SELAIN karena timah, Belitung dikenal karena keramiknya.
Wajar. Sebab pabriknya sudah mendekam di sana sejak 1953.
Berarti seperempat abad sudah keramik-keramik Belitung dikenal
orang. Bahkan di tahun 1960-an orang merasa bangga menyimpannya
di rumah. Karena mutunya dianggap tak berbeda dengan keramik
atau porselen asal negara-negara penghasil keramik tradisionil
lainnya di Asia, seperti RRC, Taiwan dan Jepang.Hingga
orang-orang kelas atas pun tak segan segan memajangnya.
Padahal demam barang impor bukan tak sedang melanda
orang-orang kita. Maka asbak model sepatu popy perhiasan
model kendi tiruan motif dynasti Tang, jadi kebanggan.
Maka zaman pun merubah kedudukan tinggi yang pernah dicapai
keramik-keramik Belitung. Barang pecah-belahnya kena desak
barang-barang porselen asal RRC, Taiwan negeri nenek-moyang
porselen atau keramik itu sendiri. Yang membanjiri pasar
Indonesia dengan cara menekan harga. Meski sudah terasa sejak
1965 sampai 1969, saat-saat tertegunnya industri keramik
Belitung, tapi baru 1974 perusahaan keramik Indonesia yang
lumayan menonjol Keramik Indonesia Asosiasi PT, menyetop
membikin barang pecah-belahnya karena tak tahan bersaing.
Sedikit-sedikit keramik motif Belitung pun hilang dari
pasaran.Sekarang ini di pasaran orang sudah sukar menemukan
piring, mangkuk, perhiasan-perhiasan keramik dan lainnya dengan
motif Belitung. Barang-barang seperti itu kini cuma sekedar jadi
barang pameran di Kantor pusat industrinya di Belitung.
Memang tak berarti industri keramik Belitung berhenti sampai di
situ. Sebab jiwa orang berdagang biasanya tak kenal kapok. Tak
laku dalam suatu jenis produksi, harus mampu beralih ke produksi
yang bisa mengeruk untung. Dan kebetulan industri keramik
Belitung selain menghasilkan barang pecah belah sebagai produksi
utama secara sambilan membikin juga barang-barang buat
keperluan pembangunan dan sanitair. Seperti closet, bowl,
wastafel dan lainnya kini dirubah kedudukannya jadi produksi
utamanya. Kebalikan dari waktu-waktu sebelumnya. Begitulah di
permulaan banting stirnya Januari 1974.60 ribu tegel dan 350
barang sanitair bisa dihasilkan.
Usaha Rakyat
Meski dalam hal martabatnya, tak setinggi barang pecah-belah
atau perhiasan yang biasa dipajang di tempat-tempat
terhormat--dalam hal pasaran tegel dan barang sanitair, ternyata
memaksa perusahaan bekerja meningkatkan produksinya. Hingga
1974, ternyata tak kurang 2,5 juta tegel rata-rata per bulan
harus diolahnya. Dan di tahun 1975 per bulannya sudah sekitar 3
juta tegel dan 10 ribu sanitair mesti dihasilkan. Di 1976 ini
diperkirakan akan mencapai 3,5 juta tegel dan 15 ribu sanitair
per bulanya.
Laju menanjaknya lumayan meyakinkan. Apalagi daerah pasarannya
terdiri kota-kota besar Jakarta, Medan, Surabaya, Bandung,
Semarang, Ujung Pandang masih memperlihatkan kebutuhan yang
makin meningkat. Ini mendorong pemakaian mesin-mesin terbaru
sementara tenaga kerja yang selama ini mendapat bantuan teknisi
Belanda, berangsur-angsur diganti dengan tenaga Indonesia
sendiri.
Sudan tentu kekhawatiran munculnya saingan seperti dialami
waktu-waktu dahulu, bukan tak terfikirkan. Karena itu
perusahaan ini kini juga membuka usaha pembikinan kaolin,salah
satu bahan keramik. Selama ini perusahaan itu sendiri
mendapatkan bahan ini dari luar. Yakni dari usaha rakyat yang
jumlahnya belasan di sana. Tentu saja usana rakyat tersebut kini
menjadi merana. Tapi tampaknya itu perusahaan keramik tak mau
ambil peduli. Toh ia cukup tertekan dengan tingginya bahan baku
lainya yang masih harus diimpor. Seperti calsphat,glaze, satin
(pewarna), fritt (pemberi kilap). Atau boleh jadi ia melihat
sumber keuntungan lain. Karena kaolin ini bisa dijual ke
industri-industri yang juga menggunakan bahan baku tersebut:
industri cat, plastik dan kosmetik. Bukan tak mungkin pula suatu
waktu yang tinggal hanyalah kaolin Belitung. Bukan keramik
Belitung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini