Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI SEBUAH tikungan, tiga truk bermuatan pasukan Gegana Brigade Mobil itu tiba-tiba disergap. Mereka diberondong dengan senapan otomatis oleh segerombolan pengacau bertopeng yang bertiarap di pinggir jalan. Tapi, pasukan tempur milik Polri itu tidak gentar. Dengan sigap, puluhan anggota Brimob yang bersenjata senapan baru AK-101 meloncat keluar dan berpencar. Lalu, sambil berguling, mereka membalas serangan itu. Di tengah hujan peluru, dua anggota pengacau terjungkal dan seorang "tewas". Tidak sampai dua menit, pasukan Brimob bisa membuat gerombolan itu lari terbirit-birit.
Peristiwa Jumat pekan lalu itu tidak berlangsung di Aceh, tidak pula di Kalimantan Tengah atau Maluku. Adegan tersebut cuma simulasi yang dipamerkan di Markas Brimob Kelapadua, Jawa Barat, di hadapan sejumlah anggota Komisi I DPR. Hadir juga dalam acara itu Kapolri Jenderal Surojo Bimantoro dan sejumlah petinggi Polri.
Seorang perwira polisi yang menyaksikan atraksi itu tak habis-habisnya mengagumi senapan serbu AK-101. Bentuknya yang ramping, kata perwira tersebut kepada TEMPO, membuat senapan itu ringan, mempergesit gerakan pasukan. Senapan AK-101 juga tidak rewel walau terkena air laut, bahkan terendam lumpur. Dan yang lebih istimewa lagi, senjata itu tetap stabil walau ditembakkan seribu kali.
Senjata jenis AK-47 seri terbaru buatan Rusia itu kini menjadi kebanggaan pasukan Brimob. Selain AK-101, Polri juga membeli AK-102. Bulan lalu, menurut Asisten Perencanaan Polri, Inspektur Polisi James D. Sitorus, sudah datang 4.000 pucuk. Dan akhir bulan ini akan dikirim lagi 10 ribu pucuk.
Tapi, mengapa polisi harus membeli dari Rusia, bekas negara komunis itu, dan bukan dari Pindad saja, yang perusahaan dalam negeri? Kenapa pula perlu melengkapi diri dengan senjata secanggih itu?
Pertanyaan semacam itulah yang kini berada di kepala banyak kalangan, terutama para perwira TNI. Dan segera pula, soal pembelian senjata baru itu menjadi kontroversi luas yang membuka kedok persaingan kian tajam antara TNI dan Polripersaingan laten yang sudah terpendam lama di bawah permukaan.
Mayjen TNI Sudrajat adalah salah seorang petinggi yang mempersoalkan. Dirjen Strategi Pertahanan di Departemen Pertahanan itu menilai "tidak pas kalau Polri membeli senjata serbu". Sebab, kata dia, tugas kepolisian cuma sebatas menangani masalah keamanan dan ketertiban masyarakat.
Di masa lalu, menurut Sudrajat, polisi memang dipersenjatai dengan senapan tempur seperti SS-1 dan M16A1. "Tapi, itu karena polisi dulu menjadi bagian dari ABRI dan sering dilibatkan dalam operasi tempur. Setelah terpisah dari TNI, seharusnya polisi menjadi aparat sipil saja."
Mantan Kapuspen TNI itu juga menyentil soal dana yang dipakai. Sebagai institusi pemerintah, semestinya Polri hanya menggunakan dana anggaran pemerintah untuk menjaga netralitasnya. Jika memakai dana non-anggaran yang tidak jelas sumbernya, kata Sudrajat, lembaga itu bisa menjadi alat kepentingan pihak tertentu. Dia memberi contoh: di masa lalu, Kapolda Metro Jaya dengan bangga mengumumkan sumbangan sepeda motor dari Nyonya Siti Hardijanti Rukmana, putri sulung Presiden Soeharto. "Itu keliru," katanya.
Asisten Perencanaan Polri, James D. Sitorus, menolak tudingan bahwa dana yang dipakai adalah dana non-anggaran. Senjata itu, kata dia, dibeli senilai Rp 400 miliar dengan dana anggaran rutin Polri yang dikucurkan Departemen Keuangan. Para personel kepolisian, menurut Sitorus, harus berkorban: dana untuk membeli senjata itu menyedot anggaran untuk keperluan lainnya, seperti pengadaan barak bagi anggota Brimob. "Kami mengundang Komisi I DPR untuk melihat sendiri keadaan kami," katanya.
Yasril Ananta Baharuddin, Ketua Komisi I DPR, bisa memahami kenapa Polri membeli senjata baru itu. Tuntutan profesionalisme polisi, kata dia, membutuhkan senjata yang lebih canggih. Misalnya, untuk mengatasi kerusuhan di Aceh dan Maluku.
Pengadaan senjata serbu itu memang pernah dibicarakan dalam dua kali rapat kerja DPR dengan Kapolri pada Januari dan pertengahan Februari lalu. Pada waktu itu, kata Yasril dari Fraksi Golkar, pihaknya telah pula mengungkapkan keberatan sementara kalangan TNI terhadap rencana tadi. Namun, DPR akhirnya bisa menerima argumen Kapolri Jenderal Surojo Bimantoro bahwa, "Brimob itu memang seperti militer, pencegah awal sebelum terjadi kerusuhan."
Mayjen Purn. Koesparmono Irsan, mantan Deputi Operasi Kapolri, mendukung Bimantoro. Senjata serbu sejenis AK-17 memang diperlukan karena Polri mempunyai Brimob. "Di negara lain pun dikenal adanya satuan SWAT (special weapon and tactic) yang dilengkapi senjata standar militer. Bahkan, senjata mereka bisa lebih canggih dibanding senjata militer," tuturnya.
Akan halnya kenapa senjata impor yang dipilih dan bukannya produksi dalam negeri buatan PT Pindad, Jenderal Bimantoro pun punya jawaban. Pertimbangannya, seperti ia katakan ketika ditemui TEMPO seusai menyaksikan atraksi Brimob tadi, semata-mata karena lebih murah dan lebih bagus mutunya.
Menurut Koesparmono, senjata buatan Pindad, Bandung, memang bisa berharga tiga kali lipat dari produk luar negeri. "Itu karena Pindad memproduksi senjata dalam jumlah kecil, sehingga kurang efisien."
Koesparmono, kini Rektor Universitas Bhayangkara Jaya, melihat tudingan bahwa Polri cenderung komunis karena membeli senjata dari Rusia terlalu mengada-ada. Telah lama Polri juga membeli senapan Chung dari Cina, yang komunis. "Dan, kenapa kalau kita membeli senjata dari Amerika Serikat tidak ada yang memprotes sebagai kapitalis?" katanya.
Bagaimanapun, pembelian senjata baru Polri itu memang membuat waswas TNI, terutama kalangan Angkatan Darat. Seorang sumber TEMPO di lingkungan TNI mengatakan, Polri kini tengah membangun kekuatan. "Jumlah anggota Brimobyang mesti dipersenjatai dengan senapan serbusekarang sudah mencapai sekitar 30 ribu," katanya. Kalangan TNI, kata sumber itu, juga khawatir bahwa Polri akan menangani segala urusan, dari perkara kriminal sampai pemberontakan, sementara TNI hanya dijadikan "pemadam kebakaran": tentara baru dipanggil kalau huru-hara sudah parah dan sulit diatasi.
Lama mendominasi soal politik dan keamanan, kalangan militer tampaknya memang belum rela serta percaya benar dengan sistem pemisahan Polri dari TNI. Dalam berbagai kasus kerusuhan belakangan ini, Polri memang tampak sering kedodoran sehingga banyak orang kembali menuntut turut campurnya militer.
Bagaimanapun, pemisahan yang sudah dimulai sejak masa B.J. Habibie dan dilanjutkan lebih dramatis pada masa Abdurrahman Wahid itu memang salah satu tuntutan reformasi, yakni memangkas distorsi hukum yang disebabkan oleh dominasi militer dalam urusan-urusan sipil.
Di banyak negara demokratis, polisi dan militer memang memiliki peran dan wewenang yang terpisah. Namun, di Indonesia, ini menjadi soal sensitif yang sudah mengakar sejak awal kemerdekaan (lihat: Polisi-Tentara di Simpang Sejarah).
Dan kini, soal pemisahan itu kembali menjadi pangkal persaingan yang menajam antara dua lembaga, bahkan kadang meletup dalam kontak senjata yang berdarah. Gejalanya bisa dilihat di berbagai daerah-daerah rusuh seperti Aceh, Maluku, Kalimantan Tengah, Irianjaya. Tiga tahun silam, di Pontianak pernah terjadi "pertempuran" antara pasukan Brimob dan Kavaleri Angkatan Darat. Pertikaian yang dipicu perang mulut saat berpapasan di jalan itu dibayar mahal. Empat personel tewas dan tujuh terluka.
Di Maluku, yang masih bergolak, juga kerap terjadi bentrokan sesama aparat. Biasanya Brimob berhadapan dengan Kostrad. Pada akhir 1999 lalu, misalnya, meletup pertikaian antara anggota dari kedua kesatuan itu di Perumnas Boka, Ambon. Beberapa bulan sebelumnya, hal serupa juga pecah di kawasan Batumerah dan Ahuru.
Contoh paling baru terjadi di Sampit, Kalimantan Tengah, akhir Februari lalu. Di tengah evakuasi para pengungsi, tiba-tiba berlangsung tembak-menembak antara anggota Brimob dan aparat TNI. Penyebabnya sepele: ada seorang anggota TNI yang menghalangi anggota Brimob yang berupaya memasukkan pengungsi ke kapal. Beberapa anggota TNI dan polisi terluka dalam peristiwa itu.
Ihwal pembagian wewenang polisi dan militer di daerah rusuh memang masih membingungkan. Setelah kepolisian mandiri, belum lahir undang-undang mengatur kepolisian dan pertahanan-keamanan. Menurut Permadi, anggota Fraksi PDI-P, di situ masih ada "wilayah abu-abu" yang bisa mendatangkan friksi. "Misalnya, soal penanganan kerusuhan. Dalam kondisi yang bagaimana kepolisian harus meminta bantuan TNI?" katanya. "Dan yang menjadi soal, bagaimana kalau kepolisian masih merasa mampu mengatasinya, sementara kalangan TNI menganggap pihaknya sudah perlu turun tangan."
Namun, dalam banyak hal, latar belakang persaingan sesungguhnya tidak seheroik "memadamkan kerusuhan" atau "membela keutuhan negara". Menurut Indria Samego, pengamat militer dari LIPI, ada faktor psikologis lain yang melatarbelakangi konflik mereka. Kepolisian kini ada di bawah presiden langsung, dan itu mengundang kecemburuan. "Seolah-olah Polri diberi peluang lebih besar," kata Indria.
Ujung-ujungnya adalah soal uang. Setelah pemisahan, Polri kini tidak lagi bergantung pada Panglima TNI dalam urusan dana operasional. Mereka bisa mengajukan sendiri anggaran ke pemerintah lewat DPR. Dan impor senjata dari Rusia seperti menggarami luka yang sudah menganga: Kepala Staf Angkatan Darat adalah Komisaris PT Pindad.
Di tengah tingkat kesejahteraan yang sama-sama masih rendah, tentara juga merasa polisi lebih beruntung. Kewenangan polisi memeriksa perkara kriminal dan merazia kendaraan bisa menjadi lahan basah mengeruk duit. Sebaliknya, konsep teritorial yang dulu memberi wewenang militer melakukan campur tangan dalam urusan sipil, termasuk sengketa tanah dan perburuhan yang mendatangkan uang, kini sedang digugat hebat.
Soal yang lebih sepele, seperti urusan gengsi, juga ikut berperan. Setelah polisi lepas dari TNI pertengahan tahun lalu, muncul polisi-polisi yang mulai cenderung sok jago, sementara kalangan tentara masih merasa nomor satu. Hanya gara-gara perkara sepele, seperti berebut perempuan atau berebut menjadi backing preman, mereka sering bertikai.
Dan di tengah pertarungan orang-orang yang punya bedil itu, rasa aman rakyatlah yang kini paling dipertaruhkan. Juga nasib negara, yang kian jauh dari cita-cita supremasi hukum.
Gendur Sudarsono, Edy Budiyarso, Darmawan Sepriyossa, Levi Silalahi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo