Cukup banyak orang Indonesia mengembara ke Australia. Toeti
Kakialatu beberapa waktu lamanya tinggal bersama mereka. Dibawah
ini adalah laporannya:
Me looking for job."Overtime yes" ujar Nurdin (nama
samaran) setelah sebulan "berlibur" di Australia. Sambil
menjentikan jari-jemarinya, ia menebalkan keberaniannya:
"Overtime yes .Money, money. Me No English". Biar pun Bahasa
Inggeris Nurdin patah-patah, pegawai pabrik di Sydney tahu
maksudnya Pemuda Indonesia ini cari kerja. Tanpa dites atau
ditanya surat-surat keterangan, pabrik atau tempat-tempat kerja
lain yang memerlukan buruh kasar rupanya sudah terbiasa
mempekerjakan orang Indonesia. Manila, Muangthai atau orang Asia
lainnya. Mereka ini pekerja gelap, mendapat visa tiga bulan,
boleh tinggal di Australia. Dalam paspornya jelas ada cap:
dilarang kerja. Tapi pabrik ini memang membutuhkan tenaga kerja.
Enaknya pula: karena gelap, tidak begitu terikat benar akan
peraturan perlindungan buruh.
Banyak Melayu-Melayu (demikian biasanya kita menyebut diri kalau
di rantau) seperti Nurdin. Umur sekita 10 - 30 tahun, tamatan
SMA, pernah duduk di perguruan tinggi setahun dua pergi mencari
nasib yang lebih baik di benua selatan karena di negerinya
sendiri menganggur. Kalaupun di Indonesia mereka sudah kerja
kantoran, gaji dan pola konsumen mereka tidak seimbang. Dan
Nurdin pun berterus-terang: "Modal saya yang utama keberaniam
Kalau saya melamar lantas mendengar kata sorry, itu alamat
tidak dapat kerja".
Murah Senyum
Australia memang wadah untuk orang cari kerja. Dengan visa 3
bulan biasanya mereka berhasil tinggal sampai tahunan. Bukan
saja yang berasal dari Asia (biasanya Pilipina, Muangthai,
Vietnam dan Indonesia), tapi juga orang-orang Itali, Yunani,
Yugoslavia. Bagi yang terakhir, karena warna kulit yang sama,
sulit untuk diteliti atau ditangkap. "Kami biasanya mengaku
orang Malaysia dan memang kami banyak yang lantas ganti nama",
kata Joko, teman Nurdin, "sebab dengan dasar sesama Negara
Persemakmuran, segalanya bisa lebih cepat beres". Karena mereka
tidak mempunyai keahlian kerja apa pun, bahkan pengalaman
kerja nol (atau juga pernah kerja di kapal,lapangan kerja yang
terbuka ialah:cleaners, procees workers,pelayan toko atau
hotel dan lapangan kerja lain yang memerlukan tenaga kasar.
Biasanya orang Indonesia banyak diterima karena mereka tidak
banyak cincong dalam hal gaji, rajin, tidak sering membolos,
dan satu hal lagi: murah senyum. Biar pun kena marah-- karena
toh tidak tahu apa yang diomelkan oleh boss. Disuruh kerja
tambahan di luar bidangnya, juga tidak menolak.
Rata-rata gaji mereka sekitar 80-100 dollar Australia seminggu.
sewa rumah (patungan bersama yang lain) dan makan, habis sekitar
30 dollar. Sisanya, nah, di sinilah yang oleh kebanyakan orang
Australia disebut sebagai "tetap hidup cara Melayu". Bukan saja
makan nasi (yang berarti uang keluar lebih banyak ketimbang
makan roti atau kentang) mereka juga jarang yang berniat
menabung. Dengan kata lain: foya-foya, Baju harus perlente,
bahkan ada yang baru kerja tiga bulan saja sudah bermobil.
Jarang yang bermaksud menambah kepandaian dengan kursus atau
sekolah malam. Tidak jarang yang menghabiskan hari Sabtu dan
Minggunya di Pecinan untuk berjudi (dan judi tidak legal di
sana). Atau ke Pub, tenggelam dalam minuman keras. Pergaulan
mereka terbatas antara mereka saja atau ke hurry up girls - itu
pelacur-pelacur (juga ilegal) yang banyak berdiri di sepanjang
jalan, misalnya di Kingscross, Sydney. Jadi bisa dibayangkam
demikian hari Senin tiba, uang sudah tingal berapa dolar saja,
sebab untuk sekali pergi ke si Hrry-Up, paling tidak keluar 15
dollar.
Berita memburu nasib lebih baik bermula berasal dari turis-turis
muda Australia yang berbaring-baring di pantai Kuta, Bali atau
yang bersandal karet di sekitar Kebon Sirih, Jakarta. Tahun
1973, jumlah orang Indonesia yang mengalir ke selatan makin
bertambah. Tujuan:kerja apa saja. Harga tiket terbang ke sana,
relatif tidak mahal. Tiket pulang-pergi sekitar Rp 300.000 itu
mereka dapat dari jual motor, atau minta pada orangtua. Bahkan
ada pula orang tuanya yang sampai menggadaikan tanah untuk
ongkos "belajar" ke Australia. Tentu saja yang benar-benar
belajar di sana tidak semuanya lantas jadi pekerja gelap. Sebab
mereka adalah anak-anak kelas menengah atau mempunyai orangtua
yang tidak tergolong melarat.
Sampai di salah satu kota di sana, biasanya sudah ada alamat
yang dituju. Entah orang Australia yang mereka kencani di Yogya
atau Bali atau Bandung, atau hasil surat-suratan dengan teman
yang terlebih dahulu eksodus ke sana. Setelah cukup lihat ,sana
dan tengok sini, niat cari kerja pun sudah mantap. Terutama
lewat harian Sydney Morning Herald yang memuat iklan "dicari
tenaga kerja serabutan' (yang diiklankan setiap Rabu dan Sabtu).
Mendengar betapa nikmatnya hidup di Australia, tahun 1974 jumlah
orang Indonesia yang ke sana bertambah. Naas bagi para pekerja
gelap ini, ketika bencana alam melanda Darwin di hari Natal
tahun 1974. Kota yang porak-poranda itu juga membuka tabir
penduduk gelap (yang visanya habis) - dari berbagai bangsa.
Mingguan the Australian waktu itu memperkirakan ada sekitar
50.000 orang imigran gelap tinggal di sana.
Tidak ada yang tahu pasti berapa jumlah yang tepat, termasuk
yang berkebangsaan Indonesia. Sejak saat itu, dimulailah
pembersihan besar-besaran. Sampai polisi Commonwealth harus
turun tangan ikut merazia para pekerja gelap ini. Polisi rasanya
tidak begitu sulit menangkap Melayu-Melayu. Bukan saja karena
rupa dan baju parlente mereka, tapi sering mereka ketangkap
karena mengendarai mobil dan salah jalan pula. Mereka juga
tertangkap basah di tempat-tempat seperti Dixton Street di
Newton (di mana bermukim judi liar) bar-bar, toko-toko seks,
disko di sekitar Kingscross atau Redfern di Sydney. Polisi juga
mengamat-amati rumah-rumah yang selalu ramai dengan musik atau
ketawa nyaring. Rupanya falsafah "makan atau tidak asal kumpul"
berlaku juga. Sebuah rumah yang disewa bersama, selain jadi
lebih murah, banyak yang muat penghuni sampai lebih dari 10
orang. Bahkan Nurdin mengaku pernah menyewa di satu kamar saja
yang berisi pemuda Indonesia sampai 16 orang!
Walhasil, hidup toh tidak bisa mereka nikmati secara bebas.
"Saya sampai memilih kerja malam hari, agar tidal ditangkap
polisi", ujar Nurdin. Yang lain ada pula mengeluh: "Kami hidup
seperti maling. Takut ketangkap. Ke mana saja tidak bebas, tidak
tenteram". Mereka juga tidak berani nonton bioskop, apalagi
jalan-Jalan. Dunia mereka hanyalah: tempat kerja dan rumah, yang
sekalian sebagai persembunyian. Sering kalau terjadi
penggrebegan di rumah. yang sempat meloncat jendela (dengan
teriakan kode "awas ada lurah") terpaksa tidak berani pulang
lalu ngendon di tempat teman yang lain. "Kami tidak mempunyai
pemimpin atau pelindung. Biasanya rasa solider timbul karena
senasib. Orang kedutaan tidak bisa kami harapkan, karena mereka
terlalu ombong dan selalu mengira kami mau minta duit", cerita
Nurdin. "Pak Balfas dulu penasehat kami. Sayang dia sudah
meninggal", ujar yang lain.
Ditambah dengan semakin banyaknya jumlah pengangguran di
Australia,kerja apa saja jadi semakin sulit. Mal pulang kampung
malu, karena hasil nihil di rantau. Lima tahun yang lalu. mereka
biasanya bisa memperpanjang visa tiga kali tiga bulan. Lebih
dari jangka waktu itu, perpanjangan visa masih bisa ditolerir.
Apalagi kalau memperlihatkan buku simpanan di banhk resi kiriman
uang dari orangtua atau paling tidak bawa saja orang Australia
yang dijadikan sebagai tanggungan. Tapi cara terakhir ini tidak
berlaku lagi.
Tibalah masa kampanye di akhir tahun kemarin, Partai Liberal
berjanji, kalau menang, para imigran gelap akan diberi amnesti.
Soal amnesti ini juga pernah dijanjikan ketika Partai Buruh
mengadakan kampanye. Hasilnya: dari sekian puluh ribu pekerja
gelap, hanya 50 orang saja yang melapor. Tahun berikutnya, cuma
370 orang. Pemerintah raser memberi waktu sampai akhir April
kemarin, untuk memenuhi janjinya ketika kampanye. Akhir April
kemarin, 8.476 orang dari 82 kebangsaan telah diberi amnesti
oleh Pemerintah Australia. Belum diketahui pasti dari jumlah
tersebut, beberapa Melayu yang telah diberi ijin menetap.
Soahlya mereka takut. Kalau melapor malah dijebak lalu
ditangkap. Sebelum soal amnesti dijadikan kampanye politik,
mereka yang ketangkap langsung disuruh pulang. Tentu harus
mendekap dulu di sel penjara beberapa malam atau dibawa ke
Manly, tempat orang-orang yang dideportasi dikumpulkan. Bagi
orang Indonesia, biasanya pemerintah Australia menunggu
kalau-kalau ada pesawat Hercules (yang membantu membangun
kembali kota Darwin) mendarat. Dengan pesawat ini mereka
diangkut secara gratis. Kalau Deportasi terjadi, berarti mereka
tidak bisa lagi berkunjung ke Australia karena namanya sudah
masuk daftar hitam. Kecuali mengganti paspor dan ganti nama.
Kalau bisa.
Syarat bagi yang diberi amnesti untuk tinggal lebih lama adalah:
sebelum Januari 1975 telah berada di Australia pada bulan-bulan
terakhir mempunyai pekerjaan dan selama berdiam di Australia
belum pernah berurusan dengan polisi. Beberapa pemuda Indonesia
yang punya nyali telah melapor ke Jawatan Imigrasi setempat.
Mereka memang diberi amnesti. Tapi kini timbul persoalan baru.
Biar pun bebas kluyuran ke mana saja, "apakah saya ini sekian
puluh tahun tetap bekerja di pabrik sebagai buruh kasar?", keluh
salah seorang. Dan kini dia mulai berpikir: "Di tanah air tadi
penganggur, di sini jadi kuli. Berabe deh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini