Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ADA tekanan istimewa dalam pidato Jenderal Surojo Bimantoro, Jumat pagi lalu. "Pembelian senjata AK-101 dan 102 dari Rusia semata-mata karena lebih murah dan mutunya lebih bagus. Jadi, jangan ada pertanyaan lain soal pembelian itu." Ihwal senjata itu diucapkan orang pertama kepolisian tadi ketika menerima kunjungan kerja Komisi I DPR, di Markas Brimob, Kelapadua, Jakarta.
Senjata Rusia? Rupanya, kata seorang sumber TEMPO, ada pembelian besar-besaran senapan serbu Avtomat Kalashnikov (dikenal sebagai AK-47) oleh polisi yang diributkan para petinggi militer. Salah satunya seperti yang dikemukakan Direktur Jenderal Strategi Pertahanan Departemen Pertahanan, Mayjen TNI Sudrajat. Dia menilai, setelah polisi disapih dari militer dan dikembalikan pada jati dirinya sebagai aparat sipil, langkah membeli AK yang tergolong jenis senjata kombatan itu, "tidak pas." Tidak cuma itu. Sebagian kalangan lain mensinyalir proyek pembelian ini diselimuti praktek korupsi-kolusi.
Sumber yang melihat dokumen kasus ini bercerita terperinci. Proyek besar pembelian 14 ribu pucuk senjata AK itu dimulai tahun lalu. Empat ribu di antaranyadari dua tipe: AK-101 dan AK-102 kaliber standar NATO 5,56 x 45 mmdidatangkan dari Rusia melalui PT Austamindo Environmental Services. Total harga pembelian mencapai Rp 16,9 miliar. Sedangkan 10 ribu lainnya, jenis AK-2000 P, senilai Rp 33 miliar, diimpor dari Cina via PT Krisdjaya Mandiri, perusahaan yang dipimpin mantan gubernur Akademi Kepolisian, Mayjen (Purn.) Pamoedji R. Soetopo. Proyek ini dijajaki Bimantoro ketika masih menjabat Asisten Operasi semasa Kapolri dijabat Rusdihardjo. Persetujuan final diambil ketika ia naik menggantikan Rusdihardjo.
Rencananya, pembelian itu ditutup dengan anggaran tahun ini. Pada 30 Januari lalu, Kapolri Bimantoro telah berkirim surat kepada Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Isinya, pengajuan bujet pembelian 1.300 pucuk AK-101 dan 102 senilai hampir Rp 6 miliar. Pekan-pekan ini, soal itu akan dibahas Komisi I DPR, yang membidangi masalah pertahanan dan keamanan.
Menurut Asisten Perencanaan Kapolri, Inspektur Jenderal James D. Sitorus, 4.000 pucuk sudah masuk sejak Februari lalu. Sisanya, 10 ribu lagi, akan datang bulan depan. Dana diambil dari anggaran rutin yang diajukan ke Departemen Keuangan. Khusus untuk pembelian senjata berikut amunisinya, polisi mengalokasikan dana Rp 400 miliar. Kekurangannya sedang diajukan untuk dimintakan persetujuan Komisi I.
Rencana untuk ini sudah lama disusun. Pengadaan perlu dilakukan, menurut Komandan Brimob Inspektur Jenderal Jusuf Manggabarani, untuk menambal minimnya persenjataan Brimob. Soalnya kini separuh pasukannya tak menyandang senjata. Dari 31 ribu personel, senjata yang tersedia cuma 17 ribu pucuk lebih. Padahal, pergolakan terus menyala di mana-mana.
Kata seorang sumber TEMPO, Rusia dan Cina dilirik karena penawaran dari PT Pindad, pabrik pembuat senjata lokal di Bandung, ternyata kelewat mahal. Sebiji senapan SS-1 dihargai sampai US$ 825, padahal kualitasnya payah. Karena itulah, senapan AK buatan negeri eks-komunis tadi, yang terkenal andal dan cuma US$ 360 per pucuk, dipilih.
Mengintip peluang, Austamindo gesit melobi. Austamindo adalah agen State Corporation Rosvoorouzhenie, perusahaan negara Rusia produsen AK-101 dan 102. Gayung bersambut. Pada 27-31 Maret 2000, sebuah tim yang dipimpin Brigjen Logan Siagian, Kepala Dinas Penelitian dan Pengembangan Polri ketika itu, melesat ke Moskow untuk melakukan uji coba. Mereka ditemani Dirut Austamindo, Amaniah Rai. Dalam rombongan, juga turut Wakil Komandan Batalyon Pasukan Amphibi, Mayor A.L. Situmorang. Uji coba digelar 29 Maret di Central Scientific Research Institute Klimovsk, Moskow.
Logan pulang membawa sebuah kesimpulan: AK-101 dan 102 dijadikan standar senjata bahu Brimob. Ada banyak alasan. Harganya cenderung lebih murah, akurasinya tinggi, sangat praktis, dan punya daya tahan jempolan di berbagai medan berat. Pasokan juga dijamin aman. Pihak Rusia mampu memproduksi 2.000 pucuk per bulan. Maka, pada 12 Oktober lalu, kontrak diteken. Dan senyum Amaniah pun mengembang. "Penawaran kami tepat waktu," katanya kepada TEMPO.
Tapi proyek itu kini malah berbuah tudingan. Santer diembuskan, di baliknya ada kongkalikong harga. Keanehan antara lain terlihat dari perbedaan antara nilai yang tertera di kontrak dan yang diajukan Direktur Logistik Polri Brigjen Sistyanto. Di perjanjian tertera total pembelian dari Austamindo adalah Rp 16,9 miliar. Sedangkan pada nota dinas Sistyanto kepada Asisten Perencanaan per tanggal 13 Oktober (sehari sesudah teken kontrak) disebutkan senilai Rp 17,5 miliar.
Bahkan, seorang importir senjata yang kalah bersaing telak-telak menuding di baliknya ada permainan. Tender cuma diadakan sekadar proforma. "Semua itu cuma bohong-bohongan," katanya. Ia menyodorkan proposal penawaran AK-102 dari PT Trias Tanjung Rejeki sebagai contoh. Agen Willing International Ltd., produsen AK di Slovakia itu, mengajukan penawaran termurah: US$ 325 (harga franco di Jakarta, harga bersih di luar pajak). Tapi, jangankan diterima, Trias diikutkan tender pun tidak.
Padahal, semula Austamindo menyorongkan harga selangit: US$ 600, sebelum akhirnya diturunkan menjadi US$ 400-an. Ini jauh dari harga dasar di Rusia dan Eropa Timur yang cuma US$ 260-280. Ditambah ongkos perjalanan dan lainnya, harga wajar per pucuk mestinya cuma US$ 300-an. Apalagi buatan Cina, yang cuma US$ 190 sepucuk. Katanya, Amaniah mendapatkan proyek ini berkat kedekatannya sedari dulu dengan Bimantoro ketika menjabat Asisten Operasi.
Hal serupa juga diungkapkan seorang pemain kawakan lain di bidang impor senjata. Malah, ia baru mendapat info, dari 14 ribu yang sudah dipesan, polisi masih akan mengimpor 15 ribu pucuk lagi. Tapi pagi-pagi pintu tender sudah ditutup rapat. Proyek telah dikapling untuk tiga pemasok. Salah satunya untuk orang dekat seorang menteri kepercayaan Presiden Abdurrahman Wahid. Yang lain telah disediakan untuk seorang pensiunan jenderal polisi.
Dalam setiap proyek polisi, katanya lagi, penggelembungan harga sudah seperti menjadi ketentuan tak tertulis. Besarnya gila-gilaan. Bisa mencapai 45 persen dari nilai sebenarnya. Ia mengungkapkan pengalamannya. Suatu ketika ia beroleh proyek mendatangkan pelontar granat. Harga yang ditawarkannya cuma Rp 7 juta per biji. Yang terjadi kemudian, di kontrak nilainya ditiup sampai Rp 11 juta. "Laba" itulah yang lalu dibagi-bagi di antara para jenderal polisi. Sebagian ada juga yang masuk ke dana operasional. "Itu sih sudah biasa, termasuk di TNI," katanya terkekeh.
Tapi segala suara sumbang itu ditampik Amaniah. Tender diikutinya menurut aturan. Prosesnya pun berliku dan berbulan-bulan. Semula uji coba diminta dilaksanakan di Pusat Litbang Polri, Jakarta. Tapi berbelitnya birokrasi Rusia menyebabkan pihaknya memilih menerbangkan tim ke sana. Penguji Polri juga sangat rewel. Untuk mengetes daya tahannya, mereka minta senapan dijatuhkan dari ketinggian 7 meter, padahal biasanya cukup 3 meter saja. "Saya hampir menangis karena permintaan pihak Polri selalu melebihi standar," katanya. Uji coba juga dilakukan ke beberapa negara lain seperti Bulgaria dan Cina, sebelum pilihan dijatuhkan kepadanya.
Pihak Krisdjaya Mandiripemasok AK dari Cinatak bersedia memberikan penjelasan. Alasannya, keterangan kepada pers hanya bisa diberikan Pamoedji, yang katanya lagi ke luar kota dan tak bisa dikontak.
Bantahan juga datang dari Kepala Pusat Penerangan Polri, Inspektur Jenderal Dedi Widayadi. "Tidak ada mark up-mark up-an," katanya. Ia malah menengarai suara sumbang ini dimunculkan gara-gara Jenderal Bimantoro bertekad tetap membeli AK.
Memang, terbetik kabar, Bimantoro sempat keras ditekan sejumlah petinggi Angkatan Darat untuk tetap membeli dari Pindad. Maklum, petinggi AD memang komisaris ex officio Badan Pengembangan Industri Strategis yang membawahi Pindad.
Kata sumber TEMPO, buntut dari ketegangan itu, Bimantoro sempat dipanggil orang penting Republik. Ia disodori jalan tengah: polisi tetap membeli dari Pindad, tapi harganya diturunkan jadi cuma US$ 475. Bimantoro melunak, dengan syarat pembelian dari Rusia jalan terus. Akhirnya, tawar punya tawar, dari sisa anggaran yang masih tersedia, SS-1 Pindad sepakat dibeli di harga sekitar Rp 3 juta per pucuk. Asisten Perencanaan Inspektur Jenderal James D. Sitorus membenarkan pihaknya lantas membeli 3.000 pucuk SS-1 dari Pindad dengan harga yang sudah didiskon habis. "Saat penawaran pertama memang sangat mahal, sehingga kami memilih AK-101 dan 102," katanya. Sayang, saat dimintai konfirmasi, semua pimpinan Pindad malah melakukan aksi tutup mulut serentak.
Mantan Kapolri Rusdihardjo membenarkan proses pembelian senjata asal Rusia itu sudah berjalan ketika ia menjadi Kapolri. Tapi, katanya lagi, kebijakan itu diambil semata-mata karena harganya yang murah. Penjelasan serupa diutarakan Jenderal Bimantoro. Ia juga membantah kabar gesekannya dengan petinggi baju hijau. Semua pembelian sudah dikoordinasikannya dengan TNI. Kalau ada jenderal yang marah, katanya lagi, "Paling jenderal yang jualan senjata."
Karena ini menyangkut uang negara, memang sudah selayaknya Jenderal Bimantoro menjawab banyak "pertanyaan lain" di balik senapan asal Rusia itu.
Karaniya Dharmasaputra, Edy Budiyarso, Levi Silalahi, Andari K. Anom, Agus S. Riyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo