Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
|
Masuknya empat penari pria ke pusaran delapan penari putri itu menyatu dalam gerak serempak. Mereka menggeliat, menyentak, menggelinjang. Delapan penari putri itu terkapar lalu menggelinding. Berusaha untuk tegak. Jatuh kembali. Mereka berguling lagi sambil mengerang seperti perempuan yang sedang dalam proses melahirkan.
Bergayut pada lelaki, para perempuan itu dibopongnya, dijatuhkannya, kemudian diseretnya. Dengan keangkuhan, pria-pria itu melangkahi tubuh-tubuh perempuan yang terkulai di selangkangannya, lalu meninggalkannya.
Menawar akar, menoleh jiwa dari tradisi, ke tari kontemporer. Begitulah pandangan Boi G. Sakti dalam olah tari. Sebagai koreografer, Boi merangkum semua kekayaan tradisi yang ada, dari mana pun. Tradisi, baginya, adalah inspirasi. Tradisi tidak selalu muncul dalam bentuk, tapi juga muncul dalam suasana, atau lebih abstrak lagi. Dalam pementasannya kali ini, tradisi Jawayang menahan dan mengalirjuga muncul (dalam bentuk seorang penari yang melintas ruang).
Ketika seorang penonton merasakan musik pertunjukannya melintas ke musik Afrika, Boi mengakui kemungkinan itu: memang gerak musik Minang dekat dengan suasana perkusi Afrika. Instrumen yang digunakan adalah drum besar (dolbahasa Minang), gendang, rebana, sampelong (suling), rebab, ganto (genta pada leher sapi), dan vokal para musisinya.
Mengapa ia terpikat pada gerak stakato? Gerak patah-patah (stakato) itumenurut Boisanggup memberi alur pada emosi. Ia juga berbicara tentang rasa dan emosi, yang dalam tata tari kontemporer menjadi bagian yang utuh dari bentuk. Namun, sebenarnya, ia sulit membedakan antara rasa dan emosi. Rasa melahirkan intensitas gerak, sedangkan emosi mendorong setiap gerak didasari oleh motivasi yang jelas.
Pembelaan terhadap perempuan yang dilecehkan dan mengalami tindak kekerasan telah dilakukan oleh para tokoh secara nasional. Boi, yang suka membalikkan suasana secara ekstrem dalam koreografinya, melihat bahwa dalam keanggunan perempuan tersimpan daya juang yang tangguh.
Ada satu unsur yang dapat dicatat dari tiap pementasan Boi, yaitu adegan yang lucu. Untuk memecah suasana, rupanya adegan humor perlu diselipkan. Di samping satu adegan kecil dalam Ritus-Ritus Kesucian yang membuat sebagian penonton tertawa, adegan lucu juga muncul pada karya-karya sebelumnya, misalnya pada Siti Nurbahaya, juga Batagak (upacara penggantian penghulu di Minangkabau), Baitulah (begitulah), ataupun Pewarih (pusaka).
Adegan dilanjutkan dengan delapan penari putri yang meremas-remas bunga mawar sambil bernyanyi. Mereka merenggut bajunya, memperlihatkan dadanya. Tapi, apa daya, mereka terempas di dalam etalase yang mengenaskan ketika tampak seorang perempuan melintas sambil menjatuhkan telor-telor ke lantai.
Mereka mencabik-cabik tubuhnya, memutar-mutarkan kepalanya sambil menjerit. Tamatlah penderitaan ketika melintas seorang perempuan yang hanya memakai kutang dibalut kain ungu dua belas meter panjangnya berikut keranjang penutup kepala dengan lampu menyala.
Pada gelar tari ini, kostum didominasi kebaya. Dalam balutan ainulbanat (kain yang elok), para perempuan tampak anggun dalam menghadapi problema hidup. Begitu menderita oleh penindasan lelaki, mereka mendesah, berguling, dan berteriak memberontak terkadang mirip antropoid (binatang menyerupai manusia).
Di panggung yang jauh dari memadai itu, Boi G. Sakti, 35 tahun, berhasil menunjukkan kemampuan sebuah koreografi sebagaimana pada karya-karya sebelumnya, memberinya peluang besar untuk menjadi koreografer besar.
Danarto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo