Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BERLEMBAR-LEMBAR kertas terserak di ruang tamu rumah Djiauw Kie Siong di Rengasdengklok, Karawang, pada 16 Agustus 1945. Malam itu, sekitar pukul 21.00, Sukarno dan Mohammad Hatta serta istri Sukarno, Fatmawati, dan bayinya, Guntur Soekarnoputra, baru saja meninggalkan rumah tersebut. Mereka pulang ke Jakarta setelah singgah di sana selama kurang dari sehari setelah “diculik” Soekarni dan para pemuda.
Djiauw Kiang Lin alias Janto Djoewari, cucu Djiauw Kie Siong, yang pernah mendapat cerita dari kakeknya, mengatakan kertas-kertas yang ditinggalkan Sukarno-Hatta dipenuhi coretan. Tapi isinya tak pernah diketahui. Khawatir lembaran itu jatuh ke tangan yang salah, Djiauw langsung membakarnya. “Empek Djiauw langsung membereskan ruangan dan kamar yang dipakai Sukarno dan Hatta,” kata Janto, 70 tahun, pada akhir Juli lalu. Empek Djiauw adalah panggilan sang cucu kepada kakeknya.
Selain berkas coret-coretan, menurut Djiauw kepada cucunya, tersisa kue mangkuk dan buah pisang di meja. Saat Sukarno-Hatta datang, Djiauw memang menyiapkan aneka penganan untuk tamunya. Tapi hanya sedikit yang dikudap rombongan karena waktu itu bertepatan dengan puasa Ramadan. Hanya Fatmawati yang waktu itu tak berpuasa karena sedang menyusui Guntur, yang berumur delapan setengah bulan.
Setelah hari itu, Djiauw menjalani hidup seperti biasa. Indonesia pun merdeka dan Sukarno menjadi presiden. Hingga pada 1957, Djiauw mendapat kabar dari pegawai desa bahwa Sukarno hendak napak tilas ke rumahnya di sela menghadiri acara panen raya padi di Karawang.
Menurut cerita Djiauw kepada Janto, kunjungan Sukarno pada waktu itu akan dilaksanakan pada hari Jumat. Djiauw bersemangat menyambut tamu besarnya. Ia membubut ilalang yang tumbuh di pekarangan. Kue pisang ia siapkan sebagai suguhan.
Rupanya, acara panen raya mulur hingga waktu salat Jumat. Sukarno memilih mendirikan salat dulu. Setelah selesai, Presiden memutuskan langsung pulang ke Jakarta dan membatalkan kunjungan ke rumah Djiauw. “Kakek tak kecewa sama sekali karena memahami bahwa jadwal Presiden sangat sibuk,” ujar Janto.
Batal bertemu dengan Sukarno, -Djiauw mendapat penghiburan di lain waktu. Berselang beberapa tahun, pegawai desa tiba-tiba mengundangnya ke pendapa Rengasdengklok. Di sana Djiauw sudah ditunggu Fatmawati, ibu negara. Dalam acara ramah-tamah tersebut, Fatmawati didampingi Bupati Karawang Husni Hamid. Potret Djiauw bersalaman dengan Fatmawati kini tergantung di ruang utama rumah Rengasdengklok. “Ibu Fatmawati tak sempat mampir ke rumah. Hanya di pendapa kabupaten,” kata Janto.
Kunjungan Fatmawati terjadi setelah rumah Djiauw bergeser letaknya. Pada 1957-1958, Citarum kerap meluap. Rumah Djiauw yang berada di tepi sungai terpanjang di Jawa Barat itu terendam banjir.
Louw Kwie Tjwan, menantu Djiauw dari anak kelima, seperti ditulis Tempo pada 16 Agustus 1975, mengatakan mertuanya masih yakin bahwa rumah itu sanggup berdiri ketika Citarum meluber pada 1957-1958. Tapi, ketika tanggul Citarum jebol karena banjir pada 1961, Djiauw mulai berpikir memindahkan rumahnya. Banjir waktu itu menggeser aliran Citarum ke sisi timur sejauh 50 meter, sepanjang tak kurang dari 5 kilometer. “Kami khawatir rumah bakal ambruk,” ujar Louw kala itu.
Tempo/Jati Mahatmaji
Menyadari rumahnya bersejarah, -Djiauw menyelamatkan rangkanya yang terbuat dari kayu dan mendirikannya lagi di sebelah timur rumah lama, yang berjarak 150 meter. Kebetulan kuda-kuda rumah Djiauw menggunakan sistem bongkar-pasang. Dia hanya perlu membongkar sebagian balok kayu, alih-alih merobohkan seluruh bangunan. “Kami mempertahankan bentuk asli rumah dan tetap menghadap ke arah selatan,” kata Janto. Djiauw, yang dikenal ahli hong sui, meminta keluarga tak mengubah bentuk rumah itu karena dinilainya sudah tepat sesuai dengan perhitungan hong sui. Walau begitu setelah berpindah, rumah itu tak lagi memiliki pendapa.
Rumah yang dulu berpendapa jembar. Di dalamnya terdapat dua kamar yang, menurut Janto, pernah ditinggali Sukarno dan Fatmawati serta Hatta. Menurut Janto, rumah itu berukuran lebih besar daripada rumah sekarang. “Dulu kalau masak tempe dan lupa ngambil piring, terus balik lagi, pasti tempenya gosong,” ucapnya.
Tanah dan bangunan lama rumah -Djiauw sudah tergusur banjir. Menurut Janto, lokasi rumah lama itu berada di tengah-tengah Citarum saat ini.
Saat Tempo berkunjung ke rumah “baru” Djiauw Kie Siong pada akhir Juli lalu, tampak teras dan bagian dalam rumah saja yang masih tampak asli. Dinding rumah mempertahankan kayu yang dipakai di rumah lama, tapi kini dipelitur, membuat tekstur serat kayunya tampak menonjol. Di bagian dalam rumah, hanya ubin terakota dari rumah lama yang terpasang. Selebihnya perabot dan material baru sama sekali, seperti bufet dan kursi.
Selepas Proklamasi, Djiauw tak dilupakan oleh markas militer di Karawang. Ia beberapa kali diundang untuk hadir dalam upacara memperingati hari kemerdekaan. Tempatnya bisa di pendapa Karawang atau lapangan Purwakarta, yang waktu itu masih berbentuk keresidenan. Dalam sebuah upacara di Purwakarta, menurut Janto, kakeknya pernah mendapat kehormatan menginspeksi kesiapan pasukan ketika defile. “Pengalaman itu menjadi kebanggaan Empek Djiauw,” ujarnya.
Perhatian terhadap jasa Djiauw Kie Siong selama persiapan kemerdekaan ditunjukkan pula oleh legiun veteran. Beberapa tahun sebelum kematiannya pada 1964, Djiauw pernah diminta melengkapi dokumen untuk penganugerahan pangkat kopral sebagai tanda jasa ikut berjuang dalam kemerdekaan. Menurut Janto, tanda pangkat itu akan diberikan kepada salah satu anak laki-laki Djiauw, bukan untuk kakeknya.
Terlepas dari siapa yang akan dianugerahi pangkat kopral, Djiauw melengkapi dokumen yang diminta. Menurut Janto, berkas persyaratan itu sedianya akan dikirimkan kepada seorang menteri di Jakarta. Nahas, dalam perjalanan dari Karawang menuju Jakarta, dokumen itu dicopet. “Empek Djiauw diminta mengurus ulang dari awal, tapi beliau tak mau,” kata Janto.
Fatmawati mengunjungi Djiauw Kie Siong di Rengasdengklok pada 1960-an/Dokumentasi Keluarga
Pengakuan atas jasa Djiauw Kie Siong juga diberikan Panglima Komando Daerah Militer Siliwangi Mayor Jenderal Ibrahim Adjie. Pada 1961, Ibrahim menyerahkan piagam penghargaan atas nama Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang menyebut Djiauw Kie Siong ikut mewujudkan kemerdekaan Indonesia. Salinan piagam dengan pasfoto Djiauw disimpan Janto dalam pigura kaca.
Menurut Janto, penghargaan dari Kodam Siliwangi itu pernah menjadi semacam “surat sakti”. Suatu ketika ia pernah mengurus pajak tanah rumah sejarah Rengasdengklok. Janto bermaksud meminta keringanan karena rumah kakeknya menjadi lokasi persiapan kemerdekaan. Petugas pajak meminta bukti peristiwa itu. Janto pun menyodorkan salinan sertifikat dari Mayor Jenderal Ibrahim Adjie. Seketika urusan lancar.
Meski begitu, keistimewaan dari pemerintah untuk rumah Djiauw Kie Siong tak ajek. Janto mengatakan keluarganya kembali membayar pajak tanah dan bangunan. Ia berharap rumah kakeknya yang sempat menjadi persinggahan dua proklamator diperlakukan seperti bangunan cagar budaya lain. “Saya mohon keistimewaan untuk rumah Empek Djiauw yang dulu pernah diberikan tak disetop,” ujar Janto.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo