Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Cerita tentang Matahari Kedua

Tampil berwibawa dengan tutur kata yang terukur membuat Sarwo Edhie Wibowo menjadi idola mahasiswa. Popularitasnya meroket di tengah pergolakan politik pascageger 1965. Tapi tidak boleh ada matahari kembar di panggung nasional. Soeharto menyingkirkannya dari pusaran kekuasaan. Kisah asmaranya membuat karier Sarwo Edhie kian tenggelam. Ikhtiar sejumlah politikus mengusungnya menjadi calon presiden cuma langkah sia-sia.

7 November 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dari Kampus, Merebut Istana

Mahasiswa dan tentara berkolaborasi menekan Presiden Sukarno. Sarwo Edhie Wibowo memantau unjuk rasa pelajar dan mahasiswa.


MALAM itu, Ahad 9 Januari 1966, sebuah rumah di Jalan Sam Ratulangi 1, Jakarta Pusat, tampak ramai. Belasan pemuda hilir-mudik, sesekali terdengar percakapan riuh-rendah. Ada yang sibuk mengetik, ada yang menggandakan naskah pernyataan di mesin stensilan. Rumah itu markas Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia, gabungan sejumlah organisasi mahasiswa dari berbagai kampus di Ibu Kota. Mereka sedang mempersiapkan aksi demonstrasi besar keesokan harinya.

Hari-hari itu, suasana Republik tak menentu. Tiga bulan setelah peristiwa penculikan dan pembunuhan enam jenderal TNI Angkatan Darat, ketegangan terasa di mana-mana. Sebagian pemimpin Partai Komunis menghilang, puluhan ribu kadernya ditangkap. Tapi pemimpin PKI masih duduk di kabinet dan secara resmi partai itu masih berkibar.

Keesokan harinya, Senin 10 Januari, ribuan mahasiswa memadati kampus Universitas Indonesia di Salemba, Jakarta Pusat. Salah satu pemimpin Kesatuan Aksi Mahasiswa, Cosmas Batubara, tampak sibuk mengarahkan koleganya mempersiapkan ini dan itu. Sebuah panggung darurat disiapkan di halaman Fakultas Kedokteran UI.

Tepat pukul 08.30, sebuah jip militer merapat di depan gerbang kampus. Dari dalamnya, muncul Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) Kolonel Sarwo Edhie Wibowo. Dua deputinya, Mayor CI Santosa dan Mayor Gunawan Wibisono, juga tampak mendampingi bos mereka. Kedatangan Sarwo langsung disambut jabat tangan, dan mahasiswa segera berkerumun di sekelilingnya.    

Setengah jam kemudian, Sarwo Edhie didaulat naik ke atas panggung. Dengan seragam militer yang necis dan rapi, dia tampak percaya diri. Di awal pidato, dia berterima kasih atas undangan mahasiswa dan, sambil bercanda, berterima kasih kepada PKI yang "membuat huru-hara sehingga mahasiswa bisa bersatu kembali".   

 "Gayanya memang begitu, cepat akrab dengan mahasiswa," kata Fahmi Idris, salah satu pemimpin mahasiswa UI ketika itu. Sarwo lalu bercerita tentang perjalanan RPKAD memburu PKI di Jawa dan Bali, beberapa saat sebelumnya. Di akhir pidato, dia bertanya kepada mahasiswa, "Apakah masih ada yang belum diamankan?"

Ribuan mahasiswa berteriak kompak, "Aidit, Pak!"

Sarwo Edhie tersenyum kecil, "Lho, kok, di mana-mana masih banyak orang kangen sama Aidit, ya?" Sebelum gemuruh tawa mereda, Sarwo melanjutkan dengan nada serius, "Kamu tidak usah merisaukan Aidit. Biar dia beristirahat di tempat lain."

Di akhir rapat akbar itu, mahasiswa menyodorkan naskah Tiga Tuntutan Rakyat alias Tritura kepada Sarwo Edhie. Isi Tritura adalah bubarkan PKI, susun kembali Kabinet Dwikora, dan turunkan harga sandang-pangan. "Kalau mahasiswa merasa yakin, saya anjurkan jalan terus. Tritura adalah hati nurani rakyat," kata Sarwo Edhie, disambut sorak-sorai mahasiswa. 

Setelah Sarwo Edhie turun dari panggung, massa mahasiswa segera bergerak menuju Sekretariat Negara untuk berunjuk rasa. Di sana, naskah Tritura dibacakan di depan Wakil Perdana Menteri Chaerul Saleh. Mahasiswa juga menyatakan mogok kuliah sampai ketiga tuntutan mereka dipenuhi pemerintah.

1 1 1
 

 MAHASISWA Jakarta mulai dekat dengan Sarwo Edhie Wibowo setelah insiden 30 September 1965. Dia termasuk petinggi militer pertama yang ditemui mahasiswa setelah peristiwa itu terjadi. "Kami langsung menyimpulkan penculikan itu pasti terkait dengan PKI," kata Fahmi Idris, tokoh mahasiswa yang kini pengusaha dan mantan Menteri Perindustrian.

Karena itulah, organisasi mahasiswa yang tidak berafiliasi ke PKI—seperti Himpunan Mahasiswa Islam dan Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia—segera merapat ke militer. "Pertama kali bertemu, kesan saya dia amat terukur, gaya bicaranya tertata, dan penampilannya rapi," kata Fahmi.  

Relasi mahasiswa dan tentara bertambah dekat seiring dengan makin seringnya terjadi kericuhan antara massa pendukung Sukarno dan para mahasiswa. Pada bulan-bulan pertama 1966, mahasiswa memang makin sering mengadakan unjuk rasa di depan Istana, dan makin kencang menuntut pembubaran PKI—sesuatu yang berulang kali ditolak Presiden Sukarno. Semua aksi mahasiswa itu diam-diam dipantau dan dilindungi RPKAD.

"Suatu ketika, ada sekelompok tentara pro-Sukarno yang mengejar kami setelah aksi," tutur Christianto Wibisono, juga tokoh mahasiswa pada masa itu. "Sebagian teman-teman lari masuk ke markas Kostrad di Kebon Sirih dan menginap di sana selama beberapa hari," katanya sambil tertawa.

Suasana makin gawat setelah mahasiswa bentrok dengan pasukan pengawal presiden, Cakrabirawa, pada 24 Februari 1966. Seorang mahasiswa, Arief Rachman Hakim, tewas. "Kami lalu minta RPKAD melatih mahasiswa," kata Fahmi Idris.

Setelah insiden itu, mahasiswa membentuk Resimen Arief Rachman Hakim—sebuah komando aksi yang sebagian anggotanya menerima pendidikan militer. "Kami juga dipinjami pistol," kata Fahmi bangga. Belakangan, nama resimen itu diganti. "Setelah diskusi dengan Pak Sarwo, beliau menyarankan namanya diganti jadi Laskar Arief Rachman Hakim saja," kata Fahmi, yang kemudian menjadi pemimpin pasukan mahasiswa itu. "Rupanya Pak Sarwo tidak mau mahasiswa kok pakai nama yang berbau militer." Seragam loreng Laskar Arief Rachman Hakim, kata Fahmi, diilhami seragam RPKAD. 

Laskar Arief Rachman Hakim bergerak menduduki aset-aset negara yang dikuasai kaum komunis: dari kantor pemerintah sampai gedung kedutaan Cina dan kantor berita Xinhua. "Tapi kami tidak menjarah atau merampok," kata Fahmi. Semua aksi ini membuat Sukarno makin murka kepada mahasiswa.

Sejarawan Peter Kasenda menulis di majalah Prisma pada 1991, bahwa sebenarnya Sarwo Edhie dan tentara memanfaatkan mahasiswa untuk menekan Sukarno. Tentara tidak bisa secara frontal berhadapan dengan RI-1, karena khawatir itu justru bakal mengkristalkan dukungan di belakang Presiden.

Tak hanya membantu mahasiswa di balik layar, Sarwo Edhie kadang turun sendiri mengawal unjuk rasa. Sambil menyamar, dia memastikan tak ada kelompok yang mengganggu aksi-aksi mahasiswa. Suatu ketika, kehadirannya sempat dipergoki polisi. Adalah Anton Soejarwo—belakangan ditunjuk menjadi Kepala Polri—yang menyapa Sarwo Edhie dengan kaget. "Saya menyapa Pak Sarwo waktu itu, dan bertanya kenapa dia ada di lapangan," tulis Anton dalam bukunya. Para mahasiswa yang berunjuk rasa tak pernah menyadari kehadiran Sarwo Edhie. 

Pada 11 Maret 1966, Soeharto memerintahkan Kemal Idris dan Sarwo Edhie menangkap Wakil Perdana Menteri Soebandrio—tokoh PKI yang juga tangan kanan Presiden Sukarno. Sebuah pasukan tanpa tanda pengenal dikirim ke Istana Merdeka untuk menyergap Soebandrio seusai sidang kabinet.

Rencana itu rupanya tercium pihak Istana. Cakrabirawa segera mengungsikan Presiden dan dua wakil perdana menteri, Soebandrio dan Chaerul Saleh, ke Istana Bogor. Malamnya, tiga jenderal menyusul ke sana: Pangdam Jaya Brigjen Amir Machmud, Brigjen M. Yusuf, dan Brigjen Basuki Rachmat.

Pada saat itulah Sukarno menandatangani Surat Perintah Sebelas Maret, yang secara de facto menyerahkan kendali pemerintahan kepada Panglima Kostrad Mayjen Soeharto. Pada hari itu, dua bulan setelah pidato Sarwo Edhie di hadapan ribuan mahasiswa di Salemba, kekuasaan Sukarno resmi dilucuti.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus