Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Dia yang Bernama Syekh Siti Jenar

Buku Syekh Siti Jenar karya Abdul Munir Mulkan laris diserbu pembaca. Mengapa sosok ini begitu menawan?


12 Maret 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AKHIRNYA, demi solidaritas terhadap teman-temannya, para sufi yang "lurus" wawasan tauhidnya, Junaid pun ikut melempar batu ke tubuh Al Hallaj, yang hari itu dihukum karena dianggap bersalah telah mengaku sebagai Tuhan. Tokoh itu dianggap sesat karena ajaran ketuhanannya mengguncangkan banyak pihak yang semula merasa nyaman di bawah suatu kemapanan teologis.

"Al Hallaj, maafkan aku," kata Junaid. "Aku ikut melemparmu semata karena apa yang kau ucapkan. Aku hanya ikut mengadili sikap lahirmu. Adapun mengenai apa yang tersembunyi di dalam batinmu, yang tak seorang pun tahu selain kamu dan Allah, semua merupakan urusanmu. Aku tak mau campur tangan dalam urusan yang tak aku ketahui. Sekali lagi sobat, maafkan aku," kata sufi itu, dan kemudian melemparkan batu tadi ke tubuh Al Hallaj.

"Bluk...", kena dadanya.

Mungkin begitu juga sikap paling netral kita terhadap perkara Syekh Siti Jenar, Al Hallaj-nya orang Jawa itu. Bagi kita pun kutuk-mengutuk, jika itu harus terjadi, hanya sebatas wilayah lahir. Kita tak punya jangkauan keabsahan di wilayah batin.

(Kutipan pengantar dari Mohamad Sobary: "Kewibawaan Subersif Syekh Siti Jenar" Halaman v-vi)

Siapakah Syekh Siti Jenar? Seorang wali yang tergusur? Seorang pengajar sesat? Seorang yang sakti mandraguna? Buku Syekh Siti Jenar: Pergumulan Islam-Jawa karya Abdul Munir Mulkan belum lama ini berhasil membetot perhatian masyarakat. Buku bersampul muka lukisan kaca Cirebon itu ludes dilahap pembaca hanya dalam waktu singkat. Menurut Buldanul Khuri, pemilik Penerbit Bentang yang menerbitkan buku itu, cetakan pertama dan kedua, yang masing-masing berjumlah 2.500 kopi, sudah langsung habis terjual. Itu masih disusul dengan 1.000 eksemplar cetakan ketiga—yang semuanya sudah dipesan—dan 1.000 lainnya untuk cetakan keempat. "Pokoknya laris manis," tutur Buldan.

Sesungguhnya, buku itu pernah diterbitkan untuk pertama kali pada 1985, tapi tidak sukses. Lalu, Munir diminta untuk mengembangkan bahan dasar Syekh Siti Jenar itu, ditambah dengan terjemahan serat ajaran Siti Jenar, untuk dijadikan buku yang diterbitkan Bentang. Ajaib. Para pembeli dan pembaca seolah terbius. Mengapa? Berikut adalah sebagian petikannya:

Sosok Syekh Siti Jenar:
Halaman 1-4

Syekh Siti Jenar merupakan tokoh terkenal di kalangan umat Islam Indonesia, khususnya di kalangan orang Jawa. Namun mereka bisa berbeda sesuai pandangan masing-masing terhadap tasawuf dan posisi Syekh Siti Jenar sebagai wali di antara Wali Songo. Selain itu, kehadiran Syekh Siti Jenar dalam sejarah Islam dan kebangsaan itu sendiri juga menimbulkan kontroversi, apakah ia memang benar-benar hadir dalam sejarah ataukah tokoh imajiner yang direkayasa untuk suatu kepentingan politik. Demikian pula halnya dengan sumber kepustakaan yang dapat dijadikan bahan kajian untuk meletakkan Syekh Siti Jenar dan ajarannya secara lebih objektif. Hal ini menimbulkan berbagai tafsiran yang berbeda dan bertentangan yang hingga sekarang belum terjernihkan dengan tuntas.

Membicarakan Syekh Siti Jenar sebagai tokoh penyebar widhatul wujud, hampir selalu membangkitkan perbedaan pandangan yang tajam, khususnya berkaitan dengan gagasan ketuhanan, hari akhirat, surga-neraka, makna kematian dan kehidupan serta fungsi syari'ah. Masalah ini juga berkaitan dengan posisi tasawuf dalam pemikiran Islam yang selama ini lebih didominasi para ahi syari'ah atau fuqaha, sehingga menempatkan tasawuf sebagai khasanah `pinggiran' dalam sejarah Islam. Karena itu, penulisan pandangan dan sikap hidup Syekh Siti Jenar ini bukanlah dengan maksud mempertajam perbedaannya, tetapi untuk melihat lebih jernih latar belakang Syekh Siti Jenar dan ajarannya di dalam perkembangan sejarah Islam di Indonesia.

Hampir dapat dipastikan pengenalan masyarakat Indonesia, terutama masyarakat Jawa, terhadap Syekh Siti Jenar, sama baiknya dengan pengenalan mereka terhadap Wali Songo. Walaupun sementara orang memandang Syekh Siti Jenar bukan sebagai wali atau setidaknya sebagai seorang wali yang telah murtad dari kewaliannya. Hal itu tidak menghapus kenyataan berkembangnya ajaran tasawuf yang lebih dikenal sebagai ajaran Syekh Siti Jenar. Syekh Siti Jenar lebih populer sebagai wali dari Wali Songo yang dihukum mati karena ajaran "manunggaling kawulo gusti"-nya dianggap menyesatkan ummat Islam.

Terlepas ada atau tidaknya dalam kenyataan sejarah, nama itu telah dikenal dan bahkan melekat dalam pertumbuhan sejarah pada kurun abad ke-16, sekurangnya melambangkan suatu percaturan politik dan kebudayaan Indonesia (dalam hal ini Jawa). Demikian pula, Syekh Siti Jenar dan ajarannya itu juga melambangkan perkembangan dan percaturan filsafat dan tasawuf pada masa peralihan kekuasaan di Jawa dari Majapahit ke pemerintahan Islam Raden Fatah di Demak Bintara.

Memperhatikan masa lampau pada latar belakang sejarah pertumbuhan Islam di Timur Tengah dan ilmu pada abad-abad pertama setelah wafat Rasulullah saw, akan kita peroleh keterangan berharga. Keterangan demikian diperlukan sebagai kaca analisis dalam melihat kehadiran Syekh Siti Jenar dan ajarannya dalam pentas sejarah umat dan kekuasaan Islam di Indonesia. Dengan cara ini akan terlihat bahwa akar ajaran Syekh Siti Jenar sesungguhnya telah lama muncul jauh di dalam sejarah dan perkembangan Islam awal, tak berapa lama sesudah Nabi Muhammad saw wafat.

Dalam kerangka itu, dapatlah dikemukakan pandangan aliran pemikiran Islam yang dikenal dengan Jabariyah yang memandang bahwa manusia hanyalah pelaku belaka. Allahlah yang secara langsung dan mutlak menjalankan peran sebagaimana ditetapkan sebelumnya secara detail. Menurut Jabariyah, gerak dan aktivitas manusia dalam bentuk apa pun secara langsung diatur, ditentukan, dan digerakkan Tuhan. Oleh karena itu manusia sama sekali tidak mempunyai tanggung jawab terhadap setiap perbuatan dan tindakan yang dilakukannya.

Bersamaan dengan lahirnya pemikiran Jabariyah, lahir pula pemikiran Qadariyah yang pandangannya berbeda dan berlawanan di mana manusia bertanggung jawab penuh atas semua perbuatannya. Manusia menurut Qadariyah memiliki kekuasaan dalam menentukan dan memilih setiap tindakan hingga perbuatan yang paling detail. Manusia memiliki kehendak dan kebebasan dalam memilih yang baik atau buruk, benar atau salah.

Berbagai pandangan di atas akan semakin jelas dalam telaah atas ajaran Syekh Siti Jenar dan pengikutnya yang berpendapat bahwa Tuhan memiliki hubungan dengan manusia dan alam ciptaan-Nya. Hubungan itu dapat membentuk kehadiran Sang Tuhan dalam diri manusia sebagaimana diterangkan dengan konsepsi `wihdatul wujud' yang nantinya akan memunculkan konsepsi ittihad. Dalam konsepsi `wihdatul wujud' dinyatakan bahwa yang maujud atau segala yang ada ini hanyalah `satu' dan `tunggal' yang tidak dapat dibagi dan atau diduakan. Dengan prinsip itu tidak ada yang maujud dan ada, kecuali Allah belaka, sehingga segala yang tampak ada dalam alam semesta ini hanyalah gambaran dan penampakan semata-mata dari yang ada itu, yakni Allah.

Ajarannya
Halaman 4

.… ajaran Syekh Siti Jenar dan pengikutnya yang berpendapat bahwa Tuhan memiliki hubungan dengan manusia dan alam ciptaan-Nya. Hubungan itu dapat berbentuk kehadiran Sang Tuhan dalam diri manusia sebagaimana diterangkan dalam konsepsi "wihdatul wujud" yang nantinya akan memunculkan konsepsi ittihad. Dalam konsepsi "wihdatul wujud" dinyatakan bahwa yang maujud atau segala yang ada ini hanyalah "satu" dan "tunggal"; yang tidak dapat dibagi dan atau diduakan. Dengan prinsip itu tidak ada yang maujud dan ada, kecuali Allah belaka, sehingga segala yang tampak ada dalam alam semesta ini hanyalah gambaran dan penampakan semata-mata dari yang ada itu, yakni Allah.…

Dalam Tradisi Pemikiran Islam
Halaman 31-32

...Munculnya tasawuf juga bersamaan dengan rekonstruksi kekuasaan Islam yang dengan hebat menguasai hampir seluruh wilayah-wilayah utama dunia. Proses pembentukan sistem kekuasaan ini diikuti oleh pengembangan hukum positif fiqih sebagaimana telah disebutkan. Akibatnya, hampir semua pemikiran lain dinyatakan dilarang kecuali pemikiran yang memperoleh dukungan kekuasaan resmi. Di sinilah pemikirian sufistik mulai mengambil posisi oposisional yang tak kalah kerasnya dengan keketatan hukum fiqih dalam praktik tarekat.

Kecenderungan itu telah menyebabkan kekayaan spiritual yang bebas dan kreatif dalam pemikiran dan praktik sufi pun mengalami penyempitan ruang gerak. Hubungan struktural guru-murid pun membentuk sebuah sistem budaya dan sistem kekuasaan tak resmi yang tak kalah hebatnya dengan sistem kekuasaan resmi. Praktik hidup sufi yang penuh kesederhanaan dan santun terhadap semua orang pun mengalami strukturisasi secara amat ketat. Kelompok-kelompok sufi kemudian banyak ditempatkan atau menempatkan diri sebagai golongan oposisi, baik terhadap kekuasaan khalifah ataupun ulama kerajaan.

Dalam hubungan itu pula agaknya ajaran Syekh Siti Jenar harus mengambil tempat dalam proses peralihan kekuasaan di Nusantara, khususnya di pulau Jawa sesudah pamor politik kerajaan Majapahit yang sudah beberapa abad berkuasa di wilayah ini sedikit demi sedikit berkurang. Banyak para pangeran yang semula menikmati fasilitas politik dan ekonomi karena kebangsawanaannya harus merelakan diri untuk hidup sebagai rakyat kebanyakan di luar pagar istana. Mereka inilah yang dalam berbagai dokumen mengenai kehidupan Syekh Siti Jenar diwakili dengan amat dramatis oleh Ki Agen Pengging yang juga dikenal dengan Ki Kebokenongo.…

Halaman 35

...Ketika ajaran sufi itu dikembangkan Syekh Siti Jenar, kegelisahaan para wali, bahkan di antara elite penguasa Kerajaan Demak pun muncul.… Karena itu, upaya memahami berbagai dimensi ajaran dan kepercayaaan sufi itu diharapkan setidaknya bisa mengurangi kesalahpahaman tersebut….

Asal-usul
Halaman 47-48

...Nama Siti Jenar menjadi penting bukan hanya karena banyak keterkaitannya dengan sejarah perkembangan Islam di Indonesia dan dinamika kekuasaan politik kerejaan Demak. Posisi Syekh Siti Jenar lebih dekat elite keturunan terakhir Majapahit yang tidak bersedia tunduk pada kekuasaan Raden Fatah dengan mengembangkan ajaran di luar mainstream ajaran Wali Songo tersebut. Sikap dan ajarannya inilah yang antara lain menyebabkan mengapa kewalian Syekh Siti Jenar tidak diakui oleh Demak dan Wali Songo.

Karena itu, ajaran Syekh Siti Jenar bukan hanya dianggap menyimpang dan sesat, ia bahkan dianggap telah murtad atau keluar dari Islam serta merusak kesucian agama Islam. Kemurtadannya itu menyebabkan Syekh Siti Jenar dan para pengikutnya harus menghadapi hukuman mati yang dijatuhkan kerajaan dan direstui para wali yang bertindak sebagai dewan keagamaan kerajaan Demak. Tidak seperti para anggota Dewan Agama, Syekh Siti Jenar sendiri lebih suka disebut sebagai anak rakyat biasa daripada memakai gelar kehormatan sebagai wali seperti pengakuannya kepada Kebokenongo, mewakili dialog di antara keduanya.

Syekh Siti Jenar Memandang Alam Semesta
Halaman 75

...Syekh Siti Jenar memandang alam semesta sebagai makrokosmos sama dengan mikrokosmos (manusia), sekurangnya kedua hal itu merupakan barang baru ciptaan Tuhan yang sama-sama akan mengalami kerusakan, tidak kekal dan tidak abadi. Manusia terdiri dari jiwa dan raga yang intinya ialah jiwa sebagai penjelmaan dzat Tuhan. Sedangkan raga adalah bentuk luar dari jiwa yang dilengkapi pancaindera, berbagai organ tubuh seperti daging, otot, darah dan tulang. Semua aspek keragaan atau ketubuhan adalah barang pinjaman yang suatu saat setelah manusia terlepas dari kematian di dunia ini, akan kembali berubah menjadi tanah.…

Pandangan Syekh Siti Jenar tentang Jalan Kehidupan
Halaman 83

...Kehidupan di dunia sekarang ini tidak lebih sebagai bentuk kematian. Sebaliknya, kematian justru dipandangnya sebagai awal kehidupan yang lebih abadi. Pandangan semacam ini sesungguhnya juga banyak tumbuh dalam kesadaran hidup hampir semua orang Jawa dan muslim, walaupun fungsinya tidak seekstrem seperti ajaran Syekh Siti Jenar.

Pandangan tersebut didasarkan kepada pengertian bahwa kehidupan ini masih dilekati jiwa yang mempunyai sifat baru (anyar) yang nanti pada babak terakhir akan rusak serta mempunyai sifat kotor (najis). Sifat rusak dan kekotoran jiwa itulah yang menjadi penghalang bersatunya manusia dengan Tuhan.…

Halaman 85

...Syekh Siti Jenar menyatakan bahwa setelah roh manusia terlepas atau keluar dari badan wadagnya atau raganya, ia akan hidup dengan langgeng. Kehidupan abadi tidak dimulai dari lahirnya seseorang dari perkawinan orang tua mereka. Seluruhnya ia anggap sebagai hal baru yang karenanya tidak abadi. Ia hidup sendirinya di mana segala sesuatu berasal dari kehendak pribadinya sendiri.…

Halaman 122-124

...Menurut pendapat Syekh Siti Jenar, kehidupan manusia di dunia berarti kematian. Amat mengherankan jika manusia siang dan malam yang berpikir dalam alam kematian itu mengharap permulaan hidup. Sesungguhnya, manusia di dunia ini berada dalam alam kematian, sebab ia mengalami banyak neraka, kesengsaraan, kepanasan dan kedinginan serta kesedihan. Tidak demikian halnya jika manusia hidup dalam alam yang nyata sesudah manusia mengalami kematian dan kelepasan.

Tentang Kematian
Halaman 174-175

...Di tengah suasana yang semakin mencekam itu, Syekh Siti Jenar justru sedang mulai berlayar menempuh kehidupan sejatinya. Ia segera memusatkan pikiran, menutup rapat-rapat pintu napas dan menggulung habis rahasia hidupnya. Tak lama kemudian napasnya itu pun dilepas bersamaan dengan lepasnya tali pengikat hidup bagai kilat. Tanpa diketahui tamunya, para aulia yang tak membayangkan apa yang akan terjadi, Syekh Siti Jenar telah menemui ajalnya.…

...Lima orang aulia yang hadir dan menyaksikan bagaimana Syekh Siti Jenar menemui ajalnya segera memberi salam. Namun salam itu tidak terjawab, bukti bahwa Syekh Siti Jenar telah meninggal dunia. Melihat hal ini, Kanjeng Sunan Bongan berkata kepada Sunan Kalijaga dengan lembut, "Adimas Kalijaga! Bungkuslah jenazah ini dengan baik.…"

Pupuh 4 : Sinom (Petikannya)
Halaman 255 - 263

1. Pandangan hidup Syekh Siti Jenar, yang menganggap bahwa alam kehidupan manusia di dunia sebagai alam kematian, jelas menyimpang dari pendapat Wali Songo. Ijma', yaitu persesuaian pendapat para waliullah, qias yaitu hukum Islam yang bersendikan perbandingan dalil dan hadits, yang telah dipakai sebagai dasar dan pedoman pemerintahan kerajaan Bintara, serta sudah terkenal dan tersohor dalam pembicaraan, sebagai landasan kebijaksanaan pemerintahan yang dapat mengatasi berbagai macam kesukaran diputarbalikkan oleh Syekh Siti Jenar dengan menuturkan bahwa dunia ini adalah alam kematian.

2. Ia berpendapat bahwa dalam alam kematian di dunia ini ada surga dan neraka, dijumpai untung serta sial. Keadaan dunia ini, menurut Syekh Siti Jenar, sesuai dengan dalil Samarkandi; anal mayit pikruhi fayatiju kabilihu, artinya sesungguhnya orang mati, menemukan jiwa raga dan memperoleh pahala serta neraka....

7. Ketiga tempat besok bila sudah hidup kekal dan abadi, keempat tempat alam kematian, yaitu yang sedang dijalani sekarang ini. Lagi pula mereka diberitahu akan adanya Yang Mahaluhur, yang menjadikan bumi dan angkasa ini. Setelah murid menerima wejangan Siti Jenar, banyak yang melakukan bunuh diri dengan jalan mencari perkara sebagai lantaran.

8. Mereka mengamuk di jalan-jalan, bagaikan orang yang sedang dihinggapi kesedihan yang mendalam. Ada pula yang bersikap angkuh, berjalan, tidak mau menyimpang, bahkan sengaja menerjang peraturan dengan maksud agar dikeroyok oleh orang banyak seketika, sehingga mereka dapat pulang ke tempat kehidupan yang abadi.…

10.…Maka Sri Narendra memerintahkan lagi untuk mencari murid Siti Jenar yang majenun untuk dimintai keterangan yang jelas. Beberapa hari kemudian, kebetulan di pasar ada empat orang siswa yang membuat keonaran tidak karuan.

11. Segera mereka ditangkap oleh yang berwajib dan dihadapkan pada Sri Narapati. Bertanyalah Sultan Bintara: "Hai kamu sekalian, mengapa kamu berbuat yang tidak patut terhadap sesamamu?" Menjawab salah seorang dari mereka dengan bahasa Jawa yang kurang hormat untuk diucapkan kepada seorang Raja: "Aku mencari jalan yang menuju hidup sejati! Tidak tahan aku terlalu lama menjalani kematian.…"

14. Demikianlah pendirian para murid dan Pangeran Siti Jenar, yang menerjang tatakrama utama. Wanita dan pria bersikap bengis, sehingga mereka banyak yang membuat perkara dan kekacauan seperti orang-orang gila. Berbagai cara mereka lakukan untuk mengakhiri hidup mereka...

15. Murid-murid Siti Jenar yang tidak melakukan bunuh diri mengumbar tutur yang tidak enak didengar, kepada tetangga mereka di sebelah kanan kiri tempat tinggal. Mereka berkata demikian: "Wahai kawan-kawanku orang yang mati. Ketahuilah saudara-saudara ditipu dan dibujuk oleh para wali mukmin untuk dapat menjadi orang-orang pandai. Mereka memerintah orang tanpa membayar!"

16. Pada waktu itulah Sultan Bintara sangat heran demi melihat banyaknya perkara yang harus diselesaikan. Setiap hari ia menerima berita bahwa di desa-desa luar daerah kota Demak, ada orang-orang mengamuk dan membuat keributan, merusak serta melanggar peraturan hukum yang sah.…

18. Untuk itu, sebaiknya duta menyamar sebagai orang yang ingin menuntut ilmu luhur dan bergabung dengan mereka yang berguru kepada Pangeran Siti Jenar di desa Krendhasawa.…

19. Ia menunjuk dua orang pegawai kerajaan, yang ahli dalam menelaah ilmu, lagi pula orang ahli bahasa dan kesusasteraan serta menguasai dalam meneliti tujuan ajaran serta petunjuk-petunjuk kehidupan, yang ia utus untuk menyelidiki seluk-beluk ajaran Siti Jenar.…

21. Para duta menjelaskan dari awal sampai akhir apa yang mereka lihat, dengar dan ketahui tentang wejangan Syekh Siti Jenar. Sri Sultan Bintara sangat heran demi mendengar laporan para duta, kemudian berkatalah ia: "Hai Paman Patih, bagaimanakah pendapat Pamanda untuk memberantas penjahat Siti Jenar yang majenun itu…?

22. "Seyogyanya Paduka menemui para waliullah dan memberitahu, bahwa ada orang yang merusak agama Islam dan merongrong peraturan yang berlaku. Karena orang itu seorang mukmin, lagipula mendapat sebutan Pangeran wali, maka ini membuktikan bahwa ia orang yang pandai dan menguasai ilmu serta peraturan agama.…

23. Sri Narendra sependapat dengan saran Patihnya. Segera ia mengenakan busana kerajaan dan menuju ke Mesjid untuk menjumpai Wali Songo. Tidak lama kemudian ia sampai di Mesjid dan disambut oleh para waliullah dengan penuh penghormatan….

24. Kemudian Sultan Bintara berkata kepada Sunan Bonang: "Paduka Sunan Bonang yang saya hormati. Saya beritahukan kepada Paduka bahwa dewasa ini banyak orang yang merusak peraturan dan dalil, merusak tatakrama terhadap sesama hidup, mencemoohkan undang-undang yang harus dituruti, dan mengurangi keselamatan dan ketentraman pulau Jawa. Pemerintahan kerajaan retak dan turun kewibawaannya.…

27. …Siang malam saya mencari yang menjadi sebab-musabab kejahatan, sampai akhirnya saya temukan, bahwa kejahatan itu berasal dari Pangeran Siti Jenar. Ia mendirikan perguruan dan banyak pemuda yang berguru kepadanya….

29. "Kalau saya perintahkan dengan kekerasan sesuai dengan hukum kerajaan yang berlaku, saya kira kurang pada tempatnya, karena kekuatan Syekh Siti Jenar tidak seberapa besarnya." Sunan Bonang berkata dengan lemah lembut: "Pendapatmu itu benar, Jebeng Narpati.…"

30. "Sudahlah anaknda Sultan Bintara. Saya persilahkan anaknya kembali. Besok saja apabila Wali Songo mengadakan pertemuan, Jebeng tentu kami persilakan datang, untuk mendengarkan penyelesaian persoalan ini." Sultan Bintara setuju dengan pendapat Sunan Bonang dan ia mohon diri kembali ke istana.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum