Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
EMPAT lukisan legendaris Basoeki Abdullah (1915-1993), Nyai Roro Kidul (1955), Gatotkaca Memikat Pergiwa dan Pergiwati (1958), Jika Tuhan Murka (1950), serta Pantai Flores (1942), yang dipamerkan di Galeri Nasional, Jakarta, memang terkenal dalam ingatan masyarakat. Di kalangan luas seni rupa, lukisan Nyai, Gatotkaca, dan Pantai Flores telah ribuan kali di-copy para pelukis, dari yang baru belajar sampai pelukis profesional.
"Saya melukis Nyai beberapa kali. Setiap kali akan melukis, saya pamit kepada Nyai di Pantai Parangtritis. Dan Nyai selalu wanti-wanti agar wajahnya tidak dijadikan subyek. Artinya, minta diganti wajah orang lain," ujar Basoeki sekali waktu. Basoeki akhirnya selalu memakai model untuk melukiskan Nyai di atas kanvas. Anehnya, demikian ia serius bercerita, para model itu menderita sakit berkepanjangan beberapa pekan setelah dilukis. Bahkan model lukisan Nyai yang jadi koleksi Bung Karno meninggal. "Padahal dia datang dalam keadaan sehat. Ia adalah istri seorang dokter," kata Basoeki.
Lukisan Gatotkaca Memikat Pergiwa dan Pergiwati (255 x 170 sentimeter) berangkat dari obrolan lelakon wayang antara Basoeki dan Bung Karno. Syahdan, Bung Karno, yang mengidolakan Bima, terpesona oleh Gatotkaca. Pasalnya, si Gatot adalah lelaki sangat pandai, setidaknya disimak dari namanya. Gatot berasal dari kata gata, yang artinya besar dan berisi, serta utkaca, yang berarti kepala. Itu sebabnya Gatotkaca tak pernah menggunakan senjata apabila berperang, dan di tubuhnya ada mesin untuk membawanya terbang. Sedangkan Basoeki kagum kepada Gatotkaca lantaran lelaki berkumis maskulin itu banyak yang naksir. Namun Basoeki tetap mengidolakan Hanoman.
Pergiwa dan Pergiwati yang cantik adalah anak kembar Arjuna dari hasil perkawinan dengan Dewi Mamuhara. Dalam lakon Pergiwa-Pergiwati dan Pancawala Rabi, Gatotkaca berhasil mempersunting Pergiwa. Namun, dalam lakon ciptaan Basoeki dan Bung Karno, Gatotkaca berhasil mempersunting keduanya sekaligus!
Lukisan Jika Tuhan Murka (200 x 300 cm, 1950) memiliki lapisan cerita cinta, keluarga, serta politik. Dan, lapisan cerita itu milik Basoeki dan Maria Michel alias Maya, istri kedua setelah ia bercerai dengan istri pertama.
Alkisah, semua itu berkait dengan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag pada Agustus-September 1949. Di sini Basoeki dicurigai memberikan info rahasia kepada Sukarno, Rum, serta Sultan Hamid Alkadrie (wakil dari Bijeenkomst voor Federaal Overleg), yang semuanya menyebabkan pelemahan posisi Belanda dalam perundingan. Info tersebut jalin-menjalin dengan pembentukan Komisi Timbang Terima dari tangan Belanda ke Indonesia di Yogyakarta pada 10 Juni 1949. Peristiwa ini lantas berhubungan dengan penarikan tentara Belanda dari Wonosari, Yogyakarta, yang disaksikan langsung oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Di sisi lain, diketahui, dalam rangka KMB itu Basoeki menggelar pameran di Victoria Hotel, Amsterdam, dengan karya-karya patriotik dan tidak pro-Belanda.
Kasak-kusuk ini meresahkan Maya, yang tentu saja pro-Belanda. Ia meminta Basoeki membuktikan tuduhan itu tidak benar. Tapi, bila terbukti, ia minta cerai! Basoeki, yang dianggap tahu ihwal politik elite Belanda lantaran pergaulannya dengan kalangan Istana Soestdijk, tentulah tak pernah mengaku. Apalagi dokumen ihwal itu tidak pernah ada.
Untuk menunjukkan dirinya bukan manusia yang suka berbuat dosa dan bermain mata-mata, Basoeki lantas menciptakan lukisan yang berkisah tentang neraka. Lukisan itu menggambarkan sebuah lorong gua besar yang ujungnya memancarkan bara api. Di atas batu bertakik-takik, tampak puluhan manusia yang menggeliat kepanasan dan tak mati-mati. Karya emosional ini diadaptasi dari lukisan John Martin, Great Day of His Wrath (1853). Basoeki menunjukkan kepada Maya nasib seorang mata-mata akan berujung di neraka seperti itu.
Heboh internal ini terkuak ketika penulis bernama Marhaen mewawancarai Basoeki untuk surat kabar Asia Raja pada medio Agustus 1950 dalam kaitannya dengan pameran Basoeki di Hotel Des Indes, Jakarta. "Seakan-akan keluh kesah semata jang kita dengar dari mulut Basoeki... Kepahitan mana sebetulnja berdasar pula pada alasan-alasan psychologis jang ditimbulkan oleh adanja perselisihan politis dan militer antara bangsa Indonesia dan Belanda," demikian ditulis Marhaen. Jusuf Ronodipuro, sahabat Basoeki, pejuang dan penyiar Radio Hoso Kyoku yang merebut stasiun radio di seluruh Jawa, agak kaget dengan pengungkapan Asia Raja. "Kadang-kadang Basoeki memang bikin orang kesemutan," katanya. Perkawinan Basoeki dengan Maya bertahan sampai 1956. Beberapa tahun kemudian, lukisan ini berpindah tangan ke Bung Karno, dan dijuduli Jika Tuhan Murka.
Lukisan Pantai Flores (117 x 180 cm, 1942) yang manis ternyata menyimpan sejarah nan pahit. Lukisan Basoeki ini digubah berdasarkan lukisan cat air karya Bung Karno, yang dibikin kala ia dibuang ke Ende, Flores, selama beberapa tahun sejak 1933. "Beberapa minggu setelah saya bertemu di Bandung, Bung Karno ditangkap Belanda dan dibuang jauh," kata Basoeki.
Atas Ende ini, Bung Karno punya kenangan, sebagaimana ditulis oleh Cindy Adams dalam buku Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.
"Di Kota Ende terdapat kampung yang lebih kecil lagi, terdiri dari pondok-pondok beratap lalang, bernama Ambugaga. Jalanan Ambugaga itu sangat sederhana, sehingga rambahan di mana terletak rumahku tidak bernama. Tidak ada listrik, tidak ada air leding. Kalau hendak mandi aku membawa sabun ke Wola Wona, sebuah sungai dengan airnya yang dingin...."
Keterbuangan Bung Karno di tengah kampung terpencil menjadikan dirinya ingin meluapkan perasaan. Ia pun melukis. Setelah Kampung Ambugaga ia rekam, giliran Pantai Flores ia angkat sebagai tema. Kampung Ambugaga diibaratkan sebagai penjara, sedangkan Pantai Flores dibayangkan sebagai surga, yang menawarkan kebebasan, hakikat dari kemerdekaan.
Jepang masuk ke Indonesia, kemudian Belanda hengkang. Lukisan Pantai Flores yang ia buat dari cat air di kertas itu ditunjukkan kepada Basoeki dalam sebuah pertemuan Poesat Tenaga Rakjat (Poetera). Basoeki tergetar, kemudian melukiskannya kembali pada pertengahan 1942 dengan medium cat minyak di kanvas. Bung Karno tentulah terharu. Lukisan Basoeki itu lantas dipajang di kantornya selama beberapa tahun. Ketika Bung Karno menggelar jumpa pers di rumahnya di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56, Jakarta, pada akhir 1945, lukisan Pantai Flores dipakai sebagai latar belakangnya.
Agus Dermawan T., Pengamat Seni Rupa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo