Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Dari Dik Tiyul hingga Makovsky

Koleksi lukisan Istana Kepresidenan dipamerkan kepada umum untuk kedua kalinya. Lukisan pemandangan alam mendominasi.

14 Agustus 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUDARWOTO mengamati lukisan perempuan berkebaya biru itu sambil mengingat-ingat. Lukisan tersebut dibuat pada 1952 oleh Sudarso, ayah Sudarwoto. "Sepertinya ini dilukis di rumah kami di Sentul Rejo. Ini Tiyul, tetangga kami," kata Sudarwoto tentang lukisan karya ayahnya berjudul Tiyul atau Dik Tiyul itu.

Tiyul menjadi salah satu lukisan yang dipamerkan dalam Pameran Lukisan Koleksi Istana Kepresidenan Republik Indonesia di Galeri Nasional hingga akhir Agustus mendatang. Ini kedua kalinya Istana membuka koleksi seni untuk umum. Tahun lalu, 28 lukisan bertema gelora perjuangan ditampilkan. Kali ini, 48 lukisan dari 41 perupa dihadirkan di bawah tajuk "Senandung Ibu Pertiwi".

Lukisan lain karya Sudarso yang dipamerkan adalah Madonna. Lukisan perempuan berkerudung menggendong bayi itu, menurut Sudarwoto, dipesan langsung oleh Sukarno kepada ayahnya. "Sukarno membayar lukisan-lukisan Bapak dengan cara mencicil setiap bulan," ujar Sudarwoto, menirukan cerita ayahnya.

Kebiasaan Sukarno mengoleksi lukisan dimulai pada 1930-an ketika masih tinggal di Bandung. Di sana, ia sering menyambangi rumah pelukis Affandi dan S. Tutur. Di Bandung pulalah Sudarso, yang saat itu belajar melukis kepada Affandi dan diajak membentuk Kelompok Lima-terdiri atas Affandi, Barli Sasmitawinata, Hendra Gunawan, Sudarso, dan Wahdi-bertemu dengan Sukarno. Belakangan, Sudarso pun menjadi penyambung Sukarno untuk mencari karya-karya bagus dari pelukis lain. Dengan cara itulah antara lain Sukarno mengumpulkan lebih dari 3.000 lukisan yang kini menjadi koleksi istana kepresidenan.

Meski sering membayar lukisan dengan cara mencicil, menurut Sudarwoto, jumlah uang yang dibayarkan Sukarno untuk sebuah lukisan mampu menghidupi keluarganya. Sudarso dapat meninggalkan pekerjaan sebelumnya sebagai pengantar susu dan telur untuk berfokus membuat lukisan, delapan di antaranya dibeli Sukarno. Lukisan Sudarso lainnya yang dikoleksi Sukarno di antaranya Dik Kedah, Wanita Berkebaya Kuning, dan Berselendang Pelangi.

Penilaian aset atas koleksi Istana pada 2011 menaksir lukisan Dik Kedah, yang menggambarkan seorang perempuan pekerja keras, kini bernilai sekitar Rp 1,2 miliar. Kekhasan Sudarso adalah melukis sosok perempuan berkebaya, pas dengan ketertarikan Sukarno pada lukisan perempuan cantik. Sukarno mempunyai koleksi sekitar 50 lukisan perempuan berkebaya dari sejumlah pelukis. Sepuluh di antaranya dapat dilihat dalam pameran ini, seperti Potret Sumilah oleh Soedibio dan Wanita Yogya oleh Trubus Sudarsono.

Kurator pameran, Asikin Hasan, mengatakan Sukarno senang mengoleksi lukisan perempuan berkebaya karena menunjukkan identitas bangsa. "Bung Karno ingin membentuk identitas, sama seperti kegemarannya memakai peci karena itu identitas," kata Asikin.

Rangkaian lukisan perempuan berkebaya ditampilkan dalam Seri Tradisi dan Identitas. Ada beberapa seri dalam pameran kali ini. Paling banyak menampilkan lukisan pemandangan alam dalam Seri Keragaman Alam. "Sebagian besar koleksi Sukarno memang Mooi Indie, yang pada masa itu sedang jadi tren," Asikin menjelaskan.

Lukisan paling mahal yang tampil dalam pameran ini adalah pemandangan alam yang dilukis Raden Saleh pada 1863. Lukisan cat minyak berjudul Harimau Minum itu menampilkan suasana hutan lebat dalam warna yang redup tapi dramatis. Diperkirakan lukisan berukuran 160 x 116 sentimeter itu kini bernilai lebih dari Rp 2,5 miliar.

Selain itu, ada lukisan Basoeki Abdullah berjudul Pantai Flores. Lukisan ini unik karena Basoeki menggambar ulang dari sketsa cat air yang dibuat sendiri oleh Sukarno. Potret pantai bertebing di Flores itu direkam Sukarno saat menjalani masa pengasingan oleh Belanda. "Lukisan ini sempat direstorasi, tapi tidak besar," kata Asikin.

Seri lain dalam pameran ini adalah Mitologi dan Religi. Tiga lukisan Basoeki Abdullah yang mencolok mata karena berukuran besar serta kemegahannya dapat dinikmati pada sesi ini, yaitu Gatotkaca dengan Anak-anak Arjuna Pergiwa-Pergiwati, Jika Tuhan Murka, dan Nyai Roro Kidul yang legendaris karena berselimut kisah mistis.

Tepat setelah pintu masuk, terdapat sebuah LCD raksasa yang menampilkan replika lukisan Perkawinan Adat Rusia yang dibuat oleh pelukis Rusia terkenal abad ke-19, Konstantin Egorovick Makovsky. Lukisan yang aslinya berukuran 295 x 450 sentimeter ini dihadiahkan rakyat Rusia kepada Sukarno dan kini tergantung di dinding Istana Bogor, Jawa Barat. Terdapat keterangan yang menyatakan lukisan asli tak dapat turut dipamerkan karena risiko untuk memindahkannya terlalu besar. "Namun lukisan ini penting ditunjukkan karena membuktikan tingginya selera Sukarno dalam mengoleksi karya seni," ujar Asikin.

Pameran ini juga menampilkan karya seni yang dikoleksi Istana setelah era Sukarno. Ada lukisan Kaligrafi dari Ahmad Sadali dan Subuh/Doa VIII dari A.D. Pirous. Keduanya dibuat pada 1980-an ketika Soeharto menjadi presiden. "Soeharto memang tak seintensif Sukarno dalam mengoleksi lukisan. Dia lebih suka ukiran," kata Mikke Susanto, salah seorang kurator pameran.

Moyang Kasih Dewimerdeka

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus