Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Di sini nganggur, di sana nguli

Laporan toeti kakiailatu tentang tenaga kerja gelap di australia. tenaga kerja indonesia disenangi karena tak banyak ulah. tapi mereka suka foya-foya dengan pelacur dan ke tempat judi.

22 Mei 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Cukup banyak orang Indonesia mengembara ke Australia. Toeti Kakialatu beberapa waktu lamanya tinggal bersama mereka. Dibawah ini adalah laporannya: Me looking for job."Overtime yes" ujar Nurdin (nama samaran) setelah sebulan "berlibur" di Australia. Sambil menjentikan jari-jemarinya, ia menebalkan keberaniannya: "Overtime yes .Money, money. Me No English". Biar pun Bahasa Inggeris Nurdin patah-patah, pegawai pabrik di Sydney tahu maksudnya Pemuda Indonesia ini cari kerja. Tanpa dites atau ditanya surat-surat keterangan, pabrik atau tempat-tempat kerja lain yang memerlukan buruh kasar rupanya sudah terbiasa mempekerjakan orang Indonesia. Manila, Muangthai atau orang Asia lainnya. Mereka ini pekerja gelap, mendapat visa tiga bulan, boleh tinggal di Australia. Dalam paspornya jelas ada cap: dilarang kerja. Tapi pabrik ini memang membutuhkan tenaga kerja. Enaknya pula: karena gelap, tidak begitu terikat benar akan peraturan perlindungan buruh. Banyak Melayu-Melayu (demikian biasanya kita menyebut diri kalau di rantau) seperti Nurdin. Umur sekita 10 - 30 tahun, tamatan SMA, pernah duduk di perguruan tinggi setahun dua pergi mencari nasib yang lebih baik di benua selatan karena di negerinya sendiri menganggur. Kalaupun di Indonesia mereka sudah kerja kantoran, gaji dan pola konsumen mereka tidak seimbang. Dan Nurdin pun berterus-terang: "Modal saya yang utama keberaniam Kalau saya melamar lantas mendengar kata sorry, itu alamat tidak dapat kerja". Murah Senyum Australia memang wadah untuk orang cari kerja. Dengan visa 3 bulan biasanya mereka berhasil tinggal sampai tahunan. Bukan saja yang berasal dari Asia (biasanya Pilipina, Muangthai, Vietnam dan Indonesia), tapi juga orang-orang Itali, Yunani, Yugoslavia. Bagi yang terakhir, karena warna kulit yang sama, sulit untuk diteliti atau ditangkap. "Kami biasanya mengaku orang Malaysia dan memang kami banyak yang lantas ganti nama", kata Joko, teman Nurdin, "sebab dengan dasar sesama Negara Persemakmuran, segalanya bisa lebih cepat beres". Karena mereka tidak mempunyai keahlian kerja apa pun, bahkan pengalaman kerja nol (atau juga pernah kerja di kapal,lapangan kerja yang terbuka ialah:cleaners, procees workers,pelayan toko atau hotel dan lapangan kerja lain yang memerlukan tenaga kasar. Biasanya orang Indonesia banyak diterima karena mereka tidak banyak cincong dalam hal gaji, rajin, tidak sering membolos, dan satu hal lagi: murah senyum. Biar pun kena marah-- karena toh tidak tahu apa yang diomelkan oleh boss. Disuruh kerja tambahan di luar bidangnya, juga tidak menolak. Rata-rata gaji mereka sekitar 80-100 dollar Australia seminggu. sewa rumah (patungan bersama yang lain) dan makan, habis sekitar 30 dollar. Sisanya, nah, di sinilah yang oleh kebanyakan orang Australia disebut sebagai "tetap hidup cara Melayu". Bukan saja makan nasi (yang berarti uang keluar lebih banyak ketimbang makan roti atau kentang) mereka juga jarang yang berniat menabung. Dengan kata lain: foya-foya, Baju harus perlente, bahkan ada yang baru kerja tiga bulan saja sudah bermobil. Jarang yang bermaksud menambah kepandaian dengan kursus atau sekolah malam. Tidak jarang yang menghabiskan hari Sabtu dan Minggunya di Pecinan untuk berjudi (dan judi tidak legal di sana). Atau ke Pub, tenggelam dalam minuman keras. Pergaulan mereka terbatas antara mereka saja atau ke hurry up girls - itu pelacur-pelacur (juga ilegal) yang banyak berdiri di sepanjang jalan, misalnya di Kingscross, Sydney. Jadi bisa dibayangkam demikian hari Senin tiba, uang sudah tingal berapa dolar saja, sebab untuk sekali pergi ke si Hrry-Up, paling tidak keluar 15 dollar. Berita memburu nasib lebih baik bermula berasal dari turis-turis muda Australia yang berbaring-baring di pantai Kuta, Bali atau yang bersandal karet di sekitar Kebon Sirih, Jakarta. Tahun 1973, jumlah orang Indonesia yang mengalir ke selatan makin bertambah. Tujuan:kerja apa saja. Harga tiket terbang ke sana, relatif tidak mahal. Tiket pulang-pergi sekitar Rp 300.000 itu mereka dapat dari jual motor, atau minta pada orangtua. Bahkan ada pula orang tuanya yang sampai menggadaikan tanah untuk ongkos "belajar" ke Australia. Tentu saja yang benar-benar belajar di sana tidak semuanya lantas jadi pekerja gelap. Sebab mereka adalah anak-anak kelas menengah atau mempunyai orangtua yang tidak tergolong melarat. Sampai di salah satu kota di sana, biasanya sudah ada alamat yang dituju. Entah orang Australia yang mereka kencani di Yogya atau Bali atau Bandung, atau hasil surat-suratan dengan teman yang terlebih dahulu eksodus ke sana. Setelah cukup lihat ,sana dan tengok sini, niat cari kerja pun sudah mantap. Terutama lewat harian Sydney Morning Herald yang memuat iklan "dicari tenaga kerja serabutan' (yang diiklankan setiap Rabu dan Sabtu). Mendengar betapa nikmatnya hidup di Australia, tahun 1974 jumlah orang Indonesia yang ke sana bertambah. Naas bagi para pekerja gelap ini, ketika bencana alam melanda Darwin di hari Natal tahun 1974. Kota yang porak-poranda itu juga membuka tabir penduduk gelap (yang visanya habis) - dari berbagai bangsa. Mingguan the Australian waktu itu memperkirakan ada sekitar 50.000 orang imigran gelap tinggal di sana. Tidak ada yang tahu pasti berapa jumlah yang tepat, termasuk yang berkebangsaan Indonesia. Sejak saat itu, dimulailah pembersihan besar-besaran. Sampai polisi Commonwealth harus turun tangan ikut merazia para pekerja gelap ini. Polisi rasanya tidak begitu sulit menangkap Melayu-Melayu. Bukan saja karena rupa dan baju parlente mereka, tapi sering mereka ketangkap karena mengendarai mobil dan salah jalan pula. Mereka juga tertangkap basah di tempat-tempat seperti Dixton Street di Newton (di mana bermukim judi liar) bar-bar, toko-toko seks, disko di sekitar Kingscross atau Redfern di Sydney. Polisi juga mengamat-amati rumah-rumah yang selalu ramai dengan musik atau ketawa nyaring. Rupanya falsafah "makan atau tidak asal kumpul" berlaku juga. Sebuah rumah yang disewa bersama, selain jadi lebih murah, banyak yang muat penghuni sampai lebih dari 10 orang. Bahkan Nurdin mengaku pernah menyewa di satu kamar saja yang berisi pemuda Indonesia sampai 16 orang! Walhasil, hidup toh tidak bisa mereka nikmati secara bebas. "Saya sampai memilih kerja malam hari, agar tidal ditangkap polisi", ujar Nurdin. Yang lain ada pula mengeluh: "Kami hidup seperti maling. Takut ketangkap. Ke mana saja tidak bebas, tidak tenteram". Mereka juga tidak berani nonton bioskop, apalagi jalan-Jalan. Dunia mereka hanyalah: tempat kerja dan rumah, yang sekalian sebagai persembunyian. Sering kalau terjadi penggrebegan di rumah. yang sempat meloncat jendela (dengan teriakan kode "awas ada lurah") terpaksa tidak berani pulang lalu ngendon di tempat teman yang lain. "Kami tidak mempunyai pemimpin atau pelindung. Biasanya rasa solider timbul karena senasib. Orang kedutaan tidak bisa kami harapkan, karena mereka terlalu ombong dan selalu mengira kami mau minta duit", cerita Nurdin. "Pak Balfas dulu penasehat kami. Sayang dia sudah meninggal", ujar yang lain. Ditambah dengan semakin banyaknya jumlah pengangguran di Australia,kerja apa saja jadi semakin sulit. Mal pulang kampung malu, karena hasil nihil di rantau. Lima tahun yang lalu. mereka biasanya bisa memperpanjang visa tiga kali tiga bulan. Lebih dari jangka waktu itu, perpanjangan visa masih bisa ditolerir. Apalagi kalau memperlihatkan buku simpanan di banhk resi kiriman uang dari orangtua atau paling tidak bawa saja orang Australia yang dijadikan sebagai tanggungan. Tapi cara terakhir ini tidak berlaku lagi. Tibalah masa kampanye di akhir tahun kemarin, Partai Liberal berjanji, kalau menang, para imigran gelap akan diberi amnesti. Soal amnesti ini juga pernah dijanjikan ketika Partai Buruh mengadakan kampanye. Hasilnya: dari sekian puluh ribu pekerja gelap, hanya 50 orang saja yang melapor. Tahun berikutnya, cuma 370 orang. Pemerintah raser memberi waktu sampai akhir April kemarin, untuk memenuhi janjinya ketika kampanye. Akhir April kemarin, 8.476 orang dari 82 kebangsaan telah diberi amnesti oleh Pemerintah Australia. Belum diketahui pasti dari jumlah tersebut, beberapa Melayu yang telah diberi ijin menetap. Soahlya mereka takut. Kalau melapor malah dijebak lalu ditangkap. Sebelum soal amnesti dijadikan kampanye politik, mereka yang ketangkap langsung disuruh pulang. Tentu harus mendekap dulu di sel penjara beberapa malam atau dibawa ke Manly, tempat orang-orang yang dideportasi dikumpulkan. Bagi orang Indonesia, biasanya pemerintah Australia menunggu kalau-kalau ada pesawat Hercules (yang membantu membangun kembali kota Darwin) mendarat. Dengan pesawat ini mereka diangkut secara gratis. Kalau Deportasi terjadi, berarti mereka tidak bisa lagi berkunjung ke Australia karena namanya sudah masuk daftar hitam. Kecuali mengganti paspor dan ganti nama. Kalau bisa. Syarat bagi yang diberi amnesti untuk tinggal lebih lama adalah: sebelum Januari 1975 telah berada di Australia pada bulan-bulan terakhir mempunyai pekerjaan dan selama berdiam di Australia belum pernah berurusan dengan polisi. Beberapa pemuda Indonesia yang punya nyali telah melapor ke Jawatan Imigrasi setempat. Mereka memang diberi amnesti. Tapi kini timbul persoalan baru. Biar pun bebas kluyuran ke mana saja, "apakah saya ini sekian puluh tahun tetap bekerja di pabrik sebagai buruh kasar?", keluh salah seorang. Dan kini dia mulai berpikir: "Di tanah air tadi penganggur, di sini jadi kuli. Berabe deh.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus