bonafiditas mereka Atelier
Mourlot -- demikian disebut - jadi kesohor. Lebih-lebih setelah
para pelukis terkenal pun mencetakkan di mana: Chagall, Dufy,
Picasso, Hartung, Miro, Vasarely, Matisse, Georges Rouault
misalnya.
Dan agaknya itu sebabnya mengapa cetak batu tidak mati.
Keasyikan menggosok-gosok batu, mengerolnya dengan cat, kemudian
mengepres kertas dan memperoleh gambar yang diinginkan, rupanya
tetap menarik bagi banyak seniman.
Di Indonesia sendiri, batu Senefelder hanya ada di Senirupa ITB
dan Sekolah Tinggi Senirupa Indonesia 'Asri' Yogya -- impor,
tentu saja. Dan sayang mahasiswa senirupa kita agaknya tak
begitu suka menggosok-gosok batu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini