Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Satu Hari Menyambut Tamu Jakarta

Ia terkenal sebagai pedagang peti jenazah yang suka menolong. Mengosongkan rumah demi kenyamanan Sukarno-Hatta sehari menjelang Proklamasi.

14 Agustus 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Sukarno memberikan pidato saat menyambut tentara Jepang di Jakarta/nationaalarchief.nl

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI antara rombongan “tamu Jakarta” yang berisi laki-laki dengan seragam prajurit Pembela Tanah Air (Peta) yang baru turun dari truk militer itu, terselip seorang perempuan yang menggendong bayi. Dialah Fatmawati, istri Sukarno, yang menggendong Guntur yang masih berusia delapan setengah bulan. Mereka tiba di Rengasdengklok, sebuah kampung kecil di Karawang, dua jam bermobil ke timur dari Jakarta.

Hari itu, 16 Agustus 1945, pukul 05.00. Fatmawati menggendong Guntur, yang memakai selimut bayi, dengan selendang panjang. Dalam ingatan Fatmawati yang dituturkan kepada Tempo, seperti dimuat di edisi 16 Agustus 1975, ia datang ke Rengasdengklok dikawal oleh Soekarni dan Joesoef Koento—dua tokoh pemuda—serta dua tentara Peta: Chodanco dr Soetjipto Gondoamidjojo dan Shodanco Singgih.

Struktur tentara Peta mengacu pada penamaan tentara Jepang, yang sudah tiga setengah tahun bercokol di Indonesia. Chodanco semacam komandan kompi—satuan militer yang beranggotakan 100 orang—dan shodanco setingkat komandan peleton, yang menjadi anggota kompi. Satu kompi biasanya diisi empat-lima peleton.

Menurut sejarawan Yayasan Bung Karno, Rushdy Hoesein, dr Soetjipto dan Singgih adalah simpul penghubung antara tentara Peta dan kelompok pemuda pergerakan yang “memaksa” Sukarno-Mohammad Hatta segera memproklamasikan kemerdekaan menyusul kekalahan Jepang dari tentara Amerika Serikat dalam Perang Pasifik. “Mereka, terutama dr Soetjipto, adalah tentara yang berpolitik,” kata Rusdhy.

Pengawalan yang disebut Fatmawati itu dalam sejarah Indonesia dikenal sebagai “penculikan” dua tokoh revolusi Indonesia. Singgih yang memimpin penculikan itu. Ia membawa rombongan Sukarno-Hatta serta sejumlah tokoh politik dan revolusi Indonesia ke markas Peta di Rengasdengklok. Singgih pula yang memerintahkan para “pembesar” itu berpindah dari sedan Fiat ke truk militer di Cipinang.

Dalam tulisan Sekitar Proklamasi, yang diterbitkan Tintamas pada 1970, Mohammad Hatta menceritakan alasan pemindahan angkutan itu. Mengutip Singgih, ia menulis bahwa mobil sedan tak sesuai dengan jalanan Rengasdengklok yang berbatu. Tapi Hatta punya dugaan sendiri bahwa sebenarnya pemindahan rombongan ke truk militer supaya sopir sedan tak mengetahui lokasi akhir perjalanan mereka. Hatta sendiri mengaku belum tahu di mana letak kampung itu.

Rushdy punya analisis lain. Rengasdengklok, kata dia, sudah direncanakan secara matang sebagai lokasi penculikan. Sebab, penculikan itu dibahas dalam rapat para pemuda pergerakan bersama Singgih di Asrama Menteng 31. Singgih kemudian membuat rencana lebih detail bersama beberapa tentara Peta di Rumah Makan Malabar di daerah Hayam Wuruk, Jakarta Pusat. Shodanco Sutrisno mengusulkan Sukarno-Hatta dibawa ke Bogor.

Singgih tak setuju. Ia menganjurkan Rengasdengklok karena sudah akrab dengan Chodanco Soebeno, Shodanco Oemar Bahsan, Shodanco Suharyana, dan Shodanco Affan yang bertugas di sana. Pertimbangan lain: tentara Rengasdengklok dikenal memiliki sikap sangat keras kepada Jepang. Untuk mengelabui tentara Jepang, rombongan Jakarta itu diberi seragam Peta.

Kamar Sukarno di rumah Djiauw Kie Siong, Rengasdengklok, Karawang, 22 Juli 2019/Tempo/Jati Mahatmaji

Di Rengasdengklok, menurut Fatmawati, mereka berpindah-pindah tempat. Pertama, rombongan turun dari truk ke pondok dekat sawah, lalu dipindahkan ke sebuah surau karena ada kabar Jepang akan datang ke wilayah itu. Merasa tak aman, tentara Peta menggiring mereka ke asrama tentara dengan menyeberangi sungai.

Rupanya, asrama itu punya ventilasi yang buruk. Hawa lengas Rengasdengklok membuat Fatmawati dan Guntur kepanasan. Ditambah susu bubuk bekal Guntur tertinggal di sedan Fiat sewaktu mereka pindah ke truk. Menurut Oemar Bahsan, seperti tertuang dalam catatannya, PETA dan Peristiwa Rengasdengklok, yang terbit pada 1955, Peta sudah menyiapkan Prajurit Sukri sebagai pembantu pribadi Fatmawati.

Toh, kegusaran Fatmawati tak pupus karena ada pembantu khusus. Para tentara lalu berunding memindahkan para “tawanan” ini ke tempat lain yang lebih nyaman. Dari Camat Rengasdengklok, Soejono Hadipranoto, Singgih mendapat saran agar rombongan Jakarta ini dipindahkan ke rumah Djiauw Kie Siong, seorang pedagang peti jenazah, yang punya rumah besar. Ketika dipanggil menghadap camat, Djiauw langsung menyatakan bersedia menerima tetamu Jakarta.

Djiauw berhubungan dekat dengan tentara Peta. Sembilan anaknya acap bermain dengan para tentara. Sementara itu, para komandan sering memesan peti jenazah tiap kali prajuritnya selesai bentrok dengan tentara Jepang. “Ada catatan, rumahnya juga pernah dipinjam untuk menitip tawanan Peta,” ucap Rushdy.

Menurut Djiauw Kiang Lin alias Janto Djoewari, cucu Djiauw dari anaknya yang kelima, ayahnya acap menceritakan bahwa sang kakek punya jiwa altruistis, suka menolong tanpa pamrih. Djiauw adalah sosok yang pas untuk menopang penculikan dan membuat rencana memerdekakan diri dari pendudukan Jepang itu. Rumahnya juga sempurna sebagai persembunyian.

Janto dan keluarganya kini menempati rumah itu karena diwariskan sang kakek kepada ayahnya. Hanya, karena ancaman erosi sungai, rumah dipindahkan dan dirombak di beberapa bagian, kecuali lantai terakota, atap ruang depan, dan dinding kamar yang masih asli.

Keberadaan sungai membuat penyembunyian Sukarno-Hatta kian rapi. Jika keadaan darurat, Sukarno dan Hatta bisa lari memakai perahu. Secara kebetulan pula Ramadan 1945 bertepatan dengan perayaan Cit Gwee, bulan ketujuh selepas Imlek.

Semua anggota keluarga Djiauw berkumpul di rumahnya yang rindang dan megah seluas 3.000 meter persegi itu. Banyak penganan dan makanan. Pas untuk menyambut rombongan Jakarta. Djiauw lalu memindahkan keluarganya ke rumah anaknya yang pertama, Djiauw Kang Hin, tak jauh dari sana. Hanya mengganti seprai kasur, Djiauw si pedagang peti jenazah mempersilakan para tamu memasuki rumahnya untuk tinggal. Agar tak mencolok, tentara Peta membiarkan satu mobil parkir di halaman rumah Djiauw untuk keadaan darurat.

Fatmawati melukiskan rumah -Djiauw plus halamannya seluas lapangan sepak bola yang ditumbuhi pelbagai macam pohon. “Banyak kotoran babi,” ujarnya. -Djiauw memang memelihara berbagai binatang ternak. “Bukan hanya babi, ada juga sapi, kambing, ayam, dan itik,” kata Lanny, istri Janto. Hewan-hewan itulah yang disediakan Djiauw untuk keperluan makan para tamu.

Hanya satu anak Djiauw yang dibolehkan tinggal di rumah itu karena mengawasi ternak-ternak tersebut. Tentara Peta mengambil alih dapur beserta penjagaannya. Tapi hanya Fatmawati yang tak berpuasa karena sedang menyusui. Saat makan siang, ia menyantap nasi dan sup. “Bumbu mericanya sangat pedas hingga Guntur menangis terengah-engah,” ujarnya. Fatmawati hanya ingat makanan itu disodorkan oleh tentara Peta.

Setelah makan siang, Fatmawati menidurkan Guntur di ruang tengah, sementara Sukarno tidur di kamar dalam. Hatta, sementara itu, tak terlihat ada di mana. Mungkin ia sedang mengeringkan celana yang basah karena Guntur pipis sewaktu digendongnya.

Shodanco Singgih dan istrinya, 1944./Dokumentasi Perpustakaan Nasional

Ketika bangun pukul 17.00, setelah memandikan Guntur dan hendak bermain di balai-balai, Fatmawati melihat Sukarno, Hatta, dan Soekarni tengah berunding serius di ruang tengah. Djiauw bersaksi banyak buku catatan yang robek dan -sampah kertas tak bisa dihitung banyaknya. “Semua itu dibakar begitu tamu Jakarta pulang,” kata Janto, mengutip cerita kakeknya.

Tapi Hatta menegaskan dalam catatannya bahwa tak ada kegiatan apa pun, termasuk perundingan, di dalam rumah itu. Berulang kali ia menyebut, “Sedang bertamasya,” menanggapi penculikan Rengasdengklok. Menurut dia, kegiatan mereka hanyalah bergantian mengasuh Guntur hingga anak itu pipis di pangkuannya. “Celana itu saya pakai dari basah sampai kering sendiri, hingga saya tak dapat salat dibuatnya,” tulis Hatta.

Menjelang buka puasa, Ahmad Soebardjo yang didampingi Joesoef Koento tiba di rumah Djiauw. Fatmawati tak mendengar jelas percakapan mereka. Keduanya bergegas kembali ke Jakarta setelah mengobrol sebentar dengan Sukarno-Hatta. Dari catatan-catatan sejarah, kita tahu Soebar-djo datang untuk memastikan bahwa Sukarno dan Hatta sudah yakin memproklamasikan kemerdekaan esok harinya.

Catatan Oemar Bahsan menguatkannya. Ia menulis bahwa rombongan Sukarno-Hatta bersiap ke Jakarta pada pukul 19.30 waktu Tokyo atau pukul 21.30 waktu Indonesia—beberapa jam setelah kedatangan Soebardjo. Esoknya, dunia mencatat Indonesia menyatakan kemerdekaan dari pendudukan Jepang. Djiauw Kie Siong dan keluarganya mendengar suara tamu mereka itu menggelegar di radio....

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus