Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Amir Hamzah
REVOLUSI acap memakan anak-anaknya sendiri. Amir Hamzah tewas dipancung pemuda sosialis dalam huru-hara mengusir pemerintah kolonial Belanda di Kesultanan Langkat, Sumatera Timur, pada 20 Maret 1946. Amir, penyair Pujangga Baru, sejak mula aktif dalam organisasi pergerakan yang menganjurkan kemerdekaan Nusantara dari kekuasaan Belanda.
Amir merambah semua gelanggang pergerakan menjelang Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 1945. Ia sekretaris Indonesia Muda, organisasi siswa yang aktif merumuskan Nusantara sebagai Indonesia. Ia menganjurkan pemakaian bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan untuk menumbuhkan nasionalisme dalam pidato dan artikel di majalah. Ia mengajar hingga jauh ke dusun-dusun untuk mempromosikan pentingnya kemerdekaan. Pendeknya, ia seorang republikan yang tulen.
Segala kiprahnya itu lindap oleh garis keturunan. Para pemuda sosialis dan anggota-anggota laskar yang tak sabar mengusir Belanda membunuhnya karena Amir keponakan sekaligus menantu Sultan Langkat. Amir dianggap pengkhianat karena mengabdi kepada Sultan sebagai kepala luhak, kendati jabatan itu memposisikannya sebagai wakil pemerintah Indonesia yang belum genap setahun di Sumatera Timur.
Ia terjepit di antara dua kepentingan: kemerdekaan sepenuhnya dan kewajibannya sebagai abdi sultan. Sumatera Timur dibentuk pemerintah Hindia Belanda pada 1887, sebuah wilayah yang dipecah menjadi enam kesultanan: Langkat, Deli, Serdang, Asahan, Simalungun, dan Tanah Karo. Belanda membutuhkan dukungan para sultan untuk menguasai minyak dan hasil-hasil perkebunan lewat kontrak-kontrak bisnis yang dinikmati keluarga penguasa. Pada 1930-an, seperlima ekspor hasil bumi dari Nusantara datang dari Sumatera Timur.
Kontrak-kontrak bisnis itu membuat para sultan bergelimang harta. Sultan Langkat Mahmud Abdul Jalil Rahmad Shah menjadi penguasa paling tajir di Sumatera Timur. Dengan kekayaan itu, Sultan Mahmud membangun tiga istana megah di Tanjung Pura dan Binjai. Dalam catatan sejarawan Asia Tenggara dari Australian National University, Anthony Reid, Sultan Mahmud punya 13 mobil mewah Buick, kuda pacu, serta kapal sekoci pesiar. Di istana, pejabat-pejabat Belanda dijamu dengan makanan mewah, juga pesta yang megah.
Kekayaan itu membuat kesenjangan menganga dengan rakyat jelata, faktor yang menyulut kemarahan para pemuda dan anggota laskar-yang berjuang dalam perundingan ataupun pertempuran dengan pasukan Belanda di hutan-hutan. Dus, proklamasi pada 17 Agustus 1945 tak otomatis menjadikan wilayah-wilayah jajahan itu merdeka sepenuhnya.
Kendati ada sumpah setia para sultan kepada Republik di depan Gubernur Sumatera, kontrak-kontrak bisnis dengan Belanda tak langsung gugur. Para pemuda yang tergabung dalam laskar-laskar mencoba mempercepat proses itu dengan menyerbu istana-istana mereka.
Para pemuda menganggap para sultan dan keluarganya sebagai antek Belanda yang tak mengakui Republik Indonesia. Laskar-laskar itu dibentuk partai sebagai alat perjuangan tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan. Pemuda Sosialis Indonesia, yang menjadi motor revolusi di Langkat, misalnya, dibentuk Partai Komunis Indonesia. Ada juga laskar lokal semacam Harimau Liar-yang populer lewat film Nagabonar-Gagak Hitam, Marsose, dan Laskar Hizbullah.
Etnis juga menjadi faktor yang penting dalam huru-hara di Sumatera Timur. Meski wilayah kesultanan berisi orang-orang Melayu, jumlah mereka kalah dibandingkan dengan pendatang dari Jawa, Minangkabau, Mandailing, Batak, dan etnis lain. "Terutama di masa kejayaan tembakau Deli," kata Reid. Merekalah yang memelopori serbuan ke istana-istana sultan untuk merebut dan mendudukinya.
Amir Hamzah tergulung dalam gelombang kemarahan itu. Portofolio aktivitas perjuangannya untuk mendirikan Republik tak digubris. Padahal, pada 1935, Amir sudah menyarankan pamannya menempuh jalan demokrasi dengan memberikan hak bersuara kepada rakyat Langkat. Ia lampus hanya karena tak bisa memilih sebagai keluarga sultan.
Pembaca, sejarah tak selalu berjalan linear dan tak melulu ditulis para pemenang. Kami menerbitkan edisi khusus Amir Hamzah ini untuk mendudukkan apa yang sebenarnya terjadi dalam revolusi itu dan mengapa Amir ikut dibunuh. Benarkah ia antek Belanda? Tuduhan ini dipakai sekelompok orang untuk menggugat gelar pahlawan nasional yang diberikan kepadanya oleh pemerintah Indonesia pada 1975.
Tim edisi khusus yang dipimpin Mahardika Satria Hadi, Redaktur Desk Internasional, menemukan dokumen berharga tentang kiprah organisasi rahasia Belanda yang berisi para pangeran kesultanan Sumatera Timur. Amir tercatat dalam daftar anggota organisasi Siap Sedia, yang dibentuk intelijen Belanda untuk menghadang invasi Jepang pada 1943. Dokumen itu terafiliasi dengan catatan-catatan para sejarawan saat melacak perang di wilayah yang kini menjadi bagian pesisir timur Sumatera Utara itu.
Kami memilih Amir untuk merayakan kemerdekaan Indonesia ke-72 ini. Hidupnya terlalu berwarna untuk dituliskan dalam sebuah edisi khusus yang terbatas: pelopor Sumpah Pemuda, aktivis pergerakan kemerdekaan, penyair yang menghidupkan kembali pantun bebas yang mempengaruhi perkembangan puisi Indonesia modern, pangeran yang kesepian, kisah cinta yang tak sampai, hingga keterlibatannya dalam organisasi rahasia Belanda.
Untuk menulis faset-faset penting kiprah Raja Penyair Pujangga Baru ini, kami melacak jejak pembunuhannya ke Binjai. Kami menemui keluarga dan teman sepermainannya serta kawan sekolahnya di Solo dan Jakarta. Kami juga berdiskusi dengan Suprayitno, sejarawan Universitas Sumatera Utara, yang banyak meneliti sejarah kesultanan di wilayah itu, dan budayawan Langkat, Djohar Arifin Husin. Juga dengan Nurhayati Sri Hardini atau Nh. Dini, yang menulis biografi Amir Hamzah dari kesaksian anak dan saudara-saudaranya.
Hidup Amir Hamzah adalah kisah tragis seorang aktivis revolusi yang tergilas gelombang revolusi yang dulu diperjuangkannya. Selamat membaca.
Tim Edisi Khusus Amir Hamzah
Penanggung Jawab: Bagja Hidayat Kepala Proyek: Mahardika Satria Hadi Penulis: Abdul Manan, Ayu Prima Sandi, Erwan Hermawan, Gabriel Wahyu Titiyoga, Gadi Kurniawan Makitan, Khairul Anam, Linda Novi Trianita, M. Reza Maulana, Mahardika Satria Hadi, Nur Alfiyah, Praga Utama, Prihandoko, Rusman Paraqbueq, Syailendra Persada, Wayan Agus Purnomo Penyunting: Bagja Hidayat, Firman Atmakusumah, Iwan Kurniawan, Jajang Jamaludin, Sapto Yunus, Seno Joko Suyono, Wahyu Dhyatmika, Yandhrie Arvian Penyumbang Bahan: Iil Askar Mondza, Syailendra Persada (Medan dan Langkat), Pito Agustin Rudiana (Yogyakarta), Ahmad Rafiq (Solo) Foto: Ijar Karim, Jati Mahatmaji, Ratih Purnama Ningsih, Rizki Putra, Subekti Digital: Moerat Sitompul, Sadika Hamid Desain: Djunaedi, Eko Punto Pambudi, Hindrawan, Kendra Paramita, Rudy Asrori, Tri W. Widodo Bahasa: Heru Yulistiyan, Iyan Bastian, Uu Suhardi Riset: Danni Muhadiansyah, Evan Koesoemah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo