Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Dia Sang Penantang

Menjadi rival utama Susilo Bambang Yudhoyono dalam pemilu tahun depan, Megawati Soekarnoputri berbenah. Mengandalkan isu krisis ekonomi.

15 Desember 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUARA Megawati mendadak tercekat, matanya berkaca-kaca. ”Saya sering mengadu kepada Allah, apa begitu hina perempuan di mata-Mu?” katanya bergetar. Dengan wajah sendu, Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ini lalu mengeluhkan soal masih gencarnya penolakan terhadap presiden perempuan bahkan dari kalangan perempuan sendiri.

”Padahal, pada pemilu 2004, saya sangat berharap perempuan memilih saya,” katanya. Tiga ratusan orang yang memadati acara peluncuran buku Mereka Bicara Mega di Golden Ballroom, Hotel Sultan, di Senayan, Jakarta Pusat, Jumat pekan lalu, hening mendengarkan.

”Seharusnya para ibu tahu. Yang mengerti bagaimana sulitnya menyediakan makanan di tengah harga yang naik tinggi, ya, hanya ibu-ibu,” katanya lagi. ”Memangnya para pria ini tahu berapa harga cabai sekarang?” Hadirin gemuruh tertawa dan bertepuk tangan. Sesekali terdengar teriakan melengking, ”Mega presiden!”

Inilah gebrakan terbaru Megawati setelah meluncurkan kampanye bertema ”Perjuangkan Sembako Murah”, akhir November silam. Setiap kali didaulat bicara, Mega selalu meminta dukungan kaum perempuan sembari menunjuk harga kebutuhan pokok yang membubung.

Dua hari sebelum pidato tanpa teks itu, Rabu pekan lalu, Mega juga muncul di studio Metro TV di kawasan Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Selama tiga jam lebih, dia menjadi bintang tamu program bincang-bincang Kick Andy. Putrinya, Puan Maharani; dan dua putranya, Mohammad Rizki Pratama dan Mohammad Prananda, juga hadir. Taufik Kiemas, suami Mega, plus lima cucu, tak ketinggalan.

”Berbulan-bulan saya diminta datang (di acara ini). Lama-lama, entah kenapa, di benak saya terbersit, boleh juga nih saya datang. Supaya orang-orang tahu siapa saya,” kata Megawati, dua hari kemudian, saat bicara di Hotel Sultan.

Setengah kesal, dia melanjutkan, ”Kalau tidak begitu, nanti orang akan terus-menerus men-downgrade saya. Saya disebut tidak cerdas-lah, naif, dan hanya ibu rumah tangga biasa.” Senyumnya mengembang, ”Padahal saya ketua partai paling lama di Indonesia lho sekarang,” katanya tertawa kecil.

Tujuh bulan menjelang pemilihan presiden, Mega memang terus berbenah. Dia tampaknya sadar betul bahwa dialah satu-satunya penantang serius Presiden Yudhoyono. Semua survei politik konsisten menunjukkan angka keterpilihannya selalu membayangi SBY.

Karena itulah, kita lihat sekarang penampilan Mega lebih lepas dan gaya berpidatonya makin luwes. Dia juga kerap muncul di media, sesuatu yang sebelumnya ia hindari.

Penolakan sebagian kelompok Islam atas figur Mega pun mulai diredam. Hampir semua tokoh yang menulis kesannya mengenai Megawati dalam buku Mereka Bicara Mega mewakili organisasi massa Islam. Ada Said Aqiel Siradj (Nahdlatul Ulama), Din Syamsuddin (Muhammadiyah), dan Ismail Yusanto (Hizbut Tahrir Indonesia). Foto Megawati berbaju muslim dan berkerudung merah terpampang besar di sampul buku itu.

l l l

MESIN kampanye Megawati menghadapi Pemilu 2009 dipersiapkan dalam setahun terakhir. Semua berawal pada September 2007, ketika Mega menyatakan bersedia menjadi calon presiden. ”Mbak Mega memang menunggu konsolidasi partai rampung dulu,” kata Ketua Badan Pemenangan Pemilu PDIP, Tjahyo Kumolo. Mega hanya mau maju jika pemegang kartu anggota PDIP sudah 20 juta orang. ”Syarat itu sudah terpenuhi,” katanya.

Pada saat itu, di hadapan sekitar 16 ribu kader partai Banteng yang berkumpul di arena Pekan Raya Jakarta, Kemayoran, Jakarta Pusat, Mega bertanya berulang-ulang, ”Apakah kalian siap? Apakah kalian berkehendak menang?” Kader PDIP serempak menjawab, ”Siap!” Tapi Mega seperti belum yakin, ”Apakah kalian akan bekerja keras?” Massa menjawab lebih tegas, ”Siap!”

Mega akhirnya mengangguk. ”Dengan mengucapkan bismillah, saya menerima,” katanya. Diiringi tepuk tangan panjang dan pekik histeris pendukung setia Mega, Taufiq Kiemas langsung naik ke atas panggung dan mengecup kening istrinya. Lagu Maju Tak Gentar dinyanyikan ribuan orang dengan spontan.

Budiman Soedjatmiko, anggota Badan Pemenangan Presiden PDIP, mengenang momen menentukan setahun lalu itu dan mengakui awalnya Mega sempat gamang. Anak kedua Bung Karno ini menunggu tiga tahun setelah pemilu 2004, sebelum menyatakan bersedia dicalonkan. Padahal, dua rapat kerja nasional PDIP di Makassar dan Bali sudah memutuskan Mega sebagai calon presiden. ”Beliau terus mengukur persiapan organisasi,” kata Budiman.

Setelah Mega bersedia, barulah barisan ditata. Sejak itu, ada tiga motor utama gerakan pemenangan Mega. Pertama, Badan Pemenangan Pemilu yang dikomandani Tjahyo Kumolo. Penggeraknya adalah struktur pengurus resmi partai dari pusat sampai kelurahan. Selain itu, ribuan calon legislator PDIP untuk parlemen nasional dan lokal juga dikerahkan lewat jalur ini. Markas mereka adalah kantor Pengurus Pusat PDIP di Lenteng Agung, Jakarta Selatan.

Motor kedua adalah Badan Pemenangan Presiden. Lembaga ini diketuai Letnan Jenderal (Purn.) Theo Sjafei, orang dekat Mega yang juga salah satu pemimpin teras partai. Tugas badan ini adalah menggarap massa potensial pendukung Mega, dari kalangan buruh, petani, dan nelayan.

Gerakan organisasi-organisasi sayap PDIP seperti Relawan Perjuangan Demokrasi, Baitul Muslimin Indonesia, Taruna Merah Putih, juga dikoordinasi lewat badan ini. ”Kami menjaga basis massa tradisional dan meluaskan penggalangan ke kelompok-kelompok strategis,” kata sumber Tempo di badan ini.

Para punggawa lembaga ini sering tampak berkumpul di sebuah rumah berhalaman luas di Jalan Teuku Cik Ditiro, Menteng, Jakarta Pusat. Ketika Tempo berkunjung ke sana, akhir pekan lalu, seorang petugas keamanan membenarkan rumah itu adalah kantor Badan Pemenangan Pemilu PDIP. Uniknya, tak ada papan nama apa pun di depan rumah bercat putih itu, kecuali sebuah stiker kecil partai Banteng di pos penjagaan.

Selain menggalang dukungan, tugas badan ini adalah merintis jalan menuju koalisi PDIP dengan partai politik lain. Makanya, pengurus lembaga ini rajin bertandang ke partai lain, membuka akses komunikasi dan menjajaki kemungkinan bekerja sama setelah pemilu legislatif, April tahun depan.

Motor terakhir adalah Megawati Institute. Lembaga think tank ini menyewa dua lantai sebuah gedung perkantoran di Jalan Proklamasi, Menteng, Jakarta Pusat. Sama seperti kantor Badan Pemenangan Presiden, tak ada papan nama apa pun di depan gedung ini.

Tugas tim ketiga ini adalah merumuskan positioning Megawati di antara tokoh-tokoh nasional lain, mengemas tema dan program kampanye, dan mengatur pencitraan positif untuk Megawati.

Iklan politik Mega dan PDIP, misalnya, dikerjakan lembaga ini bekerja sama dengan konsultan politik Citra Publik Indonesia—anak perusahaan Lingkaran Survei Indonesia, milik Denny Januar Ali. Selain itu, Megawati Institute juga bertugas melakukan survei-survei internal untuk menguji persepsi publik mengenai Mega, program kampanye Mega, dan kinerja pemerintahan Yudhoyono-Kalla saat ini.

Arif Budimanta, Direktur Megawati Institute, menolak memberikan jawaban tegas tentang perannya. ”Pokoknya, tugas kami bukan semata untuk pemenangan Bu Mega,” katanya. Mantan dosen Universitas Gadjah Mada Yogyakarta ini menjelaskan lembaganya bertugas mengkaji konsep sosial politik ekonomi yang akan digarap Megawati dan PDIP. ”Analisis dan hasil studi kami diumumkan secara terbuka kepada publik,” kata Arif.

Sumber Tempo lainnya berbisik, peran Megawati Institute lebih dari itu. Sejumlah pakar yang diincar untuk memperkuat kabinet Megawati jika kelak terpilih, kabarnya, juga disaring lewat lembaga ini. Tapi Arif lagi-lagi mengelak. ”Kami hanya berdiskusi dengan mereka,” katanya. Dia mengakui mantan Menteri Koordinator Perekonomian Dorodjatun Kuntjoro-Jakti dan Rizal Ramli, ekonom Sri Adiningsih, dan pakar pertanian Institut Pertanian Bogor Iman Sugema sering datang ke Megawati Institute.

l l l

MESKI sudah ditata ciamik, tak berarti kerja kampanye Megawati berjalan mulus. Pada saat-saat awal dibentuk, koordinasi ketiga motor utama pemenangan Mega tak selalu lancar. Sumber Tempo bercerita bahwa soal pendanaan kerap jadi masalah. Badan Pemenangan Presiden dan Megawati Institute kabarnya sempat mendapat jatah fulus lebih kencang ketimbang badan lainnya.

Alokasi dana kampanye memang agak sensitif kali ini. Apalagi ada kabar pundi-pundi partai tak lagi segemuk dulu. ”Sekarang para caleg pun harus membayar sendiri semua biaya kampanye,” kata satu sumber Tempo lain.

Baru belakangan soal ini terselesaikan. Program ketiga lembaga ini sekarang sudah sinergis. ”Pelatihan saksi untuk pemilu legislatif, misalnya, sekarang sudah dilakukan bersamaan dengan pelatihan saksi untuk pemilu presiden,” kata sumber Tempo itu.

Soal tema kampanye juga sempat jadi perdebatan seru. Awalnya, Megawati maju dengan kata kunci ”Mega Kembali, Hidup Baik Kembali”. Isu pluralisme yang memang sudah jadi citra paten PDIP juga dijual di depan. Seorang petinggi PDIP bercerita, partainya bahkan sempat membeli hak cipta lagu Koes Ploes berjudul Kembali untuk dijadikan lagu tema kampanye Megawati.

Namun pada November lalu rencana ini dirombak total. Isu ”harga sembako murah” dinilai lebih menjanjikan kemenangan. ”Setelah menolak RUU Pornografi, ada yang khawatir jika isu PDIP anti-Islam akan dimainkan lagi,” kata satu sumber Tempo. Karena itulah, kampanye bertema pluralisme dinilai tidak strategis.

Kabar ini dibantah Arif Budimanta. ”Keberpihakan pada pluralisme akan selalu menjadi roh PDIP,” katanya. Pemilihan tema ”sembako murah”, kata dia, lebih didorong pertimbangan momentum. Tim Mega yakin, tema sentral Pemilu 2009 adalah soal ekonomi, mengingat krisis yang diramalkan makin parah tahun depan.

Ujian pertama bagi mesin pemenangan Mega adalah pemilu legislatif, April depan. Jauh-jauh hari Mega sudah mengingatkan bahwa untuk menang di pemilihan presiden, PDIP harus nomor satu dulu di pemilihan parlemen.

Kalau gagal? Orang-orang di lingkaran Mega mulai berbisik tentang kemungkinan Mega batal maju ke pertarungan keduanya dengan Yudhoyono. ”Jelas Bu Mega akan pikir-pikir,” kata satu sumber Tempo.

Dari Yogyakarta, santer berembus kabar Mega sedang bersiap mengalihkan dukungan partainya ke Sultan Hamengku Buwono X jika perolehan suara partainya tak sesuai dengan harapan. Namun isu ini dibantah Sekretaris Jenderal PDIP Pramono Anung. ”Kami yakin bisa mengusung calon presiden kami, sendirian,” katanya saat membuka acara partainya di Hotel Sultan. Tapi dia mengakui, ”Syarat pertamanya memang harus menang pemilu legislatif dulu.”

Hal yang sama disampaikan suami Megawati sekaligus Ketua Dewan Pertimbangan Pusat PDIP, Taufiq Kiemas. Menurut dia, partainya tetap akan mencalonkan Megawati. Mereka pun yakin akan menang pemilu. ”Dalam Pemilu 2004 saja kami mendapat 18 persen. Tahun depan, suara PDIP pasti lebih banyak dibanding Golkar,” katanya.

Wahyu Dhyatmika, Sahala Lumbanraja, Akbar Tri Kurniawan (Jakarta), Bernada Rurit (Yogyakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus